Mubadalah.id – Saat ini sejarah dunia semakin mengukuhkan kembali peran perempuan sebagai identitas dan pribadi-pribadi mandiri yang tengah bersaing untuk merebut dan mengambil kembali hak-haknya yang sudah sangat lama tercerabut atau dicabut.
Peran para perempuan kini tengah bersemangat untuk berpartisipasi dalam segala ruang, seperti sosial, budaya, ekonomi, hukum, politik, bahkan militer.
Sekalipun, secara kuantitas jumlah perempuan yang tercerahkan ini masih relatif kecil dibanding laki-laki, namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka.
Perlu kita garis bawahi bahwa tuntutan ini bukan sekedar soal eksistensi, melainkan semata-mata kehendak sejarah manusia.
Penjelasan ini sesungguhnya hanya ingin menegaskan bahwa tidak ada kehebatan mutlak yang satu jenis kelamin tertentu miliki. Laki-laki tidak berhak memutlakkan hidupnya sebagai makhluk yang paling istimewa ketimbang perempuan.
Dari rahim perempuanlah manusia lahir. Merekalah yang mempertaruhkan seluruh hidupnya dengan menaruhkan sepenuh cintanya demi eksistensi manusia dan kemanusiaan.
Dari mereka pula manusia, laki-laki dan perempuan, banyak belajar, sejak dari buaian hingga liang lahat (min al-mahdi ila al-lahd). Kepekaan yang sangat dan mendalam terhadap ibu, Nabi tunjukan.
Ketika Nabi Muhammad memberikan pendapatnya mengenai manusia mana yang lebih patut memperoleh penghormatan dan pemuliaan, Nabi menjawab: “Ibumu”. Lalu siapa sesudah itu? Nabi menjawab lagi: “Ibumu”.
Lalu setelah itu siapa lagi?, beliau tetap kokoh dalam pendiriannya: “Ibumu”. Lalu siapa selanjutnya?, beliau mengakhiri jawabannya: “Ayahmu”. Ini sungguh-sungguh jawaban yang sangat indah.
Penghormatan dan pemuliaan yang selayaknya patut kita berikan, tidak hanya kepada perempuan sebagai semata-mata ibu, manusia berhutang budi.
Bahkan kepada banyak tokoh perempuan dalam statusnya sebagai perempuan, karena jasa-jasanya yang besar bagi peradaban Islam.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.