Mubadalah.id – Mata uang kripto dalam beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang signifikan. Trend penggunaan crypto currency yang semakin meningkat memantik banyak kalangan untuk ikut memakai jenis uang baru ini. Bahkan, beberapa negara melegalkan uang kripto, baik terkait penambangannya maupun pemakaiannya sebagai alat transaksi yang sah. Di antara negara yang membolehkan uang kripto yaitu Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Nigeria, dan Rusia.
Di Indonesia sendiri, pemerintah melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) telah mengatur hal ihwal uang kripto. Dalam Peraturan Nomor 9 Tahun 2019 yang diterbitkan BAPPEBTI, uang kripto dikategorikan sebagai komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital. Uang kripto juga harus diperdagangkan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam BAPPEBTI.
Dalam Peraturan Nomor 7 tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto, cryptocurrency yang ada saat ini bukan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI, melainkan sebagai aset kripto yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral, menetapkan uang kripto tidak diakui untuk dimanfaatkan menjadi alat transaksi. BI bahkan melarang semua penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia, baik bank maupun lembaga non-bank, memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency, sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Larangan pemakaian cryptocurrency untuk alat pembayaran yang sah didasarkan pada Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah NKRI, wajib menggunakan Rupiah.
Dampak Negatif Crypto
Mata uang kripto sendiri memiliki beragam jenis, di antaranya bitcoin, ehtereum, litecoin, ripple, stellar, dogecoin, cardano, eos, dan tron. Dari sekian mata uang tersebut, semuanya memiliki kesamaan dalam hal fluktuasi nilainya. Terkadang nilai uang kripto naik signifikan, di lain waktu mengalami penurunan drastis yang meresahkan. Di samping itu, keamanan uang kripto tidak dapat dipastikan. Risiko peretasan terhadap mata uang kripto relatif besar.
Cryptocurrency juga berpotensi disalahgunakan untuk tindakan-tindakan kriminal, seperti pencucian uang (money laundering) dari koruptor, mafia, ataupun kelompok teroris. Bitcoin, misalnya, karena penggunanya dibolehkan bertransaksi memakai identitas samaran, berpotensi besar digunakan untuk lelaku kejahatan dan perbuatan terlarang.
Melihat berbagai ekses negatif tersebut, tidak mengherankan beberapa lembaga fatwa, baik di luar negeri maupun dalam negeri, umumnya mengeluarkan fatwa haram. Darul Ifta’ Al-Azhar Mesir pada tahun 2017 menegaskan, uang kripto bitcoin berstatus haram. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur juga mengeluarkan fatwa senada setelah melalui proses bahtsul masail.
Mata uang crypto, berdasarkan hasil kajian Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), mempunyai dua ketentuan hukum. Pertama, kripto haram digunakan sebagai mata uang karena mengandung gharar (ketidakjelasan) dan dharar (dampak negatif) serta bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Kripto juga tidak sah diperjualbelikan karena terdapat unsur gharar, dharar, qimar (judi), dan tidak sesuai dengan kriteria sil’ah (komoditas dagang) secara syar’i. Kedua, jika aset kripto mampu memenuhi syarat sebagai sil’ah: bisa ditransaksikan dengan akad jual beli, mempunyai underlying, dan memiliki manfaat yang jelas; maka dihukumi mubah (boleh).
Pertimbangan Fiqih Lingkungan
Selain persoalan keamanan finansial, nilai mata uang, dan agama, isu lingkungan mestinya menjadi salah satu pertimbangan dalam memandang permasalahan uang kripto ini. Sebab, dalam proses penambangannya, dibutuhkan sumber daya yang cukup besar. Untuk menambang bitcoin, sebagai contoh, diperlukan sejumlah perangkat komputer atau mining rig yang terdiri dari banyak kartu pengolah grafis (GPU).
Untuk mengoptimalkan proses mining, seluruh GPU harus beroperasi selama 24 jam, sehingga kebutuhan daya listrik menjadi besar. Menurut Digiconomist yang merilis laporan Bitcoin Enegery Consumption Index, untuk menghasilkan satu keping bitcoin, daya listrik yang dihabiskan sebanyak 1.820 kilo Watt per jam (kWh). Penambangan satu keping bitcoin juga bisa menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 864,93 kgCO2, yang setara dengan 1,9 juta transaksi Visa atau 144.000 ribu jam menonton YouTube.
Digiconomist juga mengestimasi biaya listrik dari mining bitcoin yang mencapai 10 miliar USD per tahun, sementara pemasukan dari bitcoin sejumlah 13 miliar USD. Artinya, rasio biaya listrik dengan total pendapatan tahunan yang diperoleh para penambang bitcoin mencapai 77 persen. Hal ini belum memperhitungkan besaran sumber energi yang digunakan untuk listrik.
Indonesia sendiri masih mengandalkan produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya berasal dari batubara. Karenanya, secara tidak langsung, proses mining bitcoin dapat meningkatkan konsumsi batubara dalam jumlah besar. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin akan terjadi kelangkaan batubara, atau bahkan habis lebih awal jika pemerintah melegalkan penambangan bitcoin.
Mining bitcoin dinilai kontraproduktif dari segi keberlangsungan sumber daya alam, dan bertolak belakang dengan tujuan syariat Islam (maqashid syariah). Dalam sudut pandang Yusuf Al-Qaradhawi, maqashid syariah yang meliputi lima aspek: hifzhud din (menjaga agama), hifzhun nafs (menjaga jiwa), hifzhul ‘aql (menjaga akal), hifzhul maal (menjaga harta), dan hifzhun nasl (menjaga keturunan); tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya hifzhul biy-ah (menjaga lingkungan). Ini berarti, hifzhul biy-ah menjadi satu kesatuan penting dari setiap tujuan syariat yang berjumlah lima tersebut.
Dalam kitabnya, Ri’ayatul Bi-ah fi Syari’atil Islam, Al-Qaradhawi bahkan memberi penekanan serius dengan ungkapan, “Ifsadul biy-ah idha’atun li maqashidisy syari’ah.” Merusak lingkungan sama halnya dengan mencederai maqashid syariah. Dalam konteks ini, menekan pemakaian energi tak terbarukan, termasuk di dalamnya batubara, menjadi bagian penting dari upaya konservasi lingkungan. Sebaliknya, mining bitcoin yang dapat menyedot daya listrik secara berlebihan tidak sejalan dengan prinsip konservasi.
Terakhir, fenomena bitcoin juga dapat disikapi menggunakan nalar kaidah fiqih. Dalam fiqih, terdapat kaidah dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih. Maknanya, menolak segala bentuk hal negatif, kerusakan, dan potensi bahaya lainnya harus lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat, keuntungan, kebermanfaatan. Apalagi di sini maslahat yang ingin diraih melalui bitcoin bersifat individual dan menguntungkan hanya segelintir pihak. []