Mubadalah.id – Pernah merasa menjadi laki-laki tak berguna? Luka lelaki, Itulah yang sedang kurasakan sekarang. Perasaan tak berarti. Seperti sampah bagi perempuan yang dulu mati-matian kuperjuangkan.
Rasa itu bukan lagi sekadar sesak. Luka lelaki ini hampir saja bermetamorfosis menjadi dendam yang tak bisa sembuh. Seminggu terakhir, ratusan pesan masuk ke ponselku. Isinya hanya caci maki dan permintaan-permintaan yang sulit kupahami.
Ranti, seperti bukan lagi perempuan yang dulu kupeluk erat setelah berikrar di hadapan penghulu. Aku menyesal, kenapa dulu kutandatangani surat izin itu? Surat yang jadi tiket kepergiannya, sekaligus awal kehancuran rumah tangga kami.
Dua tahun lalu, aku masih mengingat jelas malam-malam kami selepas bulan madu. Di bulan keempat pernikahan kami, Aku duduk seperti terdakwa di hadapan kedua mertuaku.
“Man, Ibu dan Bapak kan sudah kasih waktu seminggu. Jadi, apa keputusanmu?”
“Saya tetap pada pendirian saya, Pak, Bu. Saya tidak mengizinkan Ranti pergi ke Taiwan. Ini sudah menjadi kesepakatan kami sebelum menikah. Sarman harap Ibu dan Bapak bisa mengerti.”
Aku berusaha tetap tenang.
Namun, pendirianku itu tak dapat menggoyahkan keinginannya, ibu mertua mengguncangku dengan perkataan yang tak dapat kusangka.
“Kamu itu jangan egois, Man. Mumpung belum punya anak. Gaji Ranti di Taiwan bisa ditabung buat modal usaha. Bisa beli sawah, buka toko, atau biayain kamu pergi ke Taiwan juga. Biar sukses…”
“Saya paham, Bu. Tapi insya Allah, Saya masih sanggup menafkahi Ranti.”
“Alah…! Jangan naif Man, Man…! Coba lihat dirimu sekarang. Jadi guru honor berapa sih gajinya, 500.000 juga gak nyampe kan. Dikasih mobil untuk usaha narik malah ogah-ogahan, Kalau begini terus, anak cucuku nanti mau kamu kasih makan apa, hah?”
Tampaknya, kekesalan yang sejak kemarin dia pendam tak mampu lagi ia tahan mendengar keteguhanku.
Aku tercekat. Ya Tuhan, apakah harga diriku semurah itu?
Dan ibu mertua tak berhenti.
“Mestinya kamu mikir Man. Kamu hidup dengan Ranti itu kurang enak apa sih? Rumah sudah ngejogrog, prabotan sudah lengkap. Sira mene cuma bawa awak abang[2]! Ingat itu! ”
Aku tertunduk. Tak bisa menyangkal. Tapi, perlu kuklarifikasi bahwa memang tidak ada job narik, memang lagi sepi. Akupun menelan ludah, memang benar adanya, Rantilah yang membawa harta.
“Bu, saya kepala keluarga, saya yang berkewajiban mencari nafkah, setelah menikah biar Ranti di rumah…”
Belum sempat kalimatku selesai, ibu mertuAku sudah memotong, tajam.
“Justru karena kamu kepala keluarga, kamu harus bisa menjamin hidup istrimu! Kalau nggak sanggup, ya biarkan istrimu cari uang ke Taiwan! Jadi suami nggak ada guna gawene[3]!”
Aku bisu. Perihnya luka lelaki ini bukan karena hinaan itu. Tapi karena Aku tahu, sebagian dari ucapannya benar.
Lalu bapak mertua ikut bersuara, “Masih ada dua lokasi sawah Bapak yang tergadai dan perlu ditebus. Adik-adik Ranti masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah. Kalau kamu gak sanggup menanggung, tandatanganilah ini! Biarkan Ranti pergi!” tukasnya sambil menyodorkan kertas dan pulpen yang sedari tadi Ia pegang.
