Mubadalah.id – Masih ingatkah dengan kejadian bom Sibolga? Istri Husain yang bernama Solimah, ia meledakkan diri bersama anaknya pada 13 Maret 2019 dini hari. Atau dengan peristiwa serangan teroris di Mapolda Riau pada 16 Mei 2018. Juga dengan peristiwa 14 Januari 2016 saat terjadi serentetan serangan terorisme yang terjadi di daerah sekitar Plaza sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Juga pada peristiwa 14 Mei 2018 terkait bom di tiga gereja Surabaya dan Wonocolo. Dan peristiwa-peristiwa terorisme dan konservatisme lainnya yang terjadi di negeri ini.
Munculnya aksi terorisme, bom bunuh diri, hingga serangan-serangan yang memicu berbagai macam konflik bahkan merenggut korban jiwa di Indonesia dan dunia, hal ini terjadi tentu saja memiliki sebab tertentu. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, akar dari terorisme adalah radikalisme.
Dalam berbagai macam diskusi dan penelitian, para pelaku penyerangan dan terorisme dari kelompok takfiri, mereka sangat eksklusif, memiliki pandangan yang ekstrim, provokatif, berpegang teguh pada pendapatnya, egois, dan tertutup. Sikap misterius inilah yang menimbulkan mereka tidak mudah mempercayai orang lain bahkan memusuhi orang yang berbeda dengannya.
Bahkan umumnya mereka sangat membenci pemerintah dan elit-elit lainnya. Banyak motif dari gerakan radikalisme ini, beberapa di antaranya karena perasaan tidak puas dengan pemerintah yang ada, hingga motif ingin diberlakukannya syariat Islam dan harapan membuka jalan jihad fi sabilillah dengan memerangi kaum kafir yang mereka yakini adalah para non muslim.
Ada banyak akar-akar penyebab terjadinya radikalisme; Pertama, adanya tekanan politik. Kedua, faktor emosi dan sentimen keagamaan. Ketiga, faktor kultural. Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Keenam, pers media massa yang memojokkan umat Islam hingga menimbulkan reaksi kekerasan.
Namun sebenarnya jika ditelisik lebih lanjut, akar dari paham radikalisme tentu saja berawal dari fanatisme dalam berkeyakinan. Fanatisme ini lahir akibat dari konservatisme dalam beragama. Beragama secara konservatif dengan meyakini dan memegang teguh teks dan pendapat terdahulu sebagai suatu kebenaran yang mutlak tanpa kompromi dan toleransi, menyebabkan golongan ini mudah sekali mengkafirkan orang lain yang berbeda paham dengannya.
Proses radikalisasi sampai saat ini masih berlangsung masif, bahkan setelah era reformasi, mereka lebih mudah mengekspresikan diri dan bergerak secara terbuka. Kerap kali proses ini dimulai dari berbagai macam kajian dan ta’lim yang diselenggarakan untuk mendoktrin mereka pada pemahaman tertentu.
Mereka yang mudah terjebak pada proses ini umumnya memiliki rasa termarginalisasi atau ingin mencari spiritualitas dalam beragama. Namun sayangnya mereka diberi pemahaman yang radikal, konservatif, hingga fanatik pada golongan tertentu dan memusuhi golongan lainnya. Mereka juga diberi pemahaman bahwa melakukan tindakan kekerasan pada orang yang berbeda golongan dengannya merupakan jihad yang harus dijalani.
Bukan hanya laki-laki yang terjebak dalam proses ini, tetapi perempuan dan anak-anak juga sudah mulai menjadi sasaran kelompok radikalis. Hal ini terbukti dengan adanya keterlibatan 11 anak dan 3 perempuan dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada Mei 2018 silam. Dan beberapa peristiwa lainnya yang melibatkan perempuan sebagai pelaku terorisme.
Tentu saja kedudukan perempuan dalam gerakan radikalisme dan ekstremisme memiliki peran penting. Mereka juga menjadi sasaran yang paling mudah untuk didoktrin pemahaman ini. Beberapa doktrin dan peran yang mereka jalani adalah dengan mendidik anak-anak mereka untuk menjadi ‘syuhada’ di jalan jihad yang mereka yakini.
Para perempuan tersebut juga membantu para suami dalam berjihad dan menyiapkan perbekalan logistik. Bahkan saat ini para perempuan sendiri lah yang beraksi, mereka menyebar seruan jihad dan kebencian terhadap golongan lain dan pemerintah via internet, melakukan rekrutmen di media sosial, mempengaruhi keluarganya, hingga melakukan aksi bom bunuh diri dan serangan-serangan lainnya.
Banyaknya perempuan yang mulai terpapar radikalisme dan ektremisme ini tentu saja menjadi pekerjaan bersama, bahwa agen perdamaian tidak hanya untuk laki-laki, tetapi perempuan juga harus terlibat di dalamnya. Perspektif gender dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme juga harus diperhatikan. Bagaimana pun juga dalam aksi ini banyak perempuan yang menjadi korban dan dirugikan dalam hal ini, baik ia selaku maupun korbannya.
Oleh karenanya dalam pertemuan kelima Dawrah Kader Ulama Perempuan Muda 2021, Fahmina Institute sebagai penyelenggara acara ini menghadirkan Mbak Ruby Kholifah selaku direktur AMAN Indonesia untuk menyampaikan betapa pentingnya peran masyarakat sipil dalam mencegah terjadinya terorisme. Bagaimanapun segala aksi kekerasan terlahir dari konservatisme dalam beragama, maka menyebarkan pemahaman agama yang moderat, pesan damai yang rahmatan lil ‘alamin menjadi titik kunci yang bisa dilakukan bersama. []