Mubadalah.id – Anggota Majelis Musyawarah Keagamaan (MM) Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Dr. Nyai Hj. Nur Rofiah, Bil. Uzm, menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak hanya hadir untuk merespons kondisi kezaliman masyarakat Arab di Jazirah Arabia, tetapi juga untuk menghadapi peradaban dunia yang memiliki sisi gelap terhadap perempuan.
“Selama berabad-abad, suku dan bangsa besar kerap berperang, menjajah, serta memperbudak yang lebih lemah. Mereka memperlakukan pihak lemah (perempuan) seolah bukan manusia. Karena berlangsung begitu lama, muncul norma yang membenarkan kezaliman ini sebagai sesuatu yang wajar. Inilah yang harus kita waspadai bersama,” ujarnya di hadapan ribuan jamaah salat Tarawih di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Salah satu kelompok yang paling terdampak oleh sistem ini adalah perempuan. Menurut Nyai Nur Rofiah, perempuan secara biologis mengalami siklus kehidupan yang berbeda dengan laki-laki, seperti menstruasi, kehamilan, persalinan, nifas, dan menyusui. Kondisi ini sering kali menyebabkan perempuan mengalami kelemahan fisik secara alami.
Namun, dalam budaya yang membenarkan kezaliman terhadap yang lemah, perempuan di berbagai belahan dunia mengalami ketidakadilan sistemik.
Praktik Kejam Terhadap Perempuan di Masa Lalu
Ia menyoroti praktik-praktik kejam terhadap perempuan di masa lalu, seperti penguburan bayi perempuan hidup-hidup di Jazirah Arabia, infibulasi atau mutilasi alat kelamin perempuan di Afrika, serta tradisi Sati di India dan Tiongkok, di mana seorang istri harus membakar diri bersama jenazah suaminya.
Tak hanya itu, perempuan juga kerap dipandang sebagai harta laki-laki yang difungsikan sebagai alat pemuas seksual dan mesin reproduksi untuk melahirkan anak laki-laki. Karena dianggap sebagai harta, perempuan sering dikoleksi sebagai istri, dihadiahkan, dijadikan jaminan utang, bahkan diperjualbelikan.
“Cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai harta inilah yang melahirkan keyakinan bahwa tempat terbaik bagi perempuan adalah di dalam rumah. Rumah dianggap sebagai tempat paling aman untuk menyimpan harta,” jelasnya.
Menurutnya, akar dari kezaliman sistemik ini adalah cara pandang yang hanya melihat manusia sebagai makhluk fisik semata. “Jika manusia orang-orang nilai hanya berdasarkan organ kelamin, warna kulit, postur tubuh serta atribut kesukuan dan kebangsaan. Maka keadilan tak akan pernah terwujud,” tegasnya. []