Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah menegaskan bahwa teks agama maupun produk budaya selalu lahir dalam konteks tertentu. Jika kita pahami secara kaku, ia berpotensi melahirkan ketimpangan, khususnya terhadap perempuan.
Karena itu, metode mubadalah hadir dengan tiga langkah kerja utama: memahami teks dalam konteksnya, menarik prinsip-prinsip universal yang terkandung. Lalu menerapkannya secara resiprokal pada laki-laki dan perempuan.
Dengan cara ini, norma atau hukum yang tampak ditujukan hanya untuk salah satu jenis kelamin dapat ditarik menjadi berlaku untuk keduanya.
Misalnya, jika sebuah undang-undang menekankan kewajiban seorang suami untuk menafkahi. Maka prinsip mubadalah memandang bahwa istri pun memiliki kewajiban moral untuk menopang kesejahteraan keluarga sesuai kapasitasnya. Artinya, hukum yang tampak eksklusif bisa kita baca menjadi inklusif dan setara.
Konco Wingking
Salah satu contoh norma budaya yang populer di masyarakat Jawa adalah ungkapan “konco wingking” untuk perempuan atau istri.
Secara istilah ini berarti “teman belakang” menandakan bahwa perempuan dianggap sebatas pendamping domestik, yang tugas utamanya adalah mengurus rumah, melayani, dan menghibur suami.
Namun, melalui perspektif mubadalah, makna ini dapat direkonstruksi. Jika perempuan disebut konco wingking bagi laki-laki. Maka laki-laki pun harus siap menjadi konco wingking bagi istrinya. Dengan kata lain, dalam rumah tangga, suami juga berkewajiban untuk menjadi teman yang menyenangkan, mendukung, dan melayani istrinya.
Konsep ini bukan sekadar permainan bahasa, melainkan upaya serius untuk menegaskan kesetaraan dalam relasi keluarga. Suami dan istri adalah mitra sejajar yang saling menguatkan demi terwujudnya kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Oleh karena itu, relasi kesalingan tidak berhenti di ranah domestik. Dalam ruang publik, laki-laki dan perempuan juga harus menjadi konco—teman, mitra, sekaligus partner kerja—yang saling mendukung dalam mewujudkan kebaikan sosial. []