• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Klaim Kebenaran Subjektif Mayoritas sebagai Tantangan Moderasi Beragama

Klaim kebenaran yang berujung pada aksi ini menjadi tantangan berat moderasi beragama. Sekelompok orang dengan pemahaman sama, seringkali menjustifikasi bahwa kelompoknya memiliki paham yang lebih benar sementara paham orang lain salah

Wilis Werdiningsih Wilis Werdiningsih
18/12/2022
in Publik
0
Moderasi Beragama

Moderasi Beragama

728
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Keberagaman bangsa Indonesia menjadi suatu keniscayaan sejak dahulu kala. Hal inilah yang mendorong Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Keragaman tersebut tampak dari adanya ragam agama, budaya, bahasa, dan ragam adat yang dimiliki oleh banyak suku yang menetap di berbagai wilayah di Indonesia. Fakta ini menjadi tantangan moderasi beragama. Sebab itulah tidak ada pilihan lain, selain menerima keberagaman sebagai sebuah anugrah dari Tuhan YME untuk Indonesia.

Dalam konteks kehidupan beragama, kementerian Agama pada tahun 2019 mendengungkan semangat moderasi beragama. Hal ini tidak lain untuk mengkampanyekan kepada masyarakat Indonesia agar memiliki cara pandang yang tidak eksklusif. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Latin “moderatio” yang memiliki arti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan).

Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), moderasi memiliki dua pengertian, yakni pengurangan kekerasan dan penghindaran ke-esktreman. Sementara moderat memiliki arti selalu menghindari pengungkapan (pembicaraan) yang ekstrem; selalu menghindari sikap atas tindakan yang ekstrem; kecenderungan ke arah jalan yang tengah.

Seseorang yang bersikap moderat, berarti bersikap tengah-tengah, wajar, biasa-biasa saja. Tidak ekstrem dengan meyakini keyakinan yang kita miliki adalah benar secara mutlak. Pengertian ini dikuatkan dalam buku Moderasi Beragama yang Kemenag terbitkan, bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak bersikap ekstrem dalam beragama.

Keragaman Indonesia

Keragaman kita yakini sebagai sebuah takdir. Ia tidak kita minta. Melainkan pemberian Tuhan Yang Maha Mencipta. Keragaman tersebut bukan untuk kita tawar tapi untuk kita terima (taken for granted). Keragaman yang  Indonesia miliki agaknya sangat kompleks.

Baca Juga:

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Temu Keberagaman 2025: Harmoni dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Hal ini tampak dengan adanya beragam penafsiran ajaran agama meski dalam satu agama. Perbedaan tersebut khususnya berkaitan dengan praktik beragama/beribadah. Hal tersebutlah yang mendorong bahwa semangat memiliki cara pandang berlandaskan moderasi beragama adalah suatu hal yang tidak bisa kita tawar lagi.

Namun demikian, meskipun semangat moderasi beragama telah didengungkan. Nyatanya dalam praktiknya masih terdapat permasalahan-permasalahan terkait kehidupan umat beragama yang terjadi di berbagai wilayah. Berkembangnya klaim kebenaran subyektif yang berpotensi memicu konflik menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam moderasi beragama.

Berucap moderasi beragama nyatanya lebih mudah dibandingkan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan kaum mayoritas yang mengucilkan/tidak memberikan kebebasan kaum minoritas dalam beragama terjadi di beberapa wilayah dengan adanya kesamaan pola.

Klaim Kebenaran Mayoritas

Hal ini sebagaimana yang terjadi di desa Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Masyarakat desa Tumaluntung melakukan perusakan tempat ibadah di Perumahan Agape. Mereka menghancurkan mushala, mulai dari pagar, hingga isi mushala. Mereka juga membawa spanduk bertuliskan “Kami masyarakat Desa Tumaluntung menolak pendirian mushola masjid.”

Alasan tindakan ini adalah lantaran penduduk sekitar lokasi mushala 95 persen adalah non muslim. Mereka tidak ingin terganggu kenyamanannya akibat kebisingan toa, serta mereka tidak mau terancam dipidanakan karena melakukan penistaan agama jika protes terhadap kebisingan toa.

