Memilih setia dengan satu istri itu artinya kita (para suami) memilih untuk tidak berpoligami. Menyatakan setia dengan satu istri setara dengan doa. Sama dengan kita berdoa kepada Allah, agar kita dimampukan untuk setia – dalam suka maupun duka—bersama istri pertama saja sepanjang hayat. Memilih untuk tidak poligami itu bukan berarti menentang syariat Allah dan sunah Rasul. Pilihan untuk setia ini karena ada banyak syariat Allah dan sunah Rasul yang lebih substantif ketimbang perilaku memadu.
Saya sendiri merasa jengkel, kita belakangan ini isu poligami dilempar begitu lengkap. Kini poligami diseminarkan dan diworkshopkan dengan biaya tinggi pun tak jadi masalah. Yang penting pikiran dan hati para istri bisa luluh –bak dihipnotis—agar mau menuruti kemauan suami tanpa kecuali. Sekali lagi saya ingin menegaskan, bahwa ayat 3 dalam QS. An-Nisa’ menurut para ulama seperti KH. Husein Muhammad, Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia dll, bahwa ayat tersebut sama sekali tidak mengarah pada perintah poligami. Ayat tersebut justru ayat monogami.
Saya tidak membenci orang yang berpoligami. Saya hanya membenci akhlak dan cara mereka mendakwahkan poligami kepada masyarakat sehingga dapat dipastikan akan menimbulkan keresahan. Saya ingin memberikan tanggapan kepada siapapun yang begitu saja melenggang-kangkungkan praktik poligami. Pertama, karena mencari ridha Allah. Poligami menurut mereka menjadi salah satu cara untuk mencari ridha Allah. Menurut saya begini, ridha Allah itu setara dengan ridha antara istri dan suami. Ridha Allah itu bukan hanya ridha suami an sich.
Artikel terkait:
Perintah Monogami dalam Islam
Poligami Terbatas Menuju ke Arah Monogami
Kedua, taat kepada suami merupakan suatu sikap yang makruf. Jadi menuruti kemauan suami berpoligami itu merupakan perbuatan yang makruf. Saya tidak sepenuhnya sependapat. Menurut saya, perbuatan makruf itu terlalu banyak, termasuk kita setia dengan satu istri itu perbuatan makruf yang lebih utama. Asal tahu saja di beberapa Negara misalnya Tunisia dan Turki, poligami itu dilarang oleh Negara dan pelakunya bisa dijerat hukuman. Ketiga, ingin menjadi istri yang diridhai suami. Alasan ini tidak seimbang. Mestinya istri dan suami harus saling ridha dan meridhai dalam urusan kebaikan. Termasuk menjadi suami yang diridhai istri, komitmen ini yang berat bagi suami.
Keempat, menyelamatkan suami dari kemaksiatan dan perzinahan. Pernyataan ini seolah-olah secara sepihak dapat dibenarkan. Padahal istri juga punya potensi bermaksiat dan berzina. Lagipula pernikahan itu kan bukan sekadar urusan berhubungan badan. Sempit sekali kalau pernikahan dan rumah tangga disetarakan hanya dengan persoalan berhubungan badan. Ada banyak cara untuk terhindar dari maksiat dan zina yakni dengan berpuasa sunah, istikamah shalat berjemaah, menjaga komunikasi dengan istri, berpikir panjang tentang madaratnya dll.
Kelima, demi masa depan anak dan menghindari perceraian. Lagi-lagi ini alasan yang klise. Poligami dibenarkan atas alasan masa depan anak dan menghindari perceraian. Padahal masih banyak cara untuk menjaga masa depan anak dan jalinan rumah tangga agar terhindar dari perceraian. Lagipula perceraian adalah fakta, buat apa mempertahankan rumah tangga kalau misalnya suami sering berselingkuh, melakukan KdRT dan berpaham Islam yang radikal-ekstrem, mudah melarang-larang istrinya.
Keenam, berpoligami karena alasan menunaikan syariat Allah yang banyak ditinggalkan. Saya sih hanya sekadar saling mengingatkan bahwa menyebut poligami dengan syariat Allah itu terlalu berlebihan. Sebab masih banyak jenis syariat Allah yang lebih jelas daripada poligami yang harus ditegakkan. Akhirnya, saya hanya sedang dalam rangka berdakwah untuk tidak poligami, buat saya sendiri dan umumnya buat khalayak. Setuju silakan, tidak setuju juga tidak apa-apa.
Terakhir saya juga ingin mengkritik praktik poligami yang dewasa ini seperti perlombaan. Poligami yang terjadi dewasa ini sangat identik dengan persoalan nafsu seksual, paras istri kedua, dan seterusnya, yang lebih muda, cantik dan kaya. Kita harus berpikir dan bersikap secara adil sejak dalam pikiran dan apalagi dalam perbuatan. Bahwa tidak semua masyarakat dalam keadaan ekonomi dan wawasan yang mapan. Sehingga dengan demikian, jika kualitas sakinah bisa digapai dengan setia pada satu istri lalu untuk apa poligami? Jika sampai saat ini, para suami masih maunya dilayani, masih malas bantu istrinya mengurus rumah tangga dan anak, kok masih tega dan ‘pede’ saja melakukan poligami? Hmm. Wallaahu a’lam. []