“They thought bullets would silence us, but they failed.”
Mubadalah.id – Malala Yousafzai seorang aktivis perempuan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada lantang. Aktivis perempuan dari Pakistan. Nama lengkapnya Malala Yousafzai. Ia memiliki nama panggilan Malala. Perempuan kelahiran Pakistan tanggal 12 Juli 1997. Saat ini umurnya masih dikatakan muda.
Perempuan muda yang memiliki jiwa semangat membela hak perempuan di Pakistan. Suatu hari anggota Taliban melarang para perempuan di daerah Pakistan mengenyam pendidikan, sebab menurut mereka perempuan lebih baik bersama dengan keluarganya di dalam rumah, tidak perlu keluar rumah.
Taliban termasuk organisasi Islam garis keras. Organisasi yang menentang perempuan beraktivitas di ranah publik ketika itu, melarang perempuan bekerja dan mengenyam pendidikan di sekolah. Hak perempuan dibatasi, jika melanggar, ada sanksi tegas bagi mereka (perempuan).
Malala ketika itu, mengetahui adanya pelarangan bagi perempuan menuntut ilmu di lembaga pendidikan (sekolah) merasa tidak adil, haknya sebagai perempuan dicabut dari kebebasan menuntut ilmu. Ia merupakan perempuan yang sangat menekuni pendidikan, gemar belajar atau menambah wawasan.
“They can stop us to school, but they can’t stop us learning,”
Malala Yousafzai menyuarakan haknya (hak perempuan) di daerahnya itu dengan penuh optimis dan semangat yang tinggi. Tidak ada batasan dalam belajar. Pembatasan ruang gerak oleh kelompok Taliban terhadap perempuan. Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar, bahwa mereka tidak berhak melarang perempuan menambah wawasan ataupun berkarya dan membaca buku.
Atas keadaan ini, ia menyuarakan lagi hak perempuan Pakistan di salah satu stasiun televisi Pakistan dengan lantang, sebagai kritik terhadap organisasi Taliban yang berkuasa di daerahnya, ketika itu.
“Education is power for women. The Taliban are closing girl’s schools because they don’t want women to be powerful.”
Bahwasannya pendidikan merupakan sumber kekuatan perempuan. Pelarangan bagi perempuan bersekolah di daerahnya itu oleh Taliban karena tidak menginginkan perempuan di daerahnya berkembang menjadi lebih kuat dibanding laki-laki.
Ia mengajak para perempuan lain untuk tetap menyuarakan haknya dan tidak memupus tekadnya dalam menuntut ilmu, sebab perempuan sebagaimana laki-laki dengan hak yang sama (dalam menuntut ilmu).
Jika merujuk pada syari’at Islam, bahwasanya Islam tidak membedakan atau membatasi hak perempuan dan laki-laki. Perintah Allah dalam al-Qur’an Surat al-’Alaq ayat 1 yang berbunyi “Iqra’!” yang bermakna ‘bacalah’. Perintah membaca menyiratkan bahwa Allah hendak menginginkan hambanya untuk belajar. Perintah itu tidak menyiratkan adanya batasan gender. Artinya baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk belajar menuntut ilmu dan menambah wawasan.
Akibat dari sikap Malala Yousafzai itu, tanggal 9 Oktober 2012 lalu anggota Taliban mencarinya. Suatu hari Malala Yousafzai sedang menaiki bus perjalanan pulang dari sekolah menuju rumahnya, Anggota Taliban kemudian menembak salah satu bagian tubuhnya (bagian kepala). Malala kemudian jatuh sakit dan membutuhkan perawatan intensif.
Di umurnya yang masih muda, Malala Yousafzai mengalami kejadian mengerikan. Namun, meski mengalami kejadian itu, sama sekali tidak menyurutkan semangat Malala untuk bangkit dan terus menyuarakan hak-hak kaum perempuan Pakistan. Ia berangsur sembuh dari kejadian itu, lebih cepat dari yang dibayangkan orang lain. Ia berangsur pulih dan melanjutkan hidupnya menjadi aktivis yang menyuarakan hak perempuan.
Serangan yang dialaminya cukup serius, namun mentalnya terlampau lebih kuat. Atas keberaniannya itu, tahun 2014, Malala Yousafzai mendapat penghargaan Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize). Dilansir oleh media Britanica.com bahwa di umurnya yang ke 17 tahun, Malala Yousafzai mendapat penghargaan Nobel berkat keberaniannya menyuarakan hak perempuan. Ia menjadi perempuan termuda peraih Nobel Prize.
