Sabtu, 13 Desember 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Keulamaan Perempuan pada

    Prof. Euis: Kajian Keulamaan Perempuan Tak Cukup Berhenti pada Glorifikasi

    Digital KUPI

    Ahmad Nuril Huda: Nilai Komunitas Digital KUPI Belum Menyaingi Kelompok Konservatif

    Pemulihan Ekologi

    Nissa Wargadipura Tekankan Pemulihan Ekologi Berbasis Aksi Nyata

    ulama perempuan

    Menyulam Arah Gerakan Ulama Perempuan dari Yogyakarta

    Data Pengalaman Perempuan

    Nyai Badriyah: KUPI Menegakkan Otoritas Keagamaan Berbasis Data dan Pengalaman Perempuan

    Halaqah Kubra 2025

    Halaqah Kubra 2025 Jadi Titik Konsolidasi Baru Gerakan Ulama Perempuan

    Halaqah Kubra

    Rektor UIN Sunan Kalijaga Apresiasi KUPI Pilih Kampus sebagai Mitra Penyelenggara Halaqah Kubra

    Halaqah Kubra di UIN

    KUPI Gelar Halaqah Kubra, Rektor UIN Sunan Kalijaga Soroti Data Partisipasi Perempuan di Dunia Islam

    pemberitaan

    Tantangan Media dalam Pemberitaan KDRT

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Bencana Alam

    Bencana Alam, Panggung Sandiwara, dan Kesadaran Masyarakat Modern

    Hak Bekerja

    Hak Bekerja: Mewujudkan Dunia Kerja yang Inklusif bagi Disabilitas

    Bencana Alam

    Al-Qur’an dan Peringatan Bencana Alam

    Berbagi

    Berbagi dalam Spiritualitas Keheningan dan Kasih

    Ekologi

    Mereka yang Menjaga Alam, Namun Menjadi Korban: Potret Perempuan di Tengah Krisis Ekologi

    Madrasah Creator KUPI

    Nanti Kita Cerita Tentang Madrasah Creator KUPI dan Halaqah Kubra KUPI

    krisis Laut

    Krisis Ekosistem Laut: Dari Terumbu Karang Rusak hingga Ancaman Mikroplastik

    Laras Faizati

    Laras Faizati: Ancaman Kebebasan terhadap Suara Perempuan

    Haramain

    Haramain dan Wacana Gender: Menimbang Batasan, Akses, dan Partisipasi

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Keulamaan Perempuan pada

    Prof. Euis: Kajian Keulamaan Perempuan Tak Cukup Berhenti pada Glorifikasi

    Digital KUPI

    Ahmad Nuril Huda: Nilai Komunitas Digital KUPI Belum Menyaingi Kelompok Konservatif

    Pemulihan Ekologi

    Nissa Wargadipura Tekankan Pemulihan Ekologi Berbasis Aksi Nyata

    ulama perempuan

    Menyulam Arah Gerakan Ulama Perempuan dari Yogyakarta

    Data Pengalaman Perempuan

    Nyai Badriyah: KUPI Menegakkan Otoritas Keagamaan Berbasis Data dan Pengalaman Perempuan

    Halaqah Kubra 2025

    Halaqah Kubra 2025 Jadi Titik Konsolidasi Baru Gerakan Ulama Perempuan

    Halaqah Kubra

    Rektor UIN Sunan Kalijaga Apresiasi KUPI Pilih Kampus sebagai Mitra Penyelenggara Halaqah Kubra

    Halaqah Kubra di UIN

    KUPI Gelar Halaqah Kubra, Rektor UIN Sunan Kalijaga Soroti Data Partisipasi Perempuan di Dunia Islam

    pemberitaan

    Tantangan Media dalam Pemberitaan KDRT

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Bencana Alam

    Bencana Alam, Panggung Sandiwara, dan Kesadaran Masyarakat Modern

    Hak Bekerja

    Hak Bekerja: Mewujudkan Dunia Kerja yang Inklusif bagi Disabilitas

    Bencana Alam

    Al-Qur’an dan Peringatan Bencana Alam

    Berbagi

    Berbagi dalam Spiritualitas Keheningan dan Kasih

    Ekologi

    Mereka yang Menjaga Alam, Namun Menjadi Korban: Potret Perempuan di Tengah Krisis Ekologi

    Madrasah Creator KUPI

    Nanti Kita Cerita Tentang Madrasah Creator KUPI dan Halaqah Kubra KUPI

    krisis Laut

    Krisis Ekosistem Laut: Dari Terumbu Karang Rusak hingga Ancaman Mikroplastik

    Laras Faizati

    Laras Faizati: Ancaman Kebebasan terhadap Suara Perempuan

    Haramain

    Haramain dan Wacana Gender: Menimbang Batasan, Akses, dan Partisipasi

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Mencabut Perwalian Ayah yang Menzalimi Keluarga

Seorang wali yang menzalimi keluarganya justru telah membuktikan bahwa, ia tidak memiliki rasa kasih dan sayang kepada anak dan keluarganya

Akmal Adicahya Akmal Adicahya
2 November 2023
in Keluarga
0
Mencabut Perwalian

Mencabut Perwalian

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum membahas tentang mencabut perwalian ayah yang menzalimi keluarga, saya menuliskan kembali salah satu cuplikan kisah yang menarik dalam Buku Qira’ah Mubadalah. Yakni cerita seorang anak perempuan yang diharuskan meminta izin untuk menikah dari ayah yang sedang di penjara karena memperkosanya.

