Mubadalah.id – Ketidakharmonisan keluarga seringkali diawali oleh komunikasi yang salah, lalu ditambah dengan persoalan ekonomi, yang semakin hari kebutuhannya kian mendesak, dan bertambah banyak. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka akan timbul perselisihan, bahkan bisa berujung pada perceraian. Artikel ini akan membahas tentang komunikasi kunci keluarga harmonis.
Berdasarkan data dari Statistik Indonesia jumlah kasus penceraian pada tahun 2021 telah mencapai 447.743 kasus. Hal ini lebih meningkat 53,50% dibandingkan tahun sebelumnya yakni 2020 yang hanya mencapai 291.677 kasus. Tetapi dengan banyaknya kasus perceraian tersebut, tidak menjadi pembelajaran pasangan suami istri bagaimana agar penyebab perceraian bisa dihindari.
Menelisik lebih dalam dari fenomena di atas, sebenarnya kunci dalam keluarga yang harmonis adalah santun berkomunikasi. Secara psikologis komunikasi yang baik dapat mempengaruhi sikap dan hubungan antar individu atau sosial menjadi baik. Komunikasi menjadi hal yang penting dalam kehidupan. Melalui komunikasi, seseorang dapat menemukan jati diri, mengembangkan konsep pemikiran, bahkan menetapkan hubungan yang baik dengan pasangan, lingkaran kecil pergaulan, bahkan hingga lebih meluas lagi.
Dalam menjalankan rumah tangga, sebagai hamba yang bijak seharusnya mengetahui unsur-unsur yang penting guna menjaga keharmonisan dalam keluarga. Bentuk perhatian dengan melakukan komunikasi yang baik maupun mengajak musyawarah ketika terjadi konflik untuk memadamkan api amarah, yakni dengan perkataan santun dan lemah lembut.
Unsur-unsur tersebut harus dimiliki baik suami maupun istri. Karena dalam perspektif teologis sudah diberikan petunjuk dan jalan yang benar dalam menjadikan prinsip pernikahan yang ideal. Salah satunya tertuang pada QS. An-Nisa’ [4] : 19 yang berbunyi :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا – ١٩
“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Tadabbur QS. An-Nisa’ [4] : 19
Ayat di atas terdapat beberapa pembahasan yang harus diketahui. Pertama, ketidakbolehan al-Qur’an terhadap tradisi jahiliyah yang beranggapan bahwa perempuan seolah-olah dijadikan seperti harta benda sehingga dalam hal ini posisi perempuan dapat diwarisi oleh ahli waris suaminya ketika meninggal.
Kedua, ayat tersebut melarang suami menggantung nasib istrinya dengan tujuan mengambil kembali mahar yang telah diberikannya kecuali istri telah melakukan hal yang keji (zina atau nusyuz secara terang-terangan).
Ketiga, perintah al-Qur’an dalam menggauli istri dengan baik, maksudnya dalam segi ucapan, penyediaan tempat tinggal bahkan dari segi nafkah lahir atau batin. Keempat, perintah al-Qur’an untuk bersabar apabila suami atau istri muncul rasa tidak suka.
Dari penjabaran diatas, penulis fokus pada pembahasan ketiga yang nantinya berkesinambungan dengan pembahasan yang terakhir. Pada lafadz wa’asyiruhunna bi al-ma’ruf kuncinya adalah mengaplikasikan komunikasi yang baik.
Segala macam keadaan baik senang maupun susah apabila saling memberikan ucapan yang santun, maka dapat dipastikan semuanya akan baik-baik saja. Ucapan merupakan bentuk akhlak yang harus dijaga dan dilatih dalam berinteraksi dengan makhluk yang lain.
Dalam tafsir Ibn Katsir yang dimaksud wa’asyiruhunna bi al-ma’ruf adalah memperindah dalam ucapan, perbuatan, bahkan tingkah laku. Kendati demikian, Ibn Katsir juga memberikan contoh terhadap akhlak Nabi Muhammad SAW terhadap istrinya, diantaranya menampakkan kasih sayang dan bersikap halus, bahkan melonggarkan nafkah kepada istrinya.
Dengan begitu dapat dipahami, bentuk mencegah disorganisasi dalam keluarga adalah dengan komunikasi yang baik. Lebih lanjut penjelasan Quraish Shihab mengenai pembahasan yang keempat, dalam bersabar apabila suami atau istri tidak menyukai dikarenakan cacat fisik, cacat moral atau lainnya, maka yang dilakukan adalah tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dengan menceraikannya.
Sebab dalam penutupan ayat tersebut bisa jadi dalam sesuatu yang tidak kalian senangi, justru Allah memberikan kebaikan yang tak terduga. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu.
Demikian penjelasan terkait komunikasi kunci keluarga harmonis. Wallahu A’lam. [Baca juga: Membangun Keluarga dalam Konsep Jasser Audah]