Mubadalah.id – Onani atau masturbasi yang dilakukan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan) dengan cara memainkan alat kelaminnya dengan tangannya sendiri tampaknya disepakati sebagai bagian dari tindakan yang merusak unsur etika dan tidak pantas dilakukan.
Kendatipun demikian, dari sudut kesehatan banyak para ilmuan dan psikolog mengatakan bahwa masturbasi tidak merusak kesehatan jika dilakukan tidak secara berlebih-lebihan. Kehilangan benih tidak merugikan bagi tubuh, karena kelenjar-kelenjar benih akan segera dapat mengisi kekosongan.
Sedangkan dalam konteks hukum legal-formal, para ulama ahli hukum Islam (fuqahâ`) berbeda pandangan dengan berbagai argumennya yang berimplikasi pada perbedaan pendapat hukumnya tentang masturbasi dan onani ini.
Secara kategorial, seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh, dapat kita klasifikasikan ke dalam lima pendapat hukum yang secara umum bisa dianggap mampu menjelaskan masalah-masalah masturbasi. Kategori tersebut secara baik dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah-nya.
Pandangan Ulama
Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Zaidiyyah. Mereka secara tegas berpendapat, bahwa masturbasi atau onani haram dilakukan oleh siapapun. Baik oleh kaum lelaki maupun perempuan, dewasa maupun remaja, sudah kawin maupun masih lajang, semuanya diharamkan melakukan masturbasi atau onani.
Hujjah atau argumen hukum yang mereka gunakan adalah firman Allah SWT yang telah kita sebutkan di atas. Menurut mereka, secara keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an tersebut menyuruh kepada kita (umat manusia) untuk memelihara alat kemaluan atau kehormatannya (hifdh al-furûj) pada semua keadaan. Kecuali ketika mendatangi istri-istri atau ‘budak-budak’ yang menjadi miliknya.
Di samping ayat di atas, al-Suyuthi mengutip sebuah hadits yang dari Ibnu Abi Hatim dari Muhammad Ibn Ka’ab bahwa “Setiap farj haram atas kamu kecuali dua farji: farji istri dan budak miliknya.”
Konsekuensi dari pemahaman demikian, apabila ada seorang lelaki yang melampaui batas dari dua keadaan tersebut. Yakni mendatangi istri dan budak miliknya. Misalnya dengan cara masturbasi atau onani, maka ia oleh ketentuan ayat al-Qur’an tersebut masuk ke dalam orang yang melampaui batas dari sesuatu yang Allah SWT halalkan. Mereka juga memahami, “melampaui batas ini” adalah masuk ke dalam perbuatan yang haram.
Untuk lebih jelasnya, dalam firman Allah yang menegaskan bahwa redaksi sama yang terdapat dalam Surat al-Mu’minûn (23) ayat 5-7 dan Surat al-Ma’ârij (70) ayat 29-31: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tiada tercela. Barangsiapa yang mencari kebalikannya itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Memelihara Kemaluan
Ketiga ayat di atas mengajarkan bahwa orang-orang yang memelihara kemaluannya (dengan tidak memasukkan penisnya ke sembarang vagina. Juga tidak membiarkan vaginanya masuk oleh sembarang penis). Kecuali terhadap pasangannya yang sah (seperti istri dan suami) atau budak-budaknya (bagi tuan laki-laki).
Adalah termasuk orang mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan (dalam Surat al-Mu’minûn). Dan tidak termasuk orang yang bersifat keluh kesah dan kikir. Yang apabila ia tertimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir (dalam Surat al-Ma’ârij).
Mereka itulah orang-orang yang tidak tercela. Sementara orang yang melampiaskan nafsu syahwatnya dengan cara lain, seperti masturbasi atau onani, adalah orang-orang yang melampaui batas (al-‘âdûn).
Secara lebih spesifik, di samping pada tiga ayat di atas, Malikiyyah mendasarkan keharaman onani/masturbasi tersebut kepada hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang sudah cukup kesohor.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya: “Wahai para pemuda. Barang siapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk nikah, lakukanlah. Sebab, nikah lebih dapat mengendalikan pandangaan dan lebih efektif menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka berpuasalah, karena di dalam puasa itu terdapat obat yang dapat menurunkan gejolak syahwatnya.”
Mereka menegaskan bahwa kalau memang onani/masturbasi itu boleh, maka pasti Rasulullah SAW mengarahkan kita untuk melakukan onani/masturbasi. Karena ia lebih mudah ketimbang puasa. []