Mubadalah.id – Kabar anyar dari dunia pesantren memang sedang tidak baik. Media-media mengangkat banyak kasus pelecehan dan kekerasan kepada santri perempuan. Dan, kasus-kasus yang ditulis oleh media adalah ibarat bom waktu yang kini saatnya untuk meledak. Publik pun dibuat tercengang atas kasus-kasus yang berseliweran.
Bukan salah media yang menyuarakan pelecehan dan kekerasan di pesantren, pun bukan salah pihak-pihak yang berani bersuara. Tetapi kita harus sepakat bahwa kebenaran akan terungkap, meski membutuhkan waktu yang amat lama lewat cara apapun dan oleh siapapun. Karena faktanya, pelecehan dan kekerasan seksual di pesantren ditimbun sejak lama.
Tetapi, apakah semua institusi pendidikan Islam atau pesantren memiliki sisi gelap yang merata? Jawabannya tentu tidak. Bahkan, banyak sekali pesantren ramah anak yang terus berupaya melakukan perbaikan-perbaikan. Terutama mengenai kesehatan mental santri, dan memutus rantai perundungan di pesantren.
Hasil potret penulis mengenai pesantren ramah anak terletak di Kabupaten Pandeglang, Banten. Sebuah pesantren tertua di wilayah tersebut. Berdiri tahun 1916 M. Pesantren ini merupakan pusat pendidikan, dakwah, dan perlawanan melawan imperialisme bahkan sebelum Indonesia merdeka dan sebelum teritori Indonesia disepakati oleh para the founding fathers.
Pesantren tersebut berlokasi di Kecamatan Menes, sebuah kecamatan “tua” yang menjadi saksi bisu bagaimana para priyai mendidik masyarakat di sekitarnya dan mempertahankan tanah kelahirannya dari cengkraman imperialisme, walhasil tidak sedikit priyai dan santri yang gugur karena melakukan perlawanan demi perlawanan.
Pesantren tersebut adalah Mathlaul Anwar Li Nahdlatil Ulama atau biasa disebut MALNU. Pada pesantren tersebut terdapat salah satu unit pesantren yaitu MALNU Komplek Syekh Arsjad. Unit pesantren ini juga mengelola unit pendidikan formal setingkat SMA, yaitu SMA Plus MALNU Pusat.
Penulis berani menilai bahwa pesantren ini adalah pesantren yang layak di sebut “ramah anak.” Mengapa? Berikut penulis sampaikan uraiannya.
Langkah-langkah yang bisa dibilang progresif dan responsif dari Pesantren MALNU Komplek Syekh Arsjad adalah pertama pesantren ini menjadwalkan waktu konseling bagi setiap santri untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada Psikolog yang dihadirkan pesantren sebagai upaya menjaga kesehatan mental santri-santri.
Dalam sesi konseling tersebut, santri-santri boleh menyampaikan apapun yang kira-kira tidak dapat mereka sampaikan kepada teman atau gurunya. Atau satu hal yang tidak dapat mereka ekspresikan. Jadi, santri tidak hanya diajari untuk curhat kepada Tuhannya melalui ibadah rutin atau ibadah sunah lainnya, tapi pesantren menyediakan waktu konseling dengan Psikolog untuk membantu menyikapi hal atau perasaan yang mengusik kesehariannya.
Kerjasama antara pesantren dan Psikolog tersebut sudah berjalan selama dua tahun belakangan ini. Meski terbilang baru, tapi ini adalah langkah yang brilian, karena pesantren menyadari tidak hanya kesehatan fisik saja yang harus dijaga, kesehatan mental juga berperan penting terhadap tumbuh kembang para santri.
Santri harus belajar dengan bahagia dan gembira, begitu pernyataan dewan pengasuh Pesantren MALNU Komplek Syekh Arsjad.
Kedua, di pesantren ini para ustad dan ustazah mendapat pelatihan melalui program “Guruku Sahabatku.” Program ini bertujuan untuk membangun kesadaran para asatidz mengenai bagaimana menghadapi dan menyikapi kenakalan remaja yang sudah pasti terjadi usia peserta didiknya.
