Mubadalah.id – Sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Umamah Al-Bakhiliy, ketika menyaksikan sebuah alat pembajak tanah, dia berkata : aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda :
لا يدخل هذا بيت قوم الا ادخله الله الذال
“Tidak akan masuk alat ini ke rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya”
Memahami hadits kecaman alat pembajak tanah ini, tidak dapat secara lahiriah karena tentu dikhawatirkan jauh dari makna yang lebih mendekati pada kebenaran. Dalam kitab Kaifa Nata’amal ma’a As-Sunnah An-Nabawiyah, Yusuf Qardlawi menjelaskan bahwa jika dilihat secara sepintas secara lahiriah, hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul tidak menyukai pekerjaan bertani, atau berkebun karena akan mengakibatkan kehinaan bagi pekerjanya.
Maka berdasarkan hal ini, beberapa dari kaum orientalis ada yang memanipulasi hadits ini untuk merusak citra dan sikap Islam terhadap pertanian. Lalu apa sebenarnya maksud dari hadits ini, sedangkan diketahui bahwa pekerjaan kaum Anshar adalah di bidang pertanian dan perkebunan, namun Rasulullah tidak pernah memerintahkan mereka untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.
Bahkan sebaliknya dalam Ilmu Fikih diterangkan tentang pertanian, pengairan, penggarapan tanah kosong yang berasal dari Hadits Nabi. Dalam memahami hadits kecaman alat pembajak tanah ini, Yusuf Qardlawi memberikan langkah-langkah yaitu memeriksa hadits-hadits lain dalam tema yang sama yaitu tema tentang pertanian dan perkebunan, di antaranya :
- Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Anas, Rasulullah pernah berkata :
ما من مسلم يغرسها غرسا، او يزرع زرعا، فياكل منه طيرا او انسان او بهيمة الا كان له به صدقة
“Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon atau tanaman, lalu buahnya di makan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia (si penanam) pasti memperoleh pahala sedekah” (Al Lu’lu wal Marjan, 1001)
- Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir :
ما من مسلم يغرس غرسا الا كان ما اكل منه له صدقة، وما سرق منه له صدقة، وما اكل السبع منه فهو له صدقة وما اكلت الطير فهو له صدقة، وما يرزقك احد اي ينقصه وياء خذ منه الا كان له صدقة
“Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman, kecuali buahnya yang dimakan orang lain, menjadi sedekah baginya (yakni bagi si penanam). Demikian pula apa yang dicuri darinya, yang dimakan burung, dan yang diambil oleh orang lain, semua itu menjadi sedekah bagi si penanam. (Muslim dalam al Musaqah, bab keutamaan tanaman, 1552)”
- Hadits dari Jabir yang mengatakan bahwa Nabi Saw pernah memasuki kebun milik Ummu Ma’bad, lalu Nabi bersabda :
يا ام معبد، من غرس هذا النخل، امسلم او كا فر، فقالت بل مسلم. قال فلا يغرس المسلم غرسا، فياءكل منه انسان ولا دابة، ولا طير الا كان له صدقة الي يوم القيامة
“Wahai Ummu Ma’bad, siapa yang menanam pohon kurma ini? Seorang Muslimkah? Atau seorang Kafir?. Ummu Ma’bad menjawab : seorang muslim. Maka beliau melanjutkan : tidak seorang muslim yang menanam suatu tanaman, lalu buahnya dimakan oleh manusia, hewan ataupun burung, kecuali hal itu dianggap sedekah baginya sampai hari kiamat. (Muslim dalam al Musaqah bab keutamaan tanaman, 1552)”
Dalam hadits ini memberikan penjelasan bahwa penanam akan memperoleh pahala sedekah dari Allah atas hasil tanamannya yang dimakan oleh siapapun sekalipun ia tidak berniat memberikan hasil tanaman tersebut, atau sekalipun tanamannya dicuri maka tetap bagi penanam ada pahala sedekah. Maka hal ini pula yang menyebabkan para ulama terdahulu mengatakan bahwa bercocok tanam adalah sumber pendapatan yang paling afdhal/utama.
- Hadits berikut ini merupakan dorongan yang paling menarik dan paling kuat dalam bidang pertanian. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya dan Imam Bukhari dalam Kitab al Adab wal Mufrad :
ان قامت الساعة وفي يد احدكم فسيلة، فان استقام الا تقوم اي الساعة حتى يغرسها، فليغرسها
“Jika datang hari kiamat sedangkan di tangan seseorang dari kamu memegang benih kurma (tanaman) maka jika masih kesempatan untuk menanamnya, hendaklah segera ia tanam (benih itu)”
Hadits ini mencerminkan sikap memuliakan pekerjaan demi pembangunan dunia, sekalipun tidak ada manfaat untuk penanam karena segera datang kiamat. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan juga untuk memakmurkan bumi dengan bekerja, maka hendaklah manusia tetap demikian yaitu beribadah dan bekerja sampai saat saat dunia segera berakhir.
