Mubadalah.id – Dalam tulisannya di Kupipedia.id, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menegaskan bahwa hadirnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) berpijak pada keyakinan dasar bahwa pengalaman perempuan tidak boleh diabaikan, dan kapasitas mereka tidak boleh dipinggirkan dari ruang keagamaan.
Karena mengabaikan pengalaman perempuan sama saja menafikan separuh realitas umat manusia dan itu jelas bertentangan dengan nilai Islam.
Keterlibatan perempuan dalam melahirkan pandangan keagamaan merupakan sebuah keniscayaan sejarah dan peradaban Islam. Sebagai manusia utuh, perempuan adalah hamba sekaligus khalifah di muka bumi, sama seperti laki-laki. Mereka dikaruniai akal, jiwa, dan raga oleh Allah SWT untuk mengemban amanah dan tanggung jawab sosial-keagamaan.
Tidak ada alasan apa pun, baik tradisi, budaya, maupun tafsir agama yang boleh mengurangi anugerah dan otoritas tersebut.
Karena itu, KUPI berdiri tegak menolak segala bentuk pandangan keagamaan yang menafikan martabat perempuan.
Pandangan keagamaan baru dapat kita sebut membawa rahmat ketika ia memuliakan perempuan sebagaimana memuliakan laki-laki. Jika tidak, maka ia telah menyimpang dari semangat rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh semesta yang menjadi inti dari misi kenabian itu sendiri.
Arti Kemaslahatan bagi KUPI
Kemaslahatan dalam Islam selama ini sering dimaknai secara umum yaitu sebagai sesuatu yang membawa manfaat dan mencegah mudarat bagi umat.
Namun, bagi KUPI kemaslahatan adalah sebuah pandangan keagamaan baru bisa kita sebut maslahat jika ia secara nyata menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai pihak yang sama-sama memperoleh manfaat, bukan salah satunya.
Dalam konteks sosial di Indonesia, misalnya, tafsir seperti ini sangat relevan. Banyak perempuan masih menghadapi kekerasan berbasis gender, ketimpangan ekonomi, keterbatasan akses pendidikan, hingga marjinalisasi.
Jika pandangan keagamaan tidak hadir untuk menjawab kenyataan ini. Maka ia gagal mewujudkan rahmat Allah SWT di muka bumi.
Oleh sebab itu, bagi KUPI inilah bentuk kemaslahatan yang sesungguhnya. Yaitu ketika agama benar-benar berpihak kepada kehidupan yang lebih adil dan manusiawi, baik kepada laki-laki dan perempuan. []








































