Mubadalah.id – Sirah Ibnu Hisyam karya Ibnu Hisyam (w. 213 H), sebuah kitab klasik yang otoritatif mengenai sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw mengisahkan tentang seorang Yahudi yang ikut bergabung dalam pasukan umat Islam pada Perang Uhud.
Orang Yahudi tersebut bernama Mukhairig dari kabilah Bani Tsa’labah bin al-Fithyun.
Sebagaimana termaktub dalam Konstitusi Madinah, yang menuntut semua orang yang setuju dengan konstitusi tersebut untuk saling mendukung jika terjadi penyerangan maka Mukhairig memandang dirinya dan kaumnya wajib membela nabi.
Perang Uhud adalah perang ketika umat Islam di Madinah didatangi oleh pasukan besar dari luar Kota Madinah, yaitu orang-orang Quraisy dari Kota Makkah.
Bukit Uhud lebih dekat ke Madinah ketimbang ke Makkah, hanya berjarak 13 kilo meter. Sementara, dari Kota Makkah, bukit Uhud berjarak lebih dari 350 kilo meter.
Artinya, orang-orang Makkah adalah mereka yang datang menyerbu Madinah karena mereka mau membalaskan dendam kekalahan mereka pada Perang Badar. Sama, pada Perang Badar juga, umat Islam didatangi dan diserang oleh pasukan dari Kota Makkah.
Konstitusi Madinah
Karena ada ketentuan Konstitusi Madinah menyatakan pada poin yang ke-39 yaitu:
”Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh konstitusi ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat, serta kebaikan, bukan dalam hal keburukan (dosa).”
Mukhairiq memandang wajib ikut membela nabi dan umat Islam dalam Perang Uhud. Seperti dalam kisah dalam sirah:
Ibn Ishaq berkata: Kisah tentang Mukhairiq adalah bahwa ia seorang rahib Yahudi yang alim. Ia juga cukup kaya raya dari perkebunan kurma yang dimiliki dan dikelolanya.
Ia mengenal baik sifat-sifat Rasulullah Saw ilmu yang dimiliki, dan mencintai kelembutan agama beliau (Islam). Ia terus seperti ini sampai meletus Perang Uhud.
Pada saat itu, hari Sabtu (hari yang dilarang bagi orang-orang Yahudi untuk beraktivitas). (Ia menemui kaumnya) seraya berkata,
“Wahai kaum Yahudi, demi Allah, kalian mengerti bahwa menolong Muhammad (dalam Perang Uhud ini) adalah wajib bagi kalian (karena Konstitusi Madinah itu).”
Mereka menjawab, “Tetapi, ini hari Sabtu.”
“Tidak, (dalam hal terserang seperti ini) larangan (berperang pada) hari Sabtu tidak berlaku bagi kalian,” jawab Mukhairiq.
Ia kemudian mengambil senjata dan menemui Rasulullah Saw di Bukit Uhud. Ia berjanji kepada orang-orang dari kaumnya bahwa jika ia terbunuh dalam perang ini. Maka semua hartanya harus ia serahkan kepada Nabi Muhammad Saw terserah beliau, sesuai perintah Allah Swt kepada beliau (untuk apa harta tersebut).
Ketika perang berkecamuk, Mukhairiq terlibat dengan gagah berani sampai akhirnya terbunuh.
Julukan Nabi Saw Kepada Mukhairiq
Rasulullah Saw sebagaimana sampai beritanya kepadaku (perawi kisah ini) bersabda: “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi.”
Nabi Muhammad Saw kemudian menerima seluruh hartanya yang ia tinggalkan, yang kemudian menjadi lumbung sedekah bagi semua penduduk Madinah yang membutuhkan.
Kisah ini berulang dengan redaksi yang sedikit berbeda dalam Sirah Ibnu Hisyam. Kisah ini juga bisa kita temukan di kitab Jawami’ as-Sirah karya Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dan Sirah an-Nabawiyah karya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H).
Perang Uhud, karena itu, bukan untuk menyerang orang-orang yang berbeda agama. Bukan. Melainkan, untuk mempertahankan tubuhnya, membela komunitas atau negara dan nilai-nilai yang ia anutnya, dari serangan musuh yang ingin menghancurkannya.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama.