Mubadalah.id – Pada Selasa, 23 September 2025, Nyai Sinta Nuriyah Wahid, istri Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mendatangi Markas Polda Metro Jaya bersama sejumlah tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB). Rombongan tersebut hadir untuk membesuk Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation, beserta sejumlah aktivis lain yang ditahan pasca-aksi demo pada akhir Agustus lalu.
Dalam keterangannya, seperti melansir dari Antaranews.com, Nyai Sinta Nuriyah menyampaikan keprihatinannya atas penahanan para aktivis muda yang dianggapnya sebagai penerus bangsa.
“Pertama-tama, kami dari Gerakan Nurani Bangsa merasa prihatin dengan penahanan-penahanan seperti ini. Mereka adalah anak-anak bangsa yang berjuang agar Indonesia tetap berdaulat, bebas bersuara, dan bebas berpendapat,” ujar Nyai Sinta usai menjenguk para aktivis.
Bagi saya, apa yang dilakukan Nyai Sinta Nuriyah menegaskan posisinya sebagai ulama perempuan, figur publik yang sejak lama dikenal konsisten membela kelompok rentan, memperjuangkan hak-hak perempuan, dan merawat nilai-nilai kebangsaan yang inklusif.
Dalam sejarah Islam, suara ulama perempuan sering kali terpinggirkan dari ruang politik. Padahal, mereka memiliki peran strategis dalam menghadirkan wajah agama yang penuh kasih, berpihak pada keadilan. Serta menolak segala bentuk kekerasan kepada perempuan.
Dan Nyai Sinta Nuriyah lah yang melanjutkan tradisi itu. Ia memosisikan dirinya bukan sekadar sebagai istri seorang presiden, melainkan sebagai pemimpin yang berdiri dengan masyarakat yang kerap kali terpinggirkan.
Ketika Nyai Sinta turun tangan maka kehadirannya membawa perspektif keadilan yang lebih luas. Termasuk dalam menghubungkan rakyat kecil dengan hak-haknya untuk terbebas dari penindasan. Bahkan kepemimpinan Nyai Sinta menjadi semakin penting. Apalagi di tengah sistem politik yang kerapkali hanya didominasi oleh elite laki-laki.
Ulama Perempuan Hadir untuk Keadilan
Maka dari itu, di titik inilah kepemimpinan ulama perempuan seperti Nyai Sinta Nuriyah menjadi sangat penting. Kehadirannya mengingatkan bahwa agama tidak boleh kita jadikan sebagai tameng untuk menjustifikasi penindasan. Karena sebaliknya, agama harus menjadi sumber keberanian untuk melawan ketidakadilan.
Bahkan, Nyai Sinta Nuriyah sendiri menunjukkan bahwa ulama perempuan mampu berperan aktif dalam membela hak-hak sipil, demokrasi, dan kemanusiaan secara universal. Dan hal ini menjadi contoh nyata bagaimana kepemimpinan dapat menghubungkan nilai moral, ajaran agama, dan kebutuhan rakyat akan keadilan.
Oleh karena itu, kunjungan Nyai Sinta Nuriyah dan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) ke Polda Metro Jaya seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Bahwa demokrasi Indonesia hanya bisa sehat jika ada keberanian dari berbagai lapisan masyarakat. Termasuk kehadiran ulama perempuan, aktivis, intelektual, ulama, dan rakyat biasa untuk bersuara.
Nyai Sinta Nuriyah telah memberi teladan bahwa keadilan bukan hanya wacana, melainkan tindakan nyata. Ia berdiri tegak bersama rakyat dan mengingatkan bahwa bangsa ini berdiri atas dasar kebebasan dan keadilan. Pertanyaannya kini: beranikah kita melanjutkannya, atau justru membiarkannya redup di tengah tekanan kekuasaan? []