• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Lingkar Tekanan Kehidupan, Pemicu Bunuh Diri Perempuan

Pandemi menjadi masa sulit yang memicu kenaikan tren bunuh diri. Di Jepang, angka bunuh diri bahkan lebih besar dari angka kematian akibat Covid-19. Korban bunuh diri perempuan naik 15%. Data lain bahkan menyebut hingga 70%.

khalimatunisa khalimatunisa
03/05/2021
in Personal
0
Perempuan

Perempuan

344
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kedatangan pertama perempuan tua itu membuat saya lumayan kaget. Sore itu hujan agak deras, ia yang tengah mengayuh sepedanya minta izin berteduh di teras rumah. Permintaannya saya iyakan dengan rasa cemas. Sambil terus mengawasi gerak-geriknya, saya menghubungi suami agar lekas pulang.

Penampilannya yang kumal menggiring benak saya berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Sebagai warga baru di kampung, saya masih minim informasi tentang siapa gerangan perempuan itu. Esok hari ia datang lagi untuk meminjam uang dua puluh ribu rupiah. Lepas itu, tiap lewat depan rumah saya, tak sekalipun ia menoleh.

Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan dari dusun sebelah dikabarkan tewas bunuh diri di rel kereta api, sebut saja Siti. Berita itu menyebar cepat di media sosial, TV lokal, dan tentu saja percakapan tetangga-tetangga.

Kejadian nahas itu bermula pada suatu subuh saat ibu dua anak itu memutuskan pergi ke tepi rel dengan sepeda motornya. Setelah memarkirnya di pos jaga tak jauh dari rel, Siti lantas memasrahkan tubuhnya dilindas roda besi. Tak lama, seorang lelaki paruh baya yang baru pulang dari langgar menemukan potongan-potongan tubuh yang telah tercerai berai.

Konon, alasan ekonomi yang menjadi pemicu aksi bunuh diri itu. Sehari-hari, Siti yang malang melakoni peran sebagai ibu rumah tangga. Suaminya adalah buruh di toko bahan sepatu yang lesu dihajar pandemi. Dua anaknya yang berusia remaja juga bekerja serabutan.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Sebelum memutuskan bunuh diri, Siti sempat dirundung depresi lantaran uang arisan yang dikelolanya dibawa kabur orang tak bertanggung jawab. Orang itu menghilang, menyalahi akad hutang yang disepakati sebelumnya. Padahal uang arisan itu rencananya akan dibelikan sembako untuk dibagikan ke anggota jelang Ramadan.

Mendengar berita itu saya merasa miris. Saya bertanya-tanya, mengapa ia memilih bunuh diri sebagai jalan pamungkas? Tentu saja saya hanya bisa menduga-duga sebab bunuh diri adalah kasus yang kompleks, tidak sesederhana judul berita clickbait yang sering kita temui seperti, “Patah Hati Putus Cinta, Gadis 17 Tahun Gantung Diri.”

Pandemi menjadi masa sulit yang memicu kenaikan tren bunuh diri. Di Jepang, angka bunuh diri bahkan lebih besar dari angka kematian akibat Covid-19. Korban bunuh diri perempuan naik 15%. Data lain bahkan menyebut hingga 70%.

Dalam banyak hal, perempuan lebih menderita ketika pandemi mengharuskan semua orang berdiam di rumah. Di antaranya faktor meningkatnya pengangguran bagi perempuan dan beban tambahan di rumah, apalagi di tengah budaya masyarakat yang masih patriarkis. Belum lagi kerentanan terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan selama pandemi.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2020 menyebutkan ada peningkatan drastis laporan kekerasan terhadap perempuan baik di lembaga-lembaga pengada layanan daerah maupun pusat. Diduga kasus yang tidak dilaporkan lebih banyak lagi karena banyak korban takut dan kesulitan melapor lantaran berada di tempat yang sama dengan pelaku. Selain itu, kekerasan berbasis gender online terhadap perempuan juga terus meningkat.