Tak lama setelah itu, Ranti masuk kamar sambil menangis. Aku segera menyusulnya dengan mengucapkan maaf pada mertuaku. Pintu kamar kukunci. Tak terima dengan sikapku yang nyelonong masuk dan tidak menandatangani kertas tersebut, ibu mertua melontarkan sumpah serapahnya. Kudengar dengan jelas makiannya itu. “Dasar mantu edan!” “Dasar anak durhaka!”
“Mas, maaf… juga atas sikap Ibu dan Bapak…”
“Aku tak kuasa menolak permintaan mereka…”
“Akulah ulang punggung keluarga….”
Ia menangis dalam pelukanku. Luka-luka yang tadi terasa tajam seketika tumpul saat kulihat air mata perempuan yang kucintai mengalir begitu tulus.
“Sayang, Mas sudah bilang… Mas akan berusaha. Mas ingin kamu tetap di rumah. Seperti perjanjian kita dulu, kamu nggak perlu ke Taiwan lagi.”
***
“Membangun rumah tangga itu perlu modal, sama seperti membangun rumah. Enak sekali suami yang cuma bawa badan dan tinggal masuk ke rumah Istrinya”
Itu caption foto ibu mertua di Akun Facebooknya, dengan gambar rumah yang kini kutempati bersama Ranti. Berbagai komentar pedas mengalir deras. Tak cuma menertawakanku, tapi juga menyeret nama baikku sebagai laki-laki.
Tampaknya unggahan itu sampai ke beranda kakakku. Ia langsung menelponku, tapi tak kuangkat. Ia datang ke rumah saat Aku sedang menarik muatan sayur di pasar. Entah apa yang ia bicarakan dengan Ranti, yang jelas, sejak hari itu Ranti berubah.
Setiap kesempatan Ia selalu meminta agar aku mengizinkannya pergi ke Taiwan. Kerap kali permintaan itu berujung pada sebuah pertengkaran. Sejak itu, setiap hari, rumah kami seperti medan perang kecil. Akhirnya, Aku menyerah. Kutandatangani surat itu dengan harapan semuanya akan membaik. Sayangnya, harapanku itu tinggallah harapan.
Berkali-kali, setiap kali masalah datang, meski hanya karena kesalahpahaman kecil, Ranti selalu menggulirkan kata yang sama: cerai.
Dan Aku, seperti biasa, tak pernah menanggapinya. Kuharap amarahnya akan reda, dan cinta yang pernah tumbuh akan kembali menjernihkan segalanya. Tapi kali ini, tidak. Kali ini berbeda.
***
Masalah itu datang lagi, dengan bentuk yang nyaris sama: campur tangan keluarganya. Layar ponselku kembali berkedip, pemberitahuan pesan masuk tak henti-hentinya membombardir lelahku di penghujung malam.
Aku sudah lelah menjelaskan. Lelah membela diri atas hal yang tak pernah kulakukan. Tuduhan kali ini… benar-benar mengada-ada. Semua bermula ketika aku mengantar rombongan keluarga ke acara pernikahan kerabat.
Seorang janda muda, masih keluarga jauh, duduk di kursi depan sampingku sambil menggendong anak balitanya. Kupikir itu bukan masalah. Toh, dia bagian dari keluarga yang sedang punya hajat, dan mobil yang kupakai adalah kendaraan keluarga.
Kami mengobrol sekadarnya. Tidak lebih, tidak ada gestur berlebihan. Tidak ada niat apa-apa. Tapi selalu saja ada mata-mata yang menjelma CCTV. Mengawasi dari kejauhan, menangkap momen sepotong dan mengeditnya dalam kepala sebelum menyampaikannya ke Ranti.
Dan Ranti, yang sejak dulu memang pencemburu, kini semakin mudah meledak. Kata cerai seolah jadi peluru paling ampuh yang terus-menerus mengarah kepadaku.
Aku tidak mau terpancing. Malam itu, kupilih diam. Kubiaran ponselku berdenting tanpa henti memanggil agar Aku membuka dan membalas, tapi aku menolak. Aku hanya ingin tidur. Ingin menghindari pertengkaran yang sama.
Namun pagi harinya, pesan terakhir yang kubaca membuat jantungku seolah seketika berhenti: “Laki-laki keras kepala! Kalau masih nggak mau menceraikan, biar saya mengajukan. Tek tuku talake![4]” Setelah itu, seluruh akses yang kupunya telah ia blokir.
