Ini hari terakhir cerita tentang selebrasi bertagar #HBHMubadalah dan #bahagiamembahagiakan berakhir. Dan ketika tulisan ini dibuat, pengumuman pemenang malah sudah digaungkan. Jadi tentu tulisan ini benar-benar menyasar pada momentum selebrasi acara an-sich meski tidak menutup peluang akan lari ke hal-hal yang bersangkut-paut dengan Mubaadalah secara luas.
Selayaknya acara halal bihalal yang bertujuan mempererat silaturahmi pasca Idul Fitri, begitu pulalah Halalbihalal virtual mubaadalah berlangsung. Momen silaturahmi baik antar peserta yang memang merupakan kolega antar Jaringan Lembaga, pesantren, akademisi, sampai pembaca dan pengunjung setia Mubaadalah itu sendiri.
Ini terbukti dari riuhnya peserta zoom yang baru menginjak angka 274, tetapi sepertinya server sudah beberapa kali terlihat payah bahkan nyaris down. Alhasil, siaran live via Facebook Mubaadalah dan kanal Youtube jadi pelarian para pengunjung yang tak kebagian jatah zoom.
Dalam tangkapan layar, terdapat 504 viewer membanjiri kanal youtube Mubaadalah. Sementara 3400 orang memilih menyaksikan halalbihalal virtual itu melalui akun Facebook. Perolehan angka ini tentu saja cukup signifikan mengingat durasi pengumuman event #HBHMubadalah diposting secara massif hanya 3 hari!
Bisa dibayangkan jika event ini disiarkan pula secara live melalui akun Instagram Mubaadalah yang sudah mengantongi follower sebanyak 17 ribu. Niscaya acara yang digelar sejak pukul 19.30 – 21.30 wib itu akan semakin menyedot perhatian pasang mata lebih banyak lagi.
Faktor pengisi acara sudah barang tentu menjadi magnet kuat mengapa orang merasa perlu melihat event #HBHMubadalah tersebut. Sederet nama seperti Kyai Husein Muhammad, Nyai Masriyah Amva, Alissa Wahid, Nur Rofiah dan juga founder Mubaadalah, Faqihuddin Abdul Kodir, yang tak asing terdengar di kalangan kampus, pesantren dan jaringan Lembaga Masyarakat, memantik banyak kolega, santri, mahasiswa atau jamaah tetap pengajian mereka, datang pada acara virtual tersebut.
Belum lagi kehadiran pasangan-pasangan Mubaadalah (baca: couple goals) serta standup comedian yang dipajang di poster, melecutkan dugaan-dugaan para pengunjung acara bahwa halal bihalal itu pastilah tak sekadar bersilaturahmi. Tidak juga ‘hanya’ menyuguhkan hal-hal ‘serius’ sepanjang acara berlangsung kendati diisi Kyai, Nyai, dosen, penulis buku, yang selama ini dikenal publik cukup baik.
Di sisi lain, ada sisi human interest yang disuguhkan Tim Mubaadalah dengan menghadirkan pasangan influncer dan penulis buku Kalis Mardiasih – Agus Mulyadi, Kyai Muda Penggagas Ngaji Ihya Virtual, Ulil Abshar Abdalla – Ienas Tsuroiya serta Vina Adriany –Kurniawan Saefullah. Ditambah nama Standup Comedian, Sakdiyah Makruf, yang sayangnya batal hadir dan diumumkan di tengah-tengah acara.
Sesi Couple Goals cukup membetot perhatian sebab suasana terlihat riuh kendati jarum jam terus merangkak malam. Kisah romansa 3 pasangan mengundang senyum bahkan beberapa kali mengundang derai tawa lantaran hal-hal lucu terlontar begitu saja.