Saya tidak tahu kompleksitas apa yang melatarbelakangi Siti bunuh diri. Satu yang jelas, keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan modal sosial menciptakan jalinan kerentanan yang membuatnya masuk ke perangkap penipu. Saya juga tidak tahu seperti apa support system yang Siti miliki hingga akhirnya ia menentukan hari kematiannya sendiri.

Selain keadaan, opsi bunuh diri juga disumbang oleh wacana. Belum lama ini kita menyaksikan seorang perempuan memutuskan pergi berjihad dengan menjadi teroris dan menyerang Mabes Polri. Ia tewas tertembak di tempat.

Dari surat wasiatnya tampak bahwa ia berpegang pada pandangan agama yang konservatif di mana pemerintah dicap sebagai thagut, non-muslim adalah kafir, dan berhubungan dengan bank merupakan riba yang tidak diberkahi Allah. Dalam pandangan yang demikian bukan tidak mungkin perempuan ditafsiri sebagai sumber fitnah. Bahwa pada dasarnya perempuan menjadi populasi terbesar di neraka.

Tafsir tersebut ketika dihadapkan dengan tafsir jihad sebagai jalan pembuka surga bukan tidak mungkin akan menjadi harapan palsu bagi perempuan. Bahwa dengan mengorbankan dirinya sendiri, akan terbuka pintu surga yang selama ini sulit ditembus oleh kaumnya.

Mengutip pertanyaan retoris ahli kajian Islam dan gender, Lies Marcoes, “dalam struktur relasi lelaki dan perempuan yang begitu timpang, penghargaan kepada perempuan yang begitu rendah, sepanjang hidupnya dianggap sebagai sumber masalah dan fitnah, siapa pula yang tak ingin hidup sekali untuk berarti meski kemudian mati berkeping?”

Dari sini kita bisa melihat bahwa masih banyak kondisi dan wacana yang tidak banyak memberi harapan pada perempuan. Hal-hal itu tak pelak memerosokkan perempuan di jurang keputusasaan untuk mengakhiri hidupnya dengan beragam cara dan tafsir. Satu yang pasti, akhir kehidupan itu dinilai sebagai satu-satunya penyelamat dari dunia yang tidak berpihak padanya.

Lalu, saya teringat dengan perempuan kumal itu. Dari tetangga akhirnya saya tahu namanya Mbah Yah, warga desa sebelah. Ia hidup di gubuk reyot bersama suami, anak, dan cucunya. Suaminya pengasong sepatu keliling yang tak segan berkata kasar pada istrinya. Anak laki-lakinya menderita gangguan mental setelah kena tipu. Uang hasil kerja yang ditabung untuk membeli sepeda motor, raib dibawa kabur temannya. Konon anak perempuannya menjadi korban perkosaan pamannya sendiri.

Saya tidak tahu persis kebenaran data-data itu. Tapi orang-orang sepakat bahwa hidupnya tidak mudah. Mbah Yah melakukan apapun sebisanya, Kadang ia menawarkan jasa cuci piring di rumah yang sedang menggelar hajatan. Menu makan sehari-harinya satu bungkus mi instan dibagi beberapa anggota keluarga.

Setelah beberapa pekan tak bertegur sapa, tempo hari akhirnya ia sampai lagi di teras rumah kami, berniat mengembalikan uang dua puluh ribu yang ia pinjam. Di titik itu hati saya mencelos, rupanya Mbah Yah masih ingin berjuang untuk kehidupannya. Semoga selalu ada harapan untuknya. []

Tags: JihadKekerasan berbasis gender onlineKekerasan Pada PerempuanKesehatan MentalPandemi Covid-19perempuanTrend Bunuh Diri
khalimatunisa

khalimatunisa

Alumni Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, bergiat di @tsaqafah_id

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kebangkitan Ulama Perempuan

    Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version