Kini, Agustus Datang..
Beberapa waktu kemudian, tak tahan dengan screenshot status-statusnya yang dikirim oleh keluargaku membuatku memilih keluar dari rumahnya,
Kini, Agustus datang bersama kemarau. Angin kumbang[5] menggelitik perih yang sudah lama kubiarkan mengendap. hembusannya meningalkan jejak desiran panas pada kulitku yang mengering.
Di seberang jalan, ku pandang gedung Pengadilan Agama Indramayu berdiri tegak. Empat pilar di bagian depannya tampak begitu kokoh, begitu kontras dengan diriku yang remuk.
Map berisi salinan akta cerai masih kupegang erat. Dokumen yang kutandatangani hari itu terasa seperti penanda kematianku sebagai laki-laki. Nyatanya, Ranti membuktikan pesan yang ia kirimkan sebelum memblokir seluruh aksesku padanya. Harga diriku luruh bersama dengan luka lelaki. Janji pada almarhum Ibu untuk setia pada perempuan pertama dan terakhir yang kupilih, hancur.
Angin membawa serta daun-daun yang luruh, meranggas seperti jiwaku, debu yang terbawa menari mencemari udara. Aku duduk di warung kaki lima, dibahu jalan dengan bayangan rindangnya pohon mangga, memesan segelas kopi hitam.
Menelan pahitnya nasib dalam sruputan kopi. Mataku masih tertuju pada gedung itu, saksi bisu dari kegagalan seorang suami yang kalah oleh keadaan. Di mata mertuaku, sarjana bukanlah suatu pencapaian. profesi guru bukanlah sebuah kehormatan. “Nok Ranti…. Tanggung jawab dan kesetiannku tidak ada harganya bagi orangtuamu” Lirihku.
Runtuh
Suara riuh pelajar pulang sekolah menyadarkanku. Deru motor dan tawa canda mereka seketika memenuhi jalan MT. Haryono No. 24 Kecamatan Sindang. Seragam putih abu-abu yang mereka kenakan membawa ingatanku pada masa lalu, saat aku dan Ranti memulai segalanya. Kami mulai berpacaran sejak kelas tiga SMA. Setelah lulus, kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku melanjutkan kuliah di Fakultas Pendidikan, sementara Ranti bekerja sebagai TKI di Taiwan.
Setahun setelah wisuda, Aku diterima sebagai guru honorer. Untuk menambah penghasilan, Aku juga bekerja sebagai operator desain di sebuah percetakan. Namun, setelah menikah, penghasilanku yang selalu terungki membuatku sadar akan tanggung jawab yang lebih besar.
Karena penghasilanku dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, Aku pun mencoba peruntungan lain: menjadi kuli dan sopir. Secara nominal, pendapatannya memang lebih baik, tapi tetap saja, masih dianggap kurang jika dibandingkan dengan penghasilan Ranti sebagai TKI.
Kini, ironisnya, rumah tangga yang kupertahankan dengan mengesampingkan harga diri itu malah menelanku mentah-mentah.
Lamunku tergugah oleh ponsel yang bergetar. Aku mengunduh gambar yang masuk dari nomor yang tak ku kenal. Begitu pengunduhan selesai, gelas kopi yang masih kupegang kuletakan begitu saja.
Aku tercekat, membeku setelah beberapa saat kucoba perbesar gambar yang sudah begitu jelas. sebuah screenshot status WA berupa swafoto di atas ranjang dengan pakaian terbuka, Ranti dan seorang pria berwajah Asia.
Kelelakianku runtuh
Air mataku jatuh. []
[1] Saya beli talakmu. “Tek tuku talake” adalah ungkapan yang merujuk pada proses pengajuan cerai oleh perempuan dengan seluruh biaya proses perceraian dibiayai oleh perempuan. Dalam beberapa kasus dapat juga berarti pengajuan cerai dilakukan laki-laki namun seluruh biaya perceraian ditanggung oleh perempuan. Di Indramayu, fenomena ini terjadi karena proses pengajuan cerai yang dilakukan oleh pihak perempuan terkesan ribet, lama dan biayanya lebih mahal.
[2] Kamu ke sini cuma bawa badan, tanpa harta benda.
[3] Tidak berguna.
[5] Angin Fohn