Mubadalah.id – Gus Dur dikenang banyak orang dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis, dan golongan berkat pemikiran dan perjuangannya pada nilai-nilai kemanusiaan, termasuk upaya Gus Dur pada pemberdayaan perempuan. Melalui kebijakannya ketika menjabat sebagai pimpinan NU dan Presiden pada masanya.
Sekretaris Lakpesdam PBNU, Marzuki Wahid menceritakan, ketika Gus Dur di PBNU, Gus Dur memasukkan sejumlah ulama perempuan di dalam Pengurus Harian NU, yakni tanfidziyah. Pelibatan peran perempuan di NU ini bertahap tidak langsung ke jajaran syuriah.
“Karena masih ada para kyai yang tak setuju akan pelibatan hingga kepemimpinan perempuan. Sehingga Gus Dur melakukan upaya pelibatan perempuan secara bertahap mulai jajaran tanfidziyah hingga syuriah NU,” kata Kang Jek, belum lama ini.
Menurutnya, cerita dari Ketua Lakpesdam zaman Gus Dur, KH. Helmi Ali, Gus Dur pernah mempersilakan perempuan memimpin sidang syuriah. Perempuan pernah memimpin salah satu sidang di komisi Muktamar.
“Cuma saya lupa siapa namanya yang mimpin sidang muktamar dari perempuan,” tuturnya.
Selain itu, Muslimat dan Fatayat merasa terayomi dari gerakan dan kebijakan Gus Dur mengangkat hak-hak perempuan. “Bahkan untuk isu krusial, Gus Dur sebagai pengayom Banom NU ini,” ucapnya.
Kebijakan Negara
Selain itu, ketika memimpin Presiden RI kisaran tahun 2000, Gus Dur mengeluarkan Inpres tentang pengarusutamaan gender. Inpres pengarusutamaan gender, kata dia, membuat perempuan menjadi subjek pembangunan karena itu posisi perempuan sama dengan laki-laki.
Mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hasilnya harus berdampak pada perempuan.
“Melalui Inpres itu, dia (Gus Dur) memberikan ruang agar perempuan masuk menjadi pimpinan instansi negara,” tuturnya Kang Jek.
Alasan Gus Dur mengeluarkan Inpres Pengarusutamaan gender, karena pembuatan Undang-Undang tentu prosesnya panjang dan itu pun harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI.
Setelah inpres dikeluarkan, Gus Dur mengganti nomklatur Menteri Peranan Perempuan menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Menurut dia, diksi wanita diganti perempuan, karena jika dilihat dari asal kata bahwa perempuan itu per dan empu, empu adalah orang yang sangat dijunjung tinggi.
“Gus Dur sadar perempuan belum berdaya, sehingga negara berkewajiban memfasilitasi perempuan agar berdaya dan setara dengan laki-laki. Makanya peranan diganti menjadi pemberdayaan,” terangnya.
Lebih lanjut lagi, ada beberapa perempuan lain yang duduk di kabinet Gus Dur. Seperti Erna Witoelar dan Khofifah Indar Parawansa. Selain itu, Gus Dur menggadang-gadang mengusulkan pemimpin publik dari perempuan. Seperti, Tutut Soeharto dan Marwah Daud, cendekiawan perempuan yang saat itu menguasai soal teknologi.
Hal itu dilakukan melalui kebijakan yang dikeluarkan Gus Dur, baik itu di organisasi NU dan juga negara. Artinya Gus Dur ingin hilangkan stereotipe dan perempuan nyatanya bisa mengurusi publik sebagaimana laki-laki.
Komitmen Gus Dur terhadap perempuan tidak hanya melalui ucapan atau perilakunya saja, tetapi Gus Dur mengeluarkan melalui kebijakan negara dan juga NU untuk mengangkat perempuan sebagai pemimpin.
“Gus Dur mendudukan perempuan dalam stuktur pemerintah dan organisasi NU tanpa diskriminasi,” tegas dia.
Gender Melekat pada Ajaran Islam
Marzuki menilai, apa yang dilakukan Gus Dur dengan mengangkat hak asasi perempuan merupakan manifestasi ajaran Islam. Sebab, ajaran Islam sangat memuliakan dan menjunjung perempuan. Nabi Muhammad adalah feminis sejati karena perjuangan hak-haknya angkat derajat perempuan.
Untuk itu, Gus Dur mengimplementasi ajaran dan gerakan Nabi Muhammad yang diimpelentasikan di zaman Gus Dur hidup dengan isu yang berbeda. Karena itu generasi muda tidak perlu ada keraguan lagi bahwa gender melekat dalam ajaran Islam. Islam adalah ajaran keadilan laki-laki dan perempuan.
Islam selalu berangkat dari tauhid dan ajaran kemanusiaan. Selain sudah dipraktikkan Nabi Muhammad, sahabatnya juga Indonesia mempunyai panutan yaitu Gus Dur sebagai kyai, ulama dan guru bangsa.
“Tugas generasi muda sekarang adalah melanjutkan dan mengembangkan bagaimana keadilan dan kesetaraan terwujud dalam kehidupannya nyata. Sehingga saling bantu melengkapi dan melindungi untuk ciptakan kehidupan yang adil dan bermartabat sebagaimana Islam,” tutupnya. (WIN)