Mubadalah.id – Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), sang argumentator Islam genius dari Thus, Persia, yang legendaris, melancarkan kritik tajam kepada publik yang menolak rasio, akalbudi.
Penulis Kitab Ihya Ulumiddin yang monumental itu berkata:
من لا يحيط بالمنطق فلا ثقة بعلومه اصلا
Orang yang tak mengerti logika, pemikiran rasional, imunya tak bisa dipercayai sama sekali.
Kemudian, al-Ghazali menegaskan bahwa akal budi adalah basis memahami agama.
“Akal adalah fondasi memahami “naql” (teks). Andai tidak ada akal niscaya eksistensi kenabian dan syariat (aturan agama/ kehidupan) tak kokoh”.
Bahkan di tempat lain beliau mengatakan dalam karyanya “Ma’arij al-Quds“ bahwa ;
الشرع لم يتبين الا بالعقل. فالعقل كالاس والشرع كالبناء. ولن يغنی اس مالم يكن بناء. ولن يثبت بناء مالم يكن راس.
“Syar’ (aturan agama) tidak menjadi jelas kecuali melalui akal budi. Ia bagaikan fondasi, syara’ bagaikan bangunan. Fondasi membutuhkan bangunan dan bangunan tidak eksis tanpa fondasi”.
Kemudian, al-Ghazali mengatakan bahwa hari ini masyarakat sedang menderita/sakit jiwa. Bahkan hal yang paling berat dalam kondisi ini adalah kekosongan dokter, ahli medis. Mereka adalah ulama, ahli agama, pakar mental spiritual. Tetapi sayang sekali mereka sendiri sakit parah/kronis.
Hal ini sebagaimana kata-kata seorang penyair:
وراعی الشاة يحمی الذءب عنها فكيف اذ الرعاة لها ذءاب
“Penggembala menjaga ternak-ternaknya dari serbuan srigala. Tetapi bagaimana jika penggembala itu sendiri adalah srigala?.”
Kegelisahan Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali menyampaikan kegelisahan atas realitas masyarakat pada masanya:
قال الامام الغزالى : لقد صارعلم الدين الحقيقى مندرسا .ومنار الهدى فى أقطار الارض منطمسا. ولم يبق الاعلم الفتوى فى الاحكام الظاهرة او الجدل للمباهاة والغلبة والافحام او السجع المزخرف يتوسل به الواعظ الى استدراج العوام.
Artinya: “Sungguh, pengetahuan agama yang sejati telah lenyap. Cahaya petunjuk jalan lurus di seluruh pelosok bumi telah redup. Kemudian, yang tersisa hanyalah fatwa hukum-hukum formal, atau perdebatan untuk kebanggaan diri, mengalahkan dan menjatuhkan lawan bicara, atau permainan kata-kata yang penuh pernak-pernik, meliuk-liuk, yang digunakan oleh “sang juru bicara agama” untuk menina bobokan publik awam“.
Dr. Ali Muhammad al Shalabi dalam artikelnya :
تشخيص الإمام أبي حامد الغزالي لأمراض المجتمع الإسلامي
فأما علم طريق الاخرة مما درج عليه السلف الصالح مما سماه الله فى كتابه فقها وحكمة وعلما وضيآء ونورا وهداية ورشدا فقد اصبح من بين الخلق مطويا وصار نسيا منسيا.
Artinya: “Sementar itu, pengetahuan esoterik/spiritual yang menuntun jalan kepada kehidupan abadi di akhirat, dan pengetahuan yang ditempuh para ulama “al-salaf al-saleh”, (orang-orang saleh masa lalu), yang disebut oleh Tuhan sebagai “pengetahuan tentang hak dan kewajiban”, kebijaksanaan (wisdom/filsafat), ilmu, cahaya dan petunjuk jalan, telah tak berarti dan dilupakan orang”.
Kemudian, pernyataan Imam al-Ghazali di atas memperlihatkan kepada kita betapa para ulama masa lalu mempunyai pikiran terbuka dan mengapresiasi filsafat. Bahkan berbagai ilmu pengetahuan, bukan hanya fikih, dari peradaban manapun. []