Mubadalah.id – Jika merujuk sebuah konsep fitnah dalam al-Qur’an, maka konsep ini bersifat resiprokal atau timbal balik. Kehidupan ini semuanya merupakan fitnah, dan masing-masing kita adalah fitnah bagi yang lain. Tidak hanya perempuan kepada laki-laki. Tetapi juga laki-laki kepada perempuan atau kepada laki-laki, atau perempuan kepada perempuan.
Apalagi dengan bantuan gawai, setiap orang bisa menjadi fitnah (baca: pesona) bagi yang lain, dan terpesona oleh orang lain tanpa harus pergi ke masjid. Zalim kalau kita selalu menyudutkan perempuan saja sebagai fitnah terhadap laki-laki, padahal ayat al-Qur’an mengatakan semua orang bisa menjadi fitnah.
Dalam metode mubadalah, teks yang berbicara tentang fitnah seharusnya dipahami sebagai peringatan bersama, laki-laki dan perempuan, untuk sama-sama menjaga diri agar terus menjadi insan yang berakhlak mulia.
Termasuk untuk, menjauhkan dari segala dosa dan kejahatan pada orang lain, serta selalu berkomitmen menjadi manusia yang dapat memberikan kebaikan semaksimal mungkin kepada orang lain, keluarga, masyarakat, dunia, dan alam semesta.
Maka, laki-laki tidak lebih penting dari perempuan. Sebagaimana kata al-Qur’an, dalam kerja-kerja semua ini, laki-laki dan perempuan adalah bermitra dan bekerja sama (QS. at-Taubah (9): 71).
Seharusnya dengan ayat-ayat dan logika visi Islam ini sudah cukup. Namun, banyak orang yang tidak memiliki perspektif mubadalah selalu menuntut bukti-bukti lebih, jika menyangkut isu perempuan.
Sepotong ayat, sepenggal teks Hadis, atau satu pandangan saja, jika terkait dan untuk laki-laki, biasanya cukup menjadi dasar. Bahkan Hadis lemah dan palsu, juga sering menjadi dasar.
Tetapi jika menyangkut hak perempuan, kita harus menyediakan sebanyak mungkin dalil dan bukti. Sudah tersedia pun, masih saja akan ada alasan. Perempuan kemudian tetap dipinggirkan, atau disudutkan dan disalahkan. Problemnya dengan demikian, ada di kepala kita, bukan di dalam ayat maupun teks Hadis. []