Mubadalah.id – Bagaimana konsep orang tua dalam Islam sehingga ia mendapatkan penghargaan yang nilainya tak terhingga, khususnya ibu?
Keluarga adalah hal niscaya dalam eksistensinya sosial dan menjadi institusi utama yang menjadi gerda terdepan mengawal kehidupan masyarakat. Secara naluri, keluarga sebagai institusi pendidikan yang cinta kasih, penuh kasih sayang, simpati, dan prioritas. Kondisi seperti itulah merupakan cara satu-satunya untuk mempertahankan eksistensi dan keberlangsungan spesies manusia sehingga memakmurkan bumi sesuai impian Islam.
Kita tahu, keluarga pada mulanya terbentuk dari ikatan suci nan sakral antara lelaki dan perempuan. Ikatan suci itu adalah pernikahan secara syariat yang sah dan diberkahi oleh Allah dan manusia meletakkan sebagai sesuatu yang suci yang berdiri atas prinsip, hak dan kewajiban.
Setelah itu, keluarga kecil itu kemudian berkembang secara perlahan, yaitu ketika dikarunia anak sebagai unit yang melengkapi keluarga dan beranak pinak merupakan salah satu tujuan asasi dari keluarga dan pernikahan itu sendiri sebagaimana termaktub dalam Alquran yang disitir Yusuf al-Qardlawi.
{ وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ}
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. al-Nahal [16]: 72).
Anak adalah Karunia dalam Keluarga
Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi mengatakan bahwa Alquran menyebutkan anak sebagai karunia dalam sebuah keluarga, baik anak laki-laki maupun perempuan. Misalnya tergambar dalam QS. al-Syura [42]: 49-50.
{يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (50}
“Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”.
Sudah barang tentu, Apa yang Islam tegaskan tentang anak merupakan suatu penyangkalan terhadap tradisi Jahiliah yang enggan terhadap anak perempuan. Bahkan dengan sadis kaum jahiliah mengubur anak-anak perempuan secara hidup-hidup.
Tradisi inilah yang Alquran bantah bahwa tiada bedanya anak lelaki dan perempuan. Yaitu sama-sama karunia Tuhan. Selain itu, secara umum tradisi Jahiliah tidak pernah menghargai anak-anak. Karena tidak sedikit terjadi praktik pembunuhan anak-anak lantaran miskin atau khawatir miskin.
Menilik Konsep Orang Tua
Konsep orang tua muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya anak-anak yang lahir dalam sebuah keluarga. Di mana konsep orang tua ini merupakan nilai yang amat agung, laksana mata air yang mendekap dengan penuh kehangatan dengan naluri cinta kasihnya. Yakni kasih sayang dan prioritas terhadap anaknya.
Misalnya “keibuan” adalah karunia yang diberikan orang tua perempuan, ibu terhadap anak-anaknya. Ibu senantiasa memberikan tanpa meminta dan selalu berkorban tanpa balasan. Selain itu merelakan masa muda dan sehatnya untuk mengurus anak-anaknya tanpa ada keluh kesah. Bahkan demi anaknya, ibu rela lapar dan mengantuk demi pertumbuhan anaknya dan kepulasan tidurnya.
Itulah keletihan seorang ibu yang dominannya lebih di ruang domestik. Sedangkan sang ayah notabenenya berada di ruang publik untuk memenuhi finansial anak berikut ibunya. Maka logis jika Islam sangat menghargai orang tua tersebut yang kemudian lahir hak-hak dan kewajiban atas orang tua dan anak.
Berbakti Kepada Orang Tua
Adapun hak yang anak peroleh dari orang tua adalah kebaktian sang anak. Menurut Syekh Yusuf al-Qardlawi menjelaskan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan syariat semua agama samawi.
فأول هذه الحقوق على الأولاد أبناء كانوا أوبنات هو حق البر و الاحسان ، هو حق دعت إليه الديانات السماوية جميعًا
“Maka awal dari hak-hak orang tua atas anak-anaknya, baik lelaki maupun perempuan adalah berbakti dan berlaku baik yang mana hak yang didorong oleh semua agama samawi”.
