Judul Buku : Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis Untuk Meretas Partriarki
Penulis. : Ester Lianawati
Penerbit. : Buku Mojok Grup
Tahun Terbit. : 2020
Cetakan ke : 12 tahun 2022
Jumlah Halaman : 292 Halaman
Mubadalah.id – Buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis Untuk Meretas Partriarki” adalah salah satu buku yang saya baca beberapa bulan terakhir. Ini adalah karya ke lima dari seorang feminis bernama Ester Lianawati.
Ester Lianawati terkenal sebagai psikolog feminis, sehingga bahasa-bahasa yang dipakai dalam karya-karya atau konten-kontennya tentang perempuan selalu memakai istilah-istilah psikolog.
Hal itulah yang membuat saya tertarik untuk terus membaca buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis Untuk Meretas Partriarki” hingga lembar terakhir.
Salah satu topik yang membuat saya makin jatuh cinta pada buku ini ialah tentang “ibu dan kesakitan-kesakitannya”. Mengapa pembahasan ini menurut saya menarik? Karena Ester melalui buku ini melihat lebih dalam bagaimana peran ibu itu tidak hanya tentang kebahagiannya saja. Tetapi juga kesakitan, tantangan dan hal-hal yang seringkali membuat perempuan payah dan lelah.
Dengan itu, Ester di pembukaan pembahasan tentang ibu dan kesakitan-kesakitannya ini mengungkapkan bahwa “Menjadi ibu bukan kodrat perempuan, sekalipun ia memiliki rahim, tidak lantas membuatnya otomatis menjadi seorang ibu. Oleh karena itu setiap perempuan berhak menentukan apakah ia akan menjadi ibu atau tidak.”
Sejalan dengan itu seorang sosiolobiologis, Sarah Bluffer Hrdy mengatakan bahwa menjadi ibu bukanlah insting bilogis setiap perempuan, karena menjadi ibu bukan kemampuan bawaan.
Maka dari itu menurut Ester, tidak heran jika seorang ibu yang menyusui, menggendong dan memandikan bayi untuk pertama kali, umunya mengalami kesulitan dan perlu membiasakan diri terlebih dahulu.
Bahkan sebagian besar ibu di Indonesia memilih untuk tinggal dengan ibunya saat melahirkan anak pertama. Bukan karena semata-mata karena nenek bahagia mendapatkan cucu dan ingin ikut merawat, tapi nenek dianggap telah berpengalaman mengurus bayi dibandingkan ibu yang baru melahirkan anak pertama. Dengan begitu sudah jelas bahwa menjadi ibu itu proses belajar, bukan bawaan.
Menjadi Ibu Tidak Selalu Mudah
Hal-hal seperti ini menurut saya penting untuk disampaikan pada setiap perempuan. Sebab seperti yang kita tahu bersama bahwa sejak kecil perempuan selalu ditanamkan bahwa menikah dan menjadi ibu itu menyenangkan. Doktrin seperti ini juga bukan hanya kita dengar dari orang tua dan orang-orang disekitar kita, tapi juga di film-film, ataupun di dalam narasi-narasi di media sosial.
Konten nikah di media sosial selalu memperlihatkan bagaimana mempunyai suami itu membahagiakan, terlebih jika sudah punya anak. Seolah-olah kesakitan-kesakitan ketika mengandung, melahirkan dan menyusui anak akan terbayarkan begitu saja dengan senyum pertama, langkah kaki pertama dan kata pertama yang diucapkan anak.
Menjadi ibu mungkin dapat saja seindah itu. Namun menurut Ester kenyataan menjadi ibu dapat melelahkan dan membuat frustasi juga harus disampaikan pada setiap perempuan. Karena menjadi ibu membutuhkan pengorbanan sepanjang hidup.
Tidak sedikit ibu muda yang baru punya anak pertama mengalami frustasi karena tidak bisa menyusui (air susu tidak keluar, bayi menolak puting ibu, dan alasan lain). Belum lagi sering kali stigma-stigma yang dilekatkan pada ibu, pertama seperti tidak bisa mengurus anak, tidak mau menyusui dan stigma negatif lainnya.
Dengan begitu menjadi ibu tidaklah selalu mudah, selalu ada tantangan dan rintangannya. Menjadi ibu juga tidak selalu seindah yang selama ini masyarakat gambarkan.
Empat Hal untuk Mendukung Peran Ibu
Lalu apakah perempuan perlu melepaskan diri dari peran menjadi ibu?. Menurut Ester inti pembahasan tentang “ibu dan kesakitan-kesakitannya” bukan untuk melarang perempuan menjadi ibu. Tetapi dukungan dan empati pada peremuan yang menjadi ibu harus terus kita berikan. Baik oleh suami, keluarga ataupun masyarakat di sekitarnya.
Pertama, berhenti meletakkan peran ibu kepada perempuan. Menjadi ibu bukanlah keharusan, melainkan sebuah pilihan perempuan. Dengan begitu, setiap perempuan bisa menentukan hendak menjadi ibu atau tidak, dan mempersiapkan serta membekali diri jika dia memutuskan menjadi ibu.
Di sisi lain, rahim bukan penentu setiap perempuan menjadi ibu. Sebab tidak semua perempuan ingin mempunyai anak dan tidak semua rahim bisa mengandung anak.
Kedua, berhenti memberi gambaran fantasi tentang Ibu. Berikan gambaran realistis bahwa menjadi Ibu bisa jadi menyenangkan dan bisa jadi tidak. Tetapi jika itu menyenangkan, juga bukan tugas yang mudah untuk dilakukan.
Ketiga, tidak meletakan tugas domestik sebagai tugas keibuan kepada perempuan. Seperti membekali anak perempuan bahwa tugas dia setelah dewasa adalah menikah, punya anak, mengurus segala pekerjaan domestik dan melakukan pelayanan yang baik pada suami, anak dan seluruh keluarganya.
Menurut Ester pemahaman bahwa pekerjaan domestik adalah tugas seorang istri akan menambah beban seorang ibu yang mempunyai anak. Oleh karena itu bagaimana tidak stress jika dia harus mengurus anak, dan mengerjakan pekerjaan domestik seorang diri.
Keempat, perlunya pelibatan laki-laki. Laki-laki hendaknya tidak hanya menanamkan benih pada rahim perempuan untuk kemudian melepaskan diri tugas pengasuhan.
Menurut Ester, suami bukan hanya perlu terlibat dalam proses pengasuhan anak. Tetapi akan jauh lebih baik jika dia juga ikut ambil peran dalam mengerjakan pekerjaan domestik.
Keterlibatan suami ini bukan semata untuk kepentingan perempuan, tetapi untuk kepentingan anak. Karena anak akan tumbuh memiliki kepribadian yang baik jika kedua orang tua terlibat dalam proses pengasuhan. Atmosfer menyenangkan yang tercipta dari kebersamaan orang tua mempermudah dalam menyerap nilai-nilai positif.[]