Relasi pasutri yang sangat Mubadalah sebab dibangun dengan penuh cinta dan kesalingan. Baik yang sudah dibina selama belasan dan puluhan tahun atau pasangan yang baru seumur jagung sekalipun. Mubaadalah memang bukan saja milik mereka yang sudah malang melintang di dunia pernikahan. Tetapi pendatang baru pun tentu saja berhak memupuk kesalingan. Bahkan semakin dini menanamkan mubaadalah dalam rumahtangganya, tentu akan semakin berpeluang kokoh bangunan mahligai perkawinannya.
Sebagai pasangan termuda dan paling baru, cerita Kalis – Agus adalah yang paling penuh gelak tawa ketimbang hal-hal serius. Pasangan milenial yang ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling, receh dan heboh ini paling sukses membuat suasana halalbihalal terkesan santai dan tak berjarak.
Chatroom penuh menanggapi kehebohan tersebut. Berbanding terbalik manakala sesi sebelum Couple Goals dimulai. Suasana khidmat terasa tatkala Kyai Husein memberi pengantar dan Nyai Masriyah Amva membacakan puisi. Belum lagi video dari para kolega Mubaadalah baik dalam dan luar negeri. Acara malam terasa formal meskipun cukup intim.
Kemasan acara seperti ini mengingatkan saya akan Festival Mubaadalah yang pertamakali pada tahun lalu. Selama 3 hari berturut-turut panitia menyuguhkan hal-hal serius melalui rangkaian acara berisi pelatihan, seminar dan talkshow. Tetapi panggung acara nyatanya juga ramai dengan hiburan dan games. Walhasil, peserta yang menginap beberapa hari itu tidak ada yang pergi meninggalkan panggung sampai Festival benar-benar berakhir.
Tidak itu saja, pada momen Konferensi Penulis Perempuan (baca: Women Writer Conference) yang digelar akhir tahun lalu pun Mubaadalah terbilang sukses. Dari 50 peserta terpilih, terdapat ratusan pendaftar acara yang harus gigit jari karena tak lolos persyaratan. Bahkan, kapasitas ruangan untuk sesi seminar dan bedah buku yang dibuka untuk umum, yang sedianya hanya menampung 100 orang, harus dipaksa menerima 200an lebih karena tingginya peminat yang hadir.
Belum lagi kesiapan panitia dalam menyambut peserta yang membawa balita yang cukup well prepared, patut diacungi jempol. Saya meyakini, bahkan masih terbilang jarang dan bisa dibilang hanya hitungan jari ada panitia dalam sebuah acara resmi yang punya sensitivitas cukup baik terhadap peserta Ibu yang datang membawa balitanya. Bahkan, dalam perhelatan yang diselenggarakan oleh para pegiat perempuan dan anak sekalipun, hal semacam ini masih jauh panggang dari api. Saya bersaksi untuk ini.
Beberapa bulan lalu sebelum pandemi covid-19, seorang kawan yang memang kesulitan melepas balitanya di rumah dan terpaksa membawanya dalam satu acara formal, harus menelan kekecewaan karena panitia sangat abai terhadap ‘kebutuhan khusus’-nya sebagai seorang ibu dan juga bagi balitanya. Bagaimanapun, kesan dan penerimaan Tim Mubaadalah pada acara WWC yang pernah diikutinya itu sangat membekas dan menjadi referensinya manakala ia hadir dalam event lain di lain tempat.
Ya. Jika melihat gelaran beberapa acara Mubaadalah selama ini, soliditas tim sangat terasa. Bila pun ada kurang di sana-sini, saya cukup maklum sebab usia para punggawa Mubaadalah pun masih sangat muda. Persis seperti usia website dan media sosialnya.
Tetapi kemauan untuk berbenah dan menawarkan hal-hal baru khas anak muda membuat acara apapun yang digelar selama ini terasa ‘bertenaga’. Sambil terus mengasah diri, berbenah dan menghimpun kekuatan dan soliditas, rasanya lontaran niat Pak Faqih untuk menggelar Festival Mubaadalah yang kedua secara online, insya Allah akan terlaksana dengan baik dan penuh kejutan. Insya Allah. []