Misalnya dalam Taurat Musa, sebagaimana dikutip Al-Qardlawi, terdapat perintah untuk memuliakan orang tua, demikian dalam Injil yang turun kepada Isa al-Masih. Sementara itu, Islam menguatkan perintah berbakti kepada orang tua itu yang tidak kita temukan agama-agama lain.
Sebab Islam menganggap berbakti kepada orang tua adalah unsur yang terpenting setelah beriman. Tidak sedikit ajarannya itu kita temukan tersebar di berbagai surah Alquran yang terkait dengan tauhid. Misalnya dalam surah al-Nisa, al-Isra dan Lukman.
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا } [النساء: 36]
{ وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا} [الإسراء: 23]
{ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14} [لقمان: 13، 14]
Hukum Durhaka Kepada Orang Tua
Dengan demikian kesimpulannya yaitu durhaka kepada orang tua secara hierarkis adalah setelah syirik kepada Allah. Di mana durhaka kepada orang tua menurut Nabi Muhammad termasuk salah satu dosa besar. Syekh Yusuf al-Qardlawi menandaskan bahwa kebaktian sangat kita tekankan ketika orang tua sudah mencapai umur senja.
و يشدد الاسلام في بر الولدين و الاحسان بهما في حالة الكبر و الشيخونة عندما تضعف قوتهما و تشدد حاجتهما الي الرعاية ويكون احساسهما في غياة الرهافة و الرقة بحيث تؤثر فيهيما اي كلمة غير لائقة مثل كلمة أف دلالة علي الضحر و التبرم
“Dan memperketat Islam atas anak agar berbakti kepada orang di kala masa tuanya tatkala keduanya sudah lemah dan banyak kebutuhannya. Dan ketika sentimental kedua orang tua itu memuncak yaitu kalimat tak layak pun bisa membuat orang tua marah semisal kalimat “Uf” yang menunjukkan kebosanan dan kekesalan”.
Adapun yang mendasari statement Yusuf al-Qardlawi tersebut adalah ayat Alquran sebagai berikut.
{ وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23} [الإسراء: 23]
Keistimewaan Ibu dibanding Ayah
Al-qur’an menyinggung secara umum, baik kepada ibu maupun ayah. Jika kita telusuri lebih lanjut, Al-qur’an acap kali menyinggung seorang ibu lebih banyak ketimbang sang ayah. Sebab menurut Yusuf al-Qardlawi partisipasi ibu terhadap anak lebih intens dan banyak mengandung risiko.
Sekurang-kurangnya, Alquran menggambarkan keletihan menjadi ibu berserta risiko yang ia tanggung dalam tiga kondisi. Antara lain hamil, melahirkan dan menyusui. Ini artinya seorang ibu yang mendapatkan apresiasi mulia di sisi Tuhan bukan semata-mata melahirkan sebagaimana jamak berkembang di era kontemporer ini bayi tabung.
Syekh Yusuf al-Qardlawi mengutip dua ayat yang menjelaskan kondisi ibu.
{ وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14} [لقمان: 14]
{وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَ} [الأحقاف: 15]
Berbakti Kepada Ibu
Tidak heran jika Nabi Muhammad menyebutkan tiga kali tentang berbakti kepada ibu dalam salah satu hadis beliau.
صحيح البخاري (8/ 2)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أَبُوكَ
سنن ابن ماجه (2/ 1207)
قَالَ «إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثَلَاثًا، إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ، إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ
Dari kedua hadis ini menurut Yusuf al-Qardawi sebagian ulama berpendapat bahwa hak ibu adalah 2/4 sedangkan ayah seperempatnya. Keistimewaan yang ibu peroleh tiada lain lantaran pengorbanan sang ibu yang tiada tara terhadap anaknya. Bahkan nyawa pun ia korbankan, risikonya pun lebih besar ketimbang sang ayah. Al-Qardlawi menandaskan;
وذلك ان الام عانت من الاالام ما لم يعانيه الاب لانها احوج الي بر الاولادمنه فهو قادر بما لديه من مال ان يكتفي بنفسه بخلافها و لان الاولاد يتجرئون عليها ما لايتجرئون على الاب
“Hal ini karena sang ibu mengalami penderitaan yang tidak dialami oleh sang ayah. Selain itu, ibu lebih membutuhkannya sebab sang ayah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri berbeda dengan ibu. Dan anak lebih berani kepada sang ibu ketimbang sang ayah”. []