Mubadalah.id – Biasakan kepada anak sejak dini untuk diajak mempertanyakan hal-hal yang dilihat, dialami, dirasakannya, dan memberikan jawaban dengan logika berpikir kritis yang disesuaikan dengan usia dan kondisi anak.
Pendidikan kritis untuk anak dapat juga diartikan bahwa anak dapat menanyakan apa saja yang ingin diketahuinya tanpa merasa takut dan ragu, dan orangtua atau pengasuh harus mampu menjawab seluruh pertanyaan anak secara tepat dan benar.
Jika kemudian pengetahuan yang dia ketahui berbeda dengan pengetahuan yang baru ia dapatkan. Maka ia berhak mendapatkan klarifikasi serta dapat mengoreksi menurut pengetahuannya. Dan sebaiknya orangtua tidak menyalahkan sikap kritis anak dalam segala sesuatu.
Banyak pengetahuan dan informasi yang seharusnya dapat digali dari perspektif anak. Tetapi jarang dimunculkan karena sering kali orangtua atau pengasuh malas menjawab pertanyaan-pertanyaan anak usia di bawah tiga tahun atau balita.
Padahal, pada usia tersebut anak sedang tumbuh dalam tahap mengeksplorasi keingintahuannya terhadap segala hal yang ada di sekitar mereka. Pertanyaan-pertanyaan mereka sering kali muncul di luar dugaan kita, bahkan kita kadang kesulitan menjawab dengan logika mereka.
Ketika menghadapi kondisi demikian, tidak jarang orangtua justru mematahkannya denganjawaban-jawaban yang tidak mencerdaskan anak, bahkan mematikan semangat keingintahuan mereka. Misalnya, dengan ungkapan “cerewet!” atau jawaban-jawaban yang tidak bisa anak mengerti.
Tidak Diskriminatif dan Menghargai Perbedaan
Orangtua, guru, maupun masyarakat hendaknya tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat. Baik dalam hal pendidikan, pemilihan minat dan bakat, maupun dalam pemberian fasilitas kepada anak.
Pembedaan perlakuan orangtua terhadap anak laki-laki dan perempuan pada masa kanak-kanak dapat berdampak langsung pada pembentukan karakter anak. Hal tersebut sering kali tidak orangtua sadari.
Apabila orangtua menerapkan pola hidup yang tidak pilih kasih terhadap anak-anaknya, dengan sendirinya akan tumbuh sikap egaliter di antara mereka, satu sama lain saling menghargai dan menghormati.
Anak-anak sejak dini, harus orangtua perkenalkan pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan. Jenis kelamin bisa berbeda, ada laki-laki dan perempuan, suku dan bahasa berbeda-beda bergantung daerah dan negaranya, masing-masing memiliki keunikan, agama juga berbeda-beda bergantung keyakinan masing-masing orang.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak perlu dipertentangkan. Bahkan sebaliknya, harus ditumbuhkan sikap saling menghargai satu sama lain. []