Mubadalah.id – Isu poligami begitu dekat dengan masyarakat Indonesia. Mari sejenak kita melihat cerita cinta dalam film pendek Bismillah Kunikahi Suamimu. Film berdurasi 110 menit ini pemerannya adalah Mikha Tambayong, Rizky Nazar, dan Syifa Hadju.
Walau dari judulnya kontroversi, isi film ini meninggalkan pesan yang mendalam tentang arti pengorbanan dan keikhlasan. Tidak ada satu perempuan pun yang menginginkan untuk menjadi perempuan kedua. Semua pasti memimpikan menjadi perempuan utama dan satu-satunya yang dicintai oleh lelaki yang kita cintai.
Untuk mengulas kisah poligami di Film Bismilah Kunikahi Suamiku, saya menuliskan kembali catatan dari buku “Qiraah Mubadalah”, karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Yakni tentang narasi poligami. Pertama, jika kesabaran adalah perilaku yang baik dan mulia. Selain itu para pelakunya akan Allah SWT cintai, maka tidak saja perempuan yang dituntut bersabar dari suami yang ingin atau sudah poligami.
Kesabaran dan Kesetiaan
Dari point ini seharusnya suami atau laki-laki juga ada tuntutan bersabar dan tidak memilih poligami agar menjadi orang yang mulia dan Allah SWT cintai. Begitu pun jika kesetiaan adalah sesuatu yang baik dalam Islam. Maka tidak hanya perempuan yang mendapat tuntutan setia dan melayani suami. Tetapi juga laki-laki kita tuntut hal yang sama untuk setia serta melayani istrinya.
Kesabaran dan kesetiaan adalah nilai yang universal. Ia baik dan berpahala siapapun yang melakukannya. Baik kaki-laki maupun perempuan. Keduanya dituntut hal yang sama terkait kesabaran dan kesetiaan pada pasangannya.
Kedua, bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk menolak poligami dengan basis menjauhkan diri dari kerusakan dan mudharat (dar’u al mafasid), yang akan menimpa diri maupun keluarganya. Baik yang bersifat fisik, psikis, ekonomi maupun sosial.
Ketiga, bahwa perempuan mempunyai pilihan hak cerai jika suaminya memaksa poligami. Tidak seperti narasi selama ini. Di mana perempuan harus bersabar dan menganggap cerai dari poligami sebagai sesuatu yang tidak baik dan tidak dianjurkan.
Bahkan bercerai karena poligami anggapannya melanggar tuntunan sebagai istri salihah yang surga janjikan kelak di akhirat. Semua narasi ini (melarang cerai akibat poligami) sama sekali tidak tersebutkan dalam al-Qur’an.
Lima belas abad yang lalu, justru al-Qur’an menganggap poligami sebagai problem rumah tangga. Di mana hal ini merupakan bagian dari nusyuz suami kepada istri, maka ini bisa kita sikapi istri dengan perceraian.
Tafsir Poligami Menurut Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Shahrur
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya; “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain yang kamu senangi:dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebihl dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(Qs. an-Nisa’; 3).
Dalam perkawinan, Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid menyimpulkan bahwa al-Qur’an melarang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri jika mereka tidak dapat mewujudkan asas keadilan pada sang istri maupun anak-anaknya.
Namun, Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid Abul Zayd mengingatkan bahwa pada waktu yang sama al-Qur’an juga mendorong laki-laki yang memiliki harta untuk mengawini janda yang memiliki anak yang masih belia.
Bagi Muhammad Shahrur poligami adalah suatu hal yang mubah dengan syarat yang tidak mudah bagi para suami. Adapun syarat-syarat yang Shahrur tetapkan adalah bahwa pertama, Istri kedua, ketiga dan keempat, merupakan seorang janda yang memiliki anak yatim dalam keadaan masih kecil, dan telah ditinggal mati oleh ayahnya.[]