Mubadalah.id – Akhir-akhir ini media digital tengah digemparkan dengan berita kasus kekerasan, salah satunya yaitu kasus kekerasan seksual yang menimpa beberapa santriwati di Banyumas, mereka mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang remaja yang mengaku sebagai paranormal yang bisa mengeluarkan roh jahat dari tubuh korbannya.
Melihat kasus ini membuat saya prihatin dan khawatir, apabila kasus ini tidak tertangani segera akan membiarkan para pelaku terus menerus melakukan kejahatan yang sama.
Melihat kasus ini, tidak heran jika data kasus kekerasan setiap tahunnya terus meningkat. Dilansir dari Data Indonesia.id, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan, pada tahun 2022 ada sebanyak 25.050 perempuan di Indonesia yang menjadi korban kekerasan. Jumlah kasus tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 21.753 kasus.
Melihat data tersebut, menjadi nyata bahwa perlindungan perempuan dari kekerasan masih jadi PR besar. Oleh karena itu, semua pihak perlu melakukan upaya-upaya untuk mengatasi hal ini.
Misalnya dengan menegakkan hukum yang adil untuk melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan, memberikan akses dan ruang kepada perempuan agar dapat berkontribusi dalam ranah sosial, sehingga dapat meningkatkan kesetaraan dan emansipasi perempuan.
Selain itu, juga bisa dengan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan studi gender serta menciptakan ruang aman bagi korban kekerasan supaya tidak takut untuk melapor dan speak up, serta membantu korban untuk mendapatkan dukungan dan pertolongan.
Hal-hal semacam ini, bukan hanya perlu satu pihak lakukan, tapi semua pihak. Mulai dari negara, lingkungan keluarga, pendidikan, ranah pekerjaan dan lingkungan sosial pada umumnya.
Di SUPI ISIF
Seperti halnya yang dilakukan oleh Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) ISIF misalnya. Para penggagas SUPI berusaha untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman bagi perempuan dan laki-laki. Sehingga dalam proses belajar, para mahasantriwa SUPI selalu mereka bekali dengan Mata Kuliah tentang studi gender, kesehatan reproduksi, studi HAM dan yang lainnya.
Salah satu tujuan memasukan pengetahuan-pengetahuan tersebut pada kurikulum belajar SUPI adalah untuk memberikan kesadaran pada laki-laki dan perempuan, bahwa mereka adalah manusia utuh yang berhak terbebas dari segala bentuk kekerasan, dalam hal ini kekerasan seksual.
Di sisi lain, sebagai ruang aman. Di SUPI juga ada deep talk di mana, para santri punya kesempatan untuk menceritakan soal apapun kepada pengasuh. Entah itu soal kondisi kesehatannya, soal perasaannya, mungkin juga soal ketidaknyamannya berelasi dengan teman-teman dia.
Dengan langkah-langkah ini, para pengasuh bisa mengambil peran untuk melakukan evaluasi. Serta mencari solusi agar lingkungan pendidikan kembali menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi mahasiswa-mahasiswanya.
Masih dalam rangka yang sama, ISIF yang saya lihat juga sudah berupaya untuk melindungi para korban kekerasan. Salah satunya dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan berjejaring dengan lembaga-lembaga penanganan kasus kekerasan seksual.
Langkah-langkah sederhana ini menurut saya bisa juga kita aplikasikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Seperti pondok pesantren, kampus, sekolah dan yang lainnya. []