Sejak kejadian yang menimpanya itu, nyaris merenggut nyawanya di tahun 2012, kemudian Ia dilarikan ke Inggris dan mendapat pengobatan disana. Ia pun melanjutkan studinya hingga kini, yaitu di Universitas Oxford, Inggris.
Keinginan Malala Yousafzai saat itu sebenarnya sangat sederhana, pergi sekolah, belajar dan ingin menjadi guru, sebab dengan menjadi guru, ia akan melahirkan murid-murid perempuan yang cerdas dan berkarakter. Para intelektual sejatinya lahir dari didikan guru yang tepat. Guru dengan kegigihannya mengajar murid-murid tujuannya supaya mereka mendapat pengetahuan.
Respons pelarangan dari Taliban itu, Malala Yousafzai pernah berpidato dengan judul “Betapa Beraninya Taliban Merampas Hak Dasar untuk Bersekolah.” Hak perempuan diusik oleh Taliban, Mala mengkritisi penyebab urgen pelarangan tersebut, dan mengapa harus perempuan saja yang mengalami pembatasan itu? Apa yang salah dengan diri perempuan.
Atas kejadian Malala Yousafzai itu, jika dikaitkan dengan syariat Islam, sejak masa Nabi Muhammad saw, perempuan sudah banyak yang beraktivitas bahkan menuntut ilmu kepada Nabi. Salah satu contoh, Siti Khadijah istri pertama Nabi Muhammad, perempuan pebisnis yang tersohor di Mekah ketika itu, Siti Aisyah perempuan pemberani pemimpin perang, dan lainnya.
Pada hakikatnya agama Islam tidak membatasi perempuan dalam menuntut ilmu dan berkegiatan. Islam juga mengajarkan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan merupakan hamba Allah, yang membedakan diantara keduanya yakni keimanan masing-masing.
Perjuangan Malala Yousafzai dalam menuntut keadilan terhadap hak perempuan terdengar lantang hingga ke lembaga PBB. Malala menjadi advokat muda membela hak perempuan untuk berpendidikan. Dunia kemudian menyorot sosoknya setelah kejadian yang menimpanya. Malala Yousafzai semakin gencar menyuarakan hak perempuan melawan Taliban.
Baginya, penghargaan itu didedikasikan kepada anak-anak perempuan di daerahnya yang terlupakan dan ingin melanjutkan pendidikan. Para perempuan yang ketakutan bersuara meski dalam hati sangat mendambakan menuntut haknya. Bahwa dalam diri perempuan tidak ada suatu kesalahan. Agama tidak lagi menjadi alasan melarang perempuan beraktivitas sebagaimana laki-laki.
Lingkungan patriarkis memandang remeh peran perempuan, seakan menganggap perempuan adalah aib keluarga. Perempuan boleh beraktivitas di rumah saja, dunianya terbatas di lingkungan rumah, kasur, dan dapur.
Rekam kisah Malala Yousafzai juga pernah ditulis dalam blog pribadinya menggunakan nama samaran, sebelum ia mengalami peristiwa penembakan oleh Taliban. Malala dikenal sebagai Aktivis muda pembela hak perempuan untuk mendapat hak yang sama dengan laki-laki, terutama berpendidikan.
Namanya kemudian dikenal, semua pengalaman Malala juga mulai termuat dalam suatu buku yang berjudul I am Malala: A Resourch Guide for Educators yang diterbitkan oleh media Little, Brown and Company. Tidak hanya itu, media-media international juga mulai menyorot sosoknya sebagai perempuan muda pembela hak perempuan Pakistan. Kepeduliannya terhadap hak perempuan sangat besar. Melalui pengalaman diri dan suara teman-teman di lingkungannya yang tidak memiliki nyali untuk menyuarakan.
Tidak ada batasan untuk belajar, tidak ada pula larangan untuk bersuara. Perempuan dan laki-laki adalah sama (manusia), dengan potensi yang tidak jauh berbeda. Perempuan juga merupakan calon pendidik anak yang utama. oleh karena itu ia harus berwawasan, Sebab bila tidak, maka bagaimana langkah mendidik anak dan menemani tumbuh kembangnya jika tidak didasari pengetahuan yang mumpuni?
“I believe that female teachers should educate girls, but first we need to educate our girls so that they can become teachers.”
Pesan dari Malala Yousafzai bahwa untuk melahirkan generasi pendidik, perempuan harus berpendidikan. Akan banyak hal-hal baru yang menguntungkan setelah perempuan memiliki wawasan (ilmu pengetahuan). Seseorang akan terbuka wawasan, menemukan alternatif dari masalah yang muncul. []