Sudah berhari-hari malaikat Jaduk tak menampakkan diri di negeri langit. Joglo jagad yang biasanya menjadi tempatnya bekerja menyimak dan menyibak rahasia-rahasia dan perkembangan beberapa jagad itu kini sepi penghuni. Seribu layar yang biasanya menampilkan data-data, pergerakan, persembunyian dan penampakan berbagai rupa kini hitam belaka.
Malaikat-malaikat lain yang ada di joglo-joglo lain (ada joglo manusia, joglo hewan, joglo tetumbuhan, joglo kebaikan, joglo keburukan, joglo akal, joglo batin, joglo kenabian, joglo kepemimpinan, joglo rahasia, joglo kebohongan, joglo kejujuran, dan jutaan joglo lain), terutama yang bertetanggaan dengan joglo jagad yang dipimpin oleh malaikat Jaduk, pun terheran-heran.
“Eh, Wo. Kamu tahu di mana si Jaduk?” tanya malaikat Jamiun, malaikat penjaga joglo manusia, kepada malaikat Marwo yang bertugas di joglo samudera.
“Aku tidak tahu, Un. Tapi kemarin sore aku dengar desas desus ketika kebetulan aku melewati persimpangan negeri langit ke-seratus, katanya ada malaikat kesasar di joglo kosong milik malaikat Samijan yang sudah ditutup ribuan tahun itu.”
“Mungkinkah malaikat kesasar itu si Jaduk?”
“Aku kurang paham juga. Kenapa kamu mencarinya, Un? Bukankah sudah biasa dia tiba-tiba menghilang dan nanti pasti kembali pulang?”
“Ya, aku tahu dia pasti pulang. Tapi dia pergi biasanya karena ada masalah dengan penjagaannya terhadap jagad-jagad yang ada. Biasanya dia cerita padaku. Kenapa sekarang dia tidak berkata apapun dan menghilang begitu saja.”
“Coba kau ke joglo kosong bekas penjagaan Samijan itu, desas-desus malaikat tidak pernah keliru.”
Malaikat Jamiun mengangguk, ia lantas melesat ke simpang-simpang langit yang pada tepi-tepinya terbuat dari cahaya sekaligus telaga, air sekaligus api, api di negeri langit hari itu berwarna merah jambu, lain hari lain pula rupanya, sedang telaga mengalir dari dan ke berbagai arah dan sudut, menjumbul dan menghilang dengan warna yang berubah-ubah. Sebab di simpang langit, setiap zat, bentuk dan rupa adalah makhluk, mereka punya kebebasan menjadi dan memilih dirinya sendiri.
Di simpang ke seratus, malaikat Jamiun berkelok lalu terbang ke ujung. Dilewatinya joglo-joglo yang masih bercahaya, meski beberapa joglo gelap semata. Memang beberapa penjagaan di negeri langit itu sudah tak berfungsi sebagaimana mulanya, sebab kehidupan sungguh tiada yang abadi, begitu juga penjagaan.
Pun, sebab terkadang makhluk-makhluk dan bentuk-bentuk semesta yang diperjagakan ternyata hancur berantakan, entah karena memang skenarionya dibikin begitu, atau karena ulah para makhluk itu sendiri. Tak terkecuali joglo kosong bekas penjagaan malaikat Samijan.
Setelah tiba di joglo kosong yang usang, malaikat Jamiun masuk ke pelataran, lalu mencahayai joglo itu dengan cahaya yang datang dari dirinya sendiri. Tak ditemuinya sahabat karibnya, malaikat Jaduk, di pelataran itu. Lalu ia mengitari joglo, membelah dirinya pada dinding, merembes menjadi air yang menyusuri langit-langit juga lantai. Ketika sampai ia pada sebuah sumur kering di bagian belakang joglo, didapatinya malaikat Jaduk merenung meringkukkan tubuhnya di sana.
“Oalah Duk, Jaduk. Aku cari kamu di mana-mana, ternyata di sini. Apa yang kamu lakukan di sumur ini?”
Ditanya begitu, malaikat Jaduk hanya menoleh dengan roman yang datar-datar saja. Tidak tampak kekagetan karena sahabatnya itu menemukan dirinya di sana, atau wajah merasa terganggu. Sungguh datar, entah apa yang dipikirkannya.
“Apa benar kamu kesasar?” tanya Jamiun.
“Tidak. Aku tidak kesasar. Memangnya aku si Ngatid yang suka lupa arah dan simpang langit!” Jaduk berkilah, pada lekuk wajahnya mulai tersirat sedikit amarah.
“Lho ya jangan marah, Duk. Aku tanya karena aku khawatir. Ceritalah padaku.”
Roman malaikat Jaduk melembut demi mendengar kalimat malaikat Jamiun baru saja.
“Konon, di sumur ini, si Samijan sering menyaksikan keluh kesah yang dilontarkan apa-apa yang dijaganya. Lalu, ia akan menimba air dari sini dengan tangannya sendiri, meneguknya dengan kerongkongannya sendiri, menelan semua keluh kesah itu pada dirinya sendiri. Konon, itulah laku tirakat untuk membuat penjagaannya tetap hidup bernapas,” kata malaikat Jaduk kemudian.