Hal ini pula yang dipahami oleh para sahabat dan ummat muslim pada masa-masa permulaan Islam, mereka terdorong untuk memakmurkan bumi ini dengan pertanian dan menggarap lahan-lahan yang kosong.
- Atsar diriwayatkan oleh Jabir dari Umarah bin Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata : “aku pernah mendengar Umar bin Khatab berkata kepada ayahku : apa yang menghalangimu untuk menanami tanah milikmu?” Ayahku menjawab : “aku ini seorang yang telah berusia lanjut, mungkin besok aku akan mati,” namun Umar berkata lagi : “aku mengimbau dengan sangat kepadamu, tanamilah tanahmu itu.” Lalu umarah berkata : “saat itu aku menyaksikan Umar ikut menanaminya dengan tangannya bersama ayahku.” (Al Jami’ al Kabir oleh As Suyuthi, lihat Al Albani dalam ash Shahihah juz 1/12)
- Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda, bahwa ketika ia (Abu Darda) sedang menanam suatu tanaman di kota Damsyik, seorang laki-laki menghampirinya dan berkata kepadanya : “Anda melakukan ini sedangkan anda sahabat Rasulullah.” Abu Darda menjawab : “nanti dulu, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : barangsiapa yang menanam tanaman, maka tak satupun memakan darinya baik manusia ataupun makhluk Allah manapun, kecuali hal itu pasti menjadi sedekah baginya.” (Al Majma Al Haitsami)
Setelah mengumpulkan dan membaca beragam hadits tentang anjuran dan manfaat juga pahala menanam tanaman (bertani dan berkebun), maka muncul pertanyaan bagaimana memahami Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah tentang kecaman pada alat pembajak tanah?
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini pada bab : Akibat yang harus diwaspadai berkaitan dengan alat pertanian atau melanggar batas yang diperintahkan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits kecaman alat pembajak tanah ini berlaku bagi orang yang berada dekat dengan daerah musuh.
Karena jika seorang tersebut menyibukkan diri dengan bertani dan melupakan kewiraan (keterampilan ketentaraan), sehingga musuh menjadi berani, maka kewajiban orang-orang seperti itu adalah menyibukkan diri dengan kewiraan, sementara kewajiban masyarakat lainnya yang selain mereka adalah membekali mereka dengan apa yang mereka perlukan.
Kesimpulan memahami hadits kecaman alat pembajak tanah
Sebuah hadits yang dapat memberikan penjelasan dengan lebih tegas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar : “apabila kalian telah berdagang dengan cara inah, atau mengikuti ekor-ekor sapi dan merasa puas dengan bertani, seraya mengabaikan jihad, maka pastilah Allah akan menimpakan atas diri kalian kehinaan yang tidak akan dicabut-Nya lagi sampai kalian kembali kepada perintah agama kalian.”
Setelah membaca hadits-hadits pendukung dalam tema yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa Hadits kecaman alat pembajak tanah ini maksudnya adalah Hadits tersebut diucapkan Nabi saat kondisi daerah tempat tinggal yang ditinggali umat muslim saat itu masih terancam perang, (dalam kondisi perang atau daerah yang dekat dengan musuh), agar umat tidak terlena dengan mengurus pertanian akan tetapi harus tetap memikirkan pertahanan wilayah/Negara.
Jika dilihat dalam Hadits terakhir tentang jihad maka dapat diambil pelajaran bahwa Jihad (mempertahankan negara) dalam masa perang (konflik) itu lebih utama dari pada bertani, berdagang atau pekerjaan lainnya. Artinya jika bertani itu kepentingan pribadi maka membela negara adalah kepentingan bersama, maka seyogyanya dapat mengutamakan kepentingan bersama.
Lalu, jika konteksnya untuk memperhatikan penjagaan wilayah saat terjadi perang atau konflik maka pekerjaan apapun seyogyanya tidak boleh mengabaikan upaya kewiraan ini untuk menjaga keamanan wilayah bersama-sama. []
*)Disarikan dari Kitab Kaifa Nata’amal ma’a As-Sunnah An-Nabawiyah Karya Syaikh Yusuf Qardlawi