Mubadalah.id – Sejak kecil, adik perempuan saya dididik oleh orang tua untuk menjadi perempuan yang terampil dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, mulai dari membersihkan rumah, mencuci, sampai memasak. Selain itu, dia juga tidak pernah diperkenankan untuk keluar malam dengan alasan apapun. Waktu malam bagi adik saya adalah belajar, baik belajar mengaji maupun membaca buku-buku pelajaran sekolah. Bagaimana cara membangun keadilan sejak dalam keluarga?
Bahkan harapan untuk mendapatkan pendidikan, dia hanya cukup dengan mempunyai wawasan yang hanya bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan masyarakat terbatas.
Saat dia mulai baligh, ibu juga menyuruh dia untuk mengubah cara berpakaiannya. Seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan harus ia tutup karena kata ibu selain itu adalah aurat. Sebanarnya dia selalu menuruti setiap nasihat ibu, walaupun kadang-kadang dia merasa jengkel. Pernah sekali dia bilang pada saya, “aku tidak suka dengan cara Ibu.”
Selain itu, ibu juga sering sekali memakaikan kerudung kepada adik saya di depan teman-teman adik saya itu. Kata ibu supaya jadi contoh perempuan yang baik.
Hmmm … sebenarnya saya sebagai kakak laki-lakinya agak kurang setuju juga sih sama cara itu, mengingat setiap ajaran yang baik itu seharusnya disampaikan dengan cara yang baik pula kan. Supaya yang memberi nasihat dan yang dinasihatinya sama-sama merasa nyaman gitu loh…
Ya, Itulah beberapa contoh yang masih dihadapi oleh anak-anak perempuan di pedesaan, ia dididik untuk melanjutkan tradisi kolot bahwa tugas mereka tidak bisa terlepas dari sumur, dapur, dan kasur, bahkan untuk hal menuntut ilmu dan berpakaian pun mereka tidak diberi ruang untuk menentukan sendiri sesuai keinginan dan kenyamanannya.
Hal yang menimpa adik saya ini justru tidak akan terjadi pada saya atau anak laki-laki lainnya. Sebab, saya sendiri bisa leluasa bermain, bergaul dengan siapa saja, nongkrong, ngopi, keluar malam, sampai persoalan pendidikan ibu justru malah menyuruh saya untuk berpendidikan yang tinggi.
Sebab, orang tua mempunyai harapan yang besar kepada saya sebagai anak laki-laki. Dan kami sebagai anak laki-laki juga dituntut untuk menjadi manusia yang cerdas, berilmu, mempunyai wawasan yang luas, dan banyak pengalaman karena ia kelak akan menjadi pemimpin, terutama di dalam keluarganya. “Pemimpin keluarga itu harus pintar,” kata ibu.
Selain itu dalam urusan pakian, ibu tidak pernah mempersoalkannya yang penting sopan. Tapi, ukuran pakaian sopan bagi laki-laki itu seperti apa? Ya tidak pernah dijelaskan juga.
Sebenarnya saya patut mensyukuri, saya lahir dan dididik dengan cara yang orang tua saya lakukan, sebab sangat bermanfaat bagi masa depan saya.
Tapi, saya merasa resah kalau hanya anak laki-laki saja yang berhak mendapatkan perlakuan istimewa itu sedangkan adik perempuan saya tidak. Bukankah kami sama-sama anak yang lahir dari rahim yang sama, dibesarkan dengan rangkulan orang tua yang sama. Masa, dalam beberapa hal hak kami justru dibedakan.
Kemudian yang paling mengganggu adalah, semangat memperlakukan anak laki-laki dan perempuan berbeda ini justru merugikan perempuan.
Di tengah-tengah perbedaaan tersebut, saya juga sangat bersyukur, pertama, karena saya bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang bernama Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
Di ISIF saya bisa memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, mulai dari, gender, pluralisme, HAM, demokrasi. Dan yang kedua, saya bisa belajar banyak tentang metode mubaadalah.
Dalam metode Mubaadalah mengajarkan kepada saya bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menjadi alasan untuk melemahkan perempuan atau mengukuhkan laki-laki. Dalam cara pandang mubadalah, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dan harus diperlakukan adil, baik dalam memperoleh pendidikan, perlakuan, perawatan, perlindungan serta keamanan.
Seperti yang dikutip dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah menjelaskan bahwa ada 4 prinsip dasar hak anak, pertama, anak tidak boleh dibeda-bedakan baik suku, agama, ras, jenis kelamin dan budaya. kedua, hal terbaik menyangkut kepentingan anak harus menjadi pertimbangan.
Ketiga, anak berhak untuk tetap hidup dan berkembang sebagai manusia dengan baik. Untuk itu anak berhak mendapatkan makan-minum, pakaian, dan tempat tinggal yang sehat. Dan yang terakhir, anak harus dihargai dan didengarkan pendapatnya.
Hal ini yang kemudian sering saya katakan kepada orang tua saya sendiri, bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, mulai dari membersihkan rumah, mencuci, sampai memasak itu tugas bersama baik anak-anak laki-laki maupun anak perempuan. Ibu sebagai orang tua harus adil dalam mendidik anak-anaknya untuk mengerjakan tugas-tugas domestik atau pun tugas-tugas yang lainya, sebab keadilan dalam kehidupan keluarga menjadi modal utama untuk melahirkan generasi-generasi yang terbuka dan insya Allah akan lebih baik.
Begitu pun dengan pendidikan, orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan yang sama kepada anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Karena itu, saya sering menasehati adik saya atau anak perempuan lain yang merasakan hal yang sama bahwa mereka harus berpendidikan setinggi-tingginya. Sebab, perempuan juga punya hak untuk menjadi manusia yang cerdas, berilmu, dan mempunyai wawasan yang luas.
Dan dengan ilmu serta pengalaman tersebut, kalian akan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang-orang di lingkungan kalian. Sebagaimana nasihat yang selalu kita dengar bahwa orang yang paling baik ialah orang yang paling banyak memberi manfaat terhadap orang lain.
Misalnya, salah satu istri Nabi yaitu Siti Aisyah merupakan salah satu sosok perempuan yang sangat cerdas, dimana hingga saat ini hadis-hadisnya menjadi rujukan utamapara ulama-ulama di seluruh dunia.
Untuk menutup tulisan ini, saya hanya ingin menyampaiakan bahwa dalam prinsip Islam kita sudah diajarkan bahwa keadilan itu hak mutlak bagi laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, sampaikan dan praktikanlah keadilan itu, baik di dalam keluarga, maupun masyarakat umum untuk kebaikan bersama. []