Selanjutnya sebagaimana yang terjadi di Parung, Bogor, Jawa Barat. Puluhan warga masyarakat muslim berunjuk rasa di depan kantor Bupati Bogor, menuntut penghentian kegiatan Gereja Katolik Paroki Santo Joannes Baptista Parung. Alasan unjuk rasa tersebut adalah karena pendirian gereja menyalahi aturan pendirian rumah ibadah karena mereka dirikan di rumah warga.

Selanjutnya hal yang serupa juga terjadi di kecamatan Magepanda kabupaten Sikka. Di mana warganya yang mayoritas pemeluk agama Katolik mendatangi DPRD Sikka untuk menyampaikan aspirasinya yakni menolak pendirin pondok pesantren. Alasan penolakan ini adalah selama ini mereka merasa hidup damai dan indah. Mereka khawatir dengan adanya pondok pesantren, akan muncul paham-paham radikal.

Aksi Kelompok Mayoritas

Jika kita perhatikan ketiga aksi tersebut pelakunya adalah kaum mayoritas yang menempati suatu wilayah. Aksi di Tumaluntung oleh mayoritas penduduk yang beragama non muslim kepada kaum minoritas muslim di sana. Sementara aksi di Bogor, pelakunya adalah mayoritas kaum muslim kepada kaum minoritas Katolik. Dan aksi yang terjadi di Magepanda, pelakunya adalah kaum mayoritas yang beragama katolik. Di mana aksi itu mereka tujukan kepada kaum minoritas muslim.

Klaim kebenaran yang berujung pada aksi ini menjadi tantangan berat moderasi beragama. Sekelompok orang dengan pemahaman sama, seringkali menjustifikasi bahwa kelompoknya memiliki paham yang lebih benar sementara paham orang lain salah.

Dan hal ini tentu bertolak belakang dengan moderasi beragama. Di mana pada moderasi beragama ada penekanan bagaimana seseorang yang beragama boleh berkeyakinan bahwa agamanya benar. Namun tidak menganggap bahwa agamanya paling benar sementara agama orang lain salah.

Sebagaimana penekanan pada buku moderasi beragama yang mengatakan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak bersikap ekstrem dalam beragama. Selanjutnya dijelaskan indikator moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penghormatan terhadap tradisi.

Indikator Moderasi Beragama

Jika merujuk pada sejarah, indikator moderasi beragama ini sesuai dengan apa yang Rasulullah SAW ajarkan sebagai pemimpin Madinah. Pada masa itu, Madinah dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku dan marga serta perbedaan agama. Sebagai seorang pemimpin, Nabi memberikan kebebasan kepada penduduk Yatsrib untuk meyakini agama mereka masing-masing.

Sebab sebagaimana seruan ke-Nabian Muhammad di Makkah pertama kali adalah menuntut Quraisy Ahlaf menghentikan praktik pesugihan. Di mana yang mereka lakukan dengan membunuh anak manusia. Maka di Yastrib-pun seruan Nabi fokus pada konsep kesatuan umat atau yang kita sebut dengan ummatan wahidah. Tauhid dan akidah harus kita pahami dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan dasar kemanusiaan ini.

Ummatan wahidah adalah kebersatuan umat yang terbangun dengan tidak mengacu pada agama, paham, nasab beserta segala perbedaan yang ada lainnya. Oleh sebab itulah di tengah perbedaan yang ada di Madinah, sebagai upaya menjaga kestabilan maka mutlak harus membuat suatu ketetapan berdasarkan kesepakatan bersama.

Ketetapan itu mereka gunakan sebagai pedoman yang menyatukan segala perbedaan. Menjamin kestabilan, yang mereka buat dalam bentuk narasi tulisan. Sebagaimana yang tertulis di atas lembaran yang terkenal dengan sebutan dengan Shahifah Yastrib atau Piagam Madinah. []

 

 

Tags: kebenarankeberagamanModerasi BeragamaPerdamaiantoleransi
Wilis Werdiningsih

Wilis Werdiningsih

Wilis Werdiningsih Ibu rumah tangga, ibu dari dua orang putra. Saat ini juga aktif sebagai dosen di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian pendidikan dan isu kesetaraan gender.

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version