Mubadalah.id – Pada 9 Juni 2025, Lembaga Perekonomian PBNU menyelenggarakan sebuah workshop penting bertajuk “Financial Literacy untuk Kemandirian Umat”. Menurut saya, acara ini bukan sekadar rutinitas pelatihan, tetapi menjadi refleksi kolektif atas tantangan dan peluang ekonomi umat Islam . Apalagi di era konsumtif seperti saat ini.
Dihadiri oleh para tokoh terkemuka seperti Ning Alissa Wahid selaku Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) PBNU, Bapak Cholis Baidowi sebagai Direktur Utama Avrist Asset Management serta difasilitatori oleh Bapak Ahmad Ghozi Nurul Islam.
Workshop ini menghadirkan gagasan segar dan komitmen kuat untuk mendorong warga Nahdlatul Ulama agar lebih melek mengatur dan menguasai financial literacy.
Ning Alissa Wahid menekankan bahwa literasi keuangan bukan hanya soal tahu cara menabung atau investasi. Tetapi soal mengelola sumber daya secara bijak dan adil, mulai dari rumah tangga hingga level komunitas.
Di tengah tingginya angka kemiskinan struktural dan konsumtifisme yang semakin merajalela, pendekatan spiritualitas dalam pengelolaan keuangan menjadi sangat relevan. Hampir sekitar 50 persen penduduk Indonesia isinya adalah orang-orang NU atau bahkan jangan-jangan orang NU masuk dalam kategori orang miskin yang berada dalam persentase tersebut.
Ning Alissa mengingatkan kita semua, bahwa kemandirian finansial bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menciptakan kehidupan yang bermartabat. Maka, perlu memulai cepat dengan ilmu investasi dan mulai memetakan tujuan perencanaan keuangan dengan baik.
Investasi
Sementara itu, Pak Cholis Baidowi membawa perspektif instrumen keuangan. Ia menyoroti inflasi bukan sekadar istilah ekonomi yang hanya dipahami akademisi. Tetapi ia adalah kenyataan yang setiap hari kita rasakan, seperti harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan melonjak, dan daya beli makin tergerus.
Sayangnya, banyak di antara kita yang masih belum menyadari bahwa menyimpan uang saja tak cukup untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Menariknya lagi, ia menyampaikan pesan yang seharusnya menjadi perhatian serius, khususnya bagi generasi muda Nahdliyin:
“Kalau uangmu hanya disimpan, nilainya akan terus berkurang tanpa kamu sadari. Maka, untuk disiplin investasi perlu menyisihkan, bukan menyisakan”.
Pernyataan ini bukan sekadar peringatan, tapi ajakan untuk bertindak. Sebab faktanya, tingkat menabung masyarakat Indonesia, apalagi untuk tujuan jangka panjang seperti dana pensiun, masih tergolong rendah.
Padahal, cepat atau lambat, kita semua akan sampai di fase kehidupan di mana bekerja bukan lagi pilihan, melainkan kenangan.
Lalu, apakah kita sudah siap secara finansial?
Pak Cholis juga memaparkan bahwa untuk hidup dengan pengeluaran minimal Rp10 juta per bulan saat pensiun, seseorang perlu menyiapkan aset hingga miliaran rupiah. Jumlah itu mungkin terdengar besar, tetapi akan jauh lebih ringan bila dimulai sejak usia muda.
Di sinilah pentingnya mengenal konsep compounding, yakni keuntungan dari investasi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Maka, perlu menyusun rencana keuangan sejak dini.
Sebagai praktisi industri keuangan, Pak Cholis juga memperkenalkan berbagai instrumen investasi yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko masing-masing. Beberapa di antaranya:
Pertama, reksa dana. Cocok untuk pemula, dikelola oleh manajer investasi profesional, dan bisa dimulai dari nominal kecil.
Kedua, saham. Memberikan potensi keuntungan besar namun membutuhkan pengetahuan dan analisis. Ketiga, obligasi lebih stabil, cocok untuk jangka menengah hingga panjang, tersedia juga versi syariah. Keempat, emas. Aset lindung nilai saat inflasi meningkat.
Selanjutnya, Online Trading Fund (OTF), Future, Forex, dan Crypto cocok bagi investor yang sudah lebih berpengalaman dan siap menghadapi risiko tinggi.
Tips Menghindari Investasi Bodong
Namun, penting juga untuk diingat tingginya minat terhadap investasi di kalangan muda saat ini juga dibarengi dengan meningkatnya kasus penipuan investasi alias investasi bodong.
Pak Cholis memberikan beberapa tips sederhana namun krusial untuk menghindari jeratan investasi ilegal, antara lain:
Pertama, pastikan legalitas lembaga atau platform investasi terdaftar di OJK atau Bappebti. Kedua, hindari tawaran imbal hasil tinggi yang tidak masuk akal.
Ketiga, waspadai skema berantai atau MLM berkedok investasi. Keempat, jangan mudah tergoda karena rasa takut ketinggalan (FOMO), dan terakhir, pelajari dulu instrumennya sebelum menaruh dana.
Pak Ghozi melengkapi diskusi dengan pengalamannya dalam membangun lembaga keuangan mikro berbasis komunitas di Yogyakarta.
Ia menyoroti rendahnya indeks literasi keuangan di kalangan Nahdliyin dan pentingnya membangun ekosistem inklusi keuangan, khususnya di desa-desa dan kawasan pinggiran. Edukasi keuangan tidak bisa hanya berhenti di seminar atau brosur bank—ia harus diterjemahkan menjadi praktik sehari-hari.
Ia juga menegaskan bahwa literasi harus dibarengi dengan akses, karena pengetahuan tanpa sarana hanyalah ilusi. Oleh karena itu, kerja sama antara lembaga, komunitas, dan regulator sangat penting untuk mempercepat transformasi ekonomi berbasis keadilan sosial.
Workshop ini mengingatkan kita bahwa penguatan ekonomi umat bukan sekadar mimpi idealis. Namun kita memulainya dari hal yang kecil: memahami cara menyusun anggaran keluarga, menghindari utang konsumtif, dan memanfaatkan teknologi finansial dengan bijak.
Di tengah dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, literasi keuangan adalah bekal utama agar umat tak hanya selamat secara spiritual, tapi juga mandiri secara ekonomi.
PBNU telah mengambil langkah tepat. Semoga langkah ini menjadi awal dari gerakan besar membangun generasi Nahdliyin yang mandiri, cakap financial literacy, dan berdaya secara ekonomi.
Penulis merupakan Badan Pengurus Harian Bidang Media Komunikasi dan Informasi KOPRI PB PMII Masa Khidmat 2024-2027. []