“Aku sedih sejak joglo penjagaan Samijan gelap,” lanjutnya.
“Sudahlah, Duk. Sudah ribuan tahun Samijan dipindahkan di negeri langit yang lain. Joglo ini biarlah seperti joglo-joglo gelap lain di sini, menjadi ingatan juga pelajaran,” ucap malaikat Jamiun.
“Itulah kenapa aku di sini. Aku takut, Un. Kalau nasib jogloku, akan seperti joglo ini. Bukan semata karena aku sedih akan dipindahkan, jika itu terjadi, sebab tugas kita bukan mencengkerami satu penjagaan. Tapi aku kadung begitu sayang dengan jagad-jagad yang kujaga. Aku sedih karena beberapa jagad yang kujaga sudah mulai layu dan sakit-sakitan karena ulah makhluk-makhluk kecil yang menghuninya,” malaikat Jaduk berkaca-kaca. Kini malaikat Jamiun mengerti apa yang tengah menggelisahkan batin kawan karibnya itu.
“Setiap malaikat punya laku tirakatnya masing-masing. Mungkin, kamu perlu mencari tahu kedalaman hatimu sendiri, Duk. Tirakat apa yang bisa kamu lakukan untuk membuat penjagaanmu tetap bernapas.”
——–
Malaikat Jaduk dan malaikat Jamiun bertamu di joglo samar yang dijaga oleh malaikat Darmo. Di joglo itu, malaikat Darmo bertugas menyembunyikan hakikat pada yang samar-samar, memberi makna dengan cara yang tersembunyi, membubuhkan rahasia kebenaran pada yang sejatinya selalu tak kentara. Kepada malaikat Darmo, malaikat Jaduk menceritakan kegelisahannya.
“Aku ingin minta saranmu, Mo. Bagaimana cara mengingatkan makhluk-makhluk kecil yang sombong itu, di beberapa jagad kecilku itu, supaya mereka tidak menyiksa jagad tempat mereka bertempat. Kesombongan, ketamakan dan kuasa telah membuat mereka berlaku semena-mena,” jelas malaikat Jaduk.
Malaikat Darmo mengangguk-angguk tanda mafhum. Lalu pada layar luas di joglo itu, Darmo menyalakan cahaya, menampilkan kilatan-kilatan sejarah makhluk di negeri bawah.
“Di suatu jagad, ada malaikat yang gemar menyamar sebagai makhluk di negeri bawah, ia turun ke negeri itu langsung, menjelma debu, dedaunan, kata-kata, juga tubuh yang bisa berbicara. Pernah ia menjelma seorang perempuan bernama Rabi Adawi, menjadi guru bagi makhluk-makhluk lainnya supaya menyembah Gusti dengan cinta yang tak bersyarat, tak berharap.
Cinta yang tulus karena semata cinta itu sendiri, bukan yang lain. Malaikat itu juga pernah menyamar sebagai rasul-rasul, nabi-nabi, perempuan atau laki-laki, atau bahkan tidak perempuan dan tidak laki-laki, untuk menyebarkan kebenaran dan cahaya cinta illahi, lantas sekian juta makhluk mengikuti nasihat-nasihat kebenarannya, kembali eling kepada kesejatian hidup, menjaga jagad, menjaga rimbun tetumbuhan, dan menjaga akal mereka sesuai hakikat cinta yang sebenarnya,” urai malaikat Darmo panjang lebar, pandangannya menatapi layar yang menampilkan tubuh perempuan yang pada tangannya ada obor yang menyala, pada tangan lainnya ada ember berisi air yang bertumpah-tumpah.
“Tapi ada suatu masa pada jagad itu, di mana menyamar sebagai nabi, rasul, makhluk suci, justru membuat malaikat itu bertubi-tubi ditimpuki batu, lehernya berakhir di ujung kapak yang menumpasnya, atau tubuhnya dibakar hidup-hidup. Ia melesat kembali ke negeri langit, termenung kaget pada kenyataan bahwa makhluk sedemikian kecil itu bisa berbuat sedemikian kejam itu,” lanjut malaikat Darmo, matanya berkaca-kaca, sebab batin malaikat memiliki kelembutan yang tak bisa dibandingkan dengan apa saja yang ada di semesta.
Malaikat Jaduk dan malaikat Jamiun juga termenung getir demi mendengar apa yang baru saja diceritakan malaikat Darmo.
“Lalu apa yang terjadi pada jagad itu kemudian?” tanya malaikat Jamiun.
“Jagad itu hancur lebur, oleh tangan makhluk-makhluk kecil itu sendiri, malaikat yang menjaga lalu dipindahkan ke negeri langit yang lain, joglonya, seperti joglo-joglo gelap yang lain, kini sekadar menjadi ingatan juga pembelajaran,” jawab malaikat Darmo.
“Apa yang terjadi pada jagad itu sebelum hancur, mirip dengan apa yang terjadi pada beberapa jagad penjagaanku saat ini. Sudah tentu, aku tak perlu menyamar sebagai tubuh yang berbicara. Sebab itu pasti sungguh sia-sia,” kata malaikat Jaduk sembari tertunduk. Perasaannya teraduk-aduk. Harapan, kesedihan dan keinginan bercampur aduk. (Bersambung)