Selain itu, pelatihan tersebut bertujuan untuk menambah pengetahuan para asatidz mengenai perencanaan pengajaran dan meningkatkan pembelajaran secara efektif. Menariknya asatidz juga mendapatkan pelatihan psikologi terkait tahapan perkembangan peserta didik, faktor-faktor pendukung, perkembangan, serta seni komunikasi guru kepada peserta didik. Hal ini dapat dibilang sebagai hal langka di lembaga pendidikan.
Selain mendengarkan penjelasan dari para trainer, asatidz juga melakukan beberapa simulasi diantaranya yaitu bagaimana praktik komunikasi kepada anak, simulasi merumuskan kelas menyenangkan, dan simulasi mengelola kelas menyenangkan.
Melalui program tersebut, artinya tidak hanya peserta didik yang dituntut terus belajar dan diajarkan memperbaiki perilaku dan kebiasaan, tetapi para asatidz juga belajar, terutama mengenai tumbuh kembang peserta didik sehingga hasil yang diharapkan adalah tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan untuk guru dan peserta didik. Guru semakin tanggap, peserta didik semakin cakap.
Tidak hanya sesi konseling dan program Guruku Sahabatku, langkah ketiga sebagai upaya menjadi pesantren ramah anak adalah baru-baru ini para santri Pesantren MALNU Komplek Syekh Arsjad mendeklarasikan Sekolah Anti Perundungan. Deklarasi tersebut disepakati oleh para peserta didik sebagai upaya untuk memutus rantai perundungan atau bullying antar peserta didik. Salah satu kutipan deklarasi tersebut yaitu “Kami berikrar untuk berperilaku positif, menebar kebaikan, dan mencegah perundungan baik verbal, fisik, atau cyber bullying.”
Memang, memutus rantai sesuatu hal yang sudah dianggap biasa tidak mudah, tetapi upaya-upaya harus terus dilakukan karena sering kali lembaga pendidikan dan pendidik abai mengenai perundungan, atau bahkan perundungan dianggap sebagai bahan berseloroh antar peserta didik saja. Padahal, akibat perundungan peserta didik tidak jarang mengalami trauma yang membekas, sampai-sampai trauma tersebut mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Dari potret yang berhasil penulis dapatkan, bahwa mengupayakan pesantren ramah anak bukan hal yang tidak mungkin. Hal ini sangat mungkin untuk diupayakan asalkan pesantren atau lembaga pendidikan lainnya mau membuka diri dan tidak larut dalam kebiasaan-kebiasaan yang dianggap sebagai bagian dari pendisiplinan santri.
Para orang tua menitipkan anaknya ke lembaga pendidikan dengan harapan agar dapat menjadi insan yang baik dan memiliki pengetahuan. Jika pengetahuan belum dapat diserapnya dengan maksimal setidaknya santri memiliki pengalaman yang baik dan positif dari tempat mereka belajar.
Tetapi, jika pesantren atau lembaga pendidikan tidak membuka diri dan tidak belajar merespon hal dan peristiwa mutakhir, jangan heran jika hal-hal klasik seperti perundungan, pendisiplinan, dan yang anyar ini diberitakan, yaitu kekerasan seksual di lembaga pendidikan terus berulang.
Penulis merekomendasikan bahwa pesantren lain pun bisa meniru langkah-langkah di atas. Poin utamanya adalah kita semua berupaya menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang ramah terhadap anak. Apapun dan bagaimanapun inovasinya harus mengedepankan anak sebagai individu yang berharga dan mendukung tumbuh kembangnya.
Maka dari itu, mari terus belajar membuka diri dan merespon hal-hal baru. Guru adalah gerbang pertama bagi anak untuk menjadi penerus bangsa. Sementara lembaga pendidikan memiliki otoritas dan tanggungjawab untuk menciptakan suasana belajar yang sehat, positif, dan mendukung tumbuh kembang anak. []