Si anak perempuan didorong untuk meminta tanda tangan pelimpahan perwalian dari ayahnya kepada naib, karena kewenangan sebagai wali dianggap masih berada di tangan ayah tersebut sekalipun Ia telah memperkosa anaknya (Kodir, 2019).

Kisah di atas seakan mengukuhkan kuatnya kedudukan ayah sebagai wali dan lemahnya kedudukan anak perempuan hingga harus meminta izin kepada seseorang yang telah memperkosa diri dia untuk dapat menikah.

Padahal tidaklah terbantahkan bahwa tindak pemerkosaan merupakan suatu perbuatan keji yang akan meninggalkan trauma luar biasa kepada korban hingga seumur hidupnya. Terlebih jika pelakunya adalah ayah sang korban. Betapa anehnya jika seorang pemerkosa kita anggap masih memiliki hak dan kewenangan atas diri seseorang yang telah Ia perkosa.

Selain kisah di atas, kita juga sering mendengar bahkan melihat sendiri absennya seorang ayah dalam kehidupan rumah tangga. Sebagai seseorang yang dilabeli sebagai kepala rumah tangga, ayah atau suami justru seringkali tidak berperan dalam kehidupan anak dan istrinya.

Tidak sedikit ayah yang dengan sengaja tidak memberi nafkah, berselingkuh dengan wanita lain, memukul anak dan istrinya, hingga hilang entah ke mana tak jelas keberadaannya. Tidak salah rasanya jika ayah yang seperti ini kita kategorikan sebagai ayah yang zalim terhadap keluargannya. Sayangnya, laki-laki seperti ini dalam praktik nyata masih kita anggap berwenang untuk menjadi wali nikah.

Kualitas Wali

Dalam fikih klasik, salah satu hikmah dari perwalian oleh laki-laki ialah untuk menjamin bahwa perkawinan sang anak memang dapat memberikan kemaslahatan. Seorang laki-laki kita anggap memiliki pengalaman yang luas dalam kehidupan bila dibandingkan dengan perempuan. Harapannya ia memiliki penilaian yang jauh lebih baik untuk kepentingan anak perempuannya (Wahbah, 2011).

Sang ayah atau wali kita harapkan dapat mengukur kualitas dari laki-laki yang berkeinginan untuk menikah dengan anaknya. Sehingga sang anak tidak terjerumus pada perkawinan yang tidak baik karena salah dalam memilih pasangan.

Pada masa sekarang ini kefasikan memang telah merajalela hingga hampir sulit rasanya untuk menemukan seorang wali yang memenuhi kriteria adil. Dalam konsepsi fikih, adilnya seorang wali berdasarkan pada sikapnya yang tidak melakukan dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan yang dapat mengurangi kehormatannya meskipun sekadar kencing di pinggir jalan.

Oleh karenanya seringkali keadilan seorang wali kita cukupkan pada perilaku yang terlihat secara kasat mata. Kiranya dasar ini pula yang membuat Kompilasi Hukum Islam memilih tidak memasukkan kriteria adil sebagai salah satu syarat dari seorang wali nikah (vide Pasal 20 KHI).

Mazhab Maliki

Dalam Madzhab Maliki, seorang wali yang tidak adil atau fasik dinilai masih berwenang untuk menikahkan anak perempuannya. Karena kefasikannya dianggap tidak menghalangi adanya rasa kasih sayang terhadap anak yang berada di bawah perwaliannya. Meski fasik, Ia dianggap masih berkeinginan untuk menjaga maslahat anaknya.

Terlepas dari kenyataan bahwa Ia adalah seseorang yang sering melakukan dosa. Keputusan yang Ia buat dalam perannya sebagai wali dianggap masih akan memperhatikan kepentingan terbaik bagi si anak. Karena perbuatan fasiknya tidak menghilangkan rasa kasihnya kepada sang anak (Wahbah, 2011).

Seorang ayah yang memperkosa atau menelantarkan anaknya tidak kita ragukan lagi tergolong sebagai orang fasik dan tidak adil. Namun kualitas kefasikan dan ketidakadilannya tentu berbeda dengan apa yang tergambarkan oleh para fuqaha di masa lalu dan bertentangan dari hikmah keberadaan wali itu sendiri.

Seorang wali yang menzalimi keluarganya justru telah membuktikan bahwa Ia tidak memiliki rasa kasih dan sayang kepada anak dan keluarganya. Mencabut perwalian menjadi niscaya. Keputusan yang Ia ambil justru harus kita curigai sebagai keputusan yang tidak memberikan kemaslahatan kepada anak yang berada di bawah perwaliannya.

Mencabut Atau Meniadakan Kewajiban Perwalian

Setidaknya terdapat dua solusi yang dapat kita atur dalam hukum di masa mendatang (ius constituendum). Yakni untuk mengatasi problem perwalian oleh ayah atau wali nikah yang zalim. Pertama, dengan memberlakukan syarat adil sebagai salah satu kriteria agar seseorang dapat bertindak sebagai wali.

Mengingat kondisi merebaknya kefasikan saat ini, maka kriteria adil yang kita terapkan tidak harus seketat ketentuan dalam ketentuan fikih klasik.

Sepanjang sifat fasik yang menempel pada wali tersebut bukan terkategori sebagai perbuatan yang menzalimi keluarganya, maka wali tersebut masih berhak dan berwenang untuk menikahkan anaknya. Ia kehilangan kewenangannya sebagai wali jika perbuatan fasiknya ialah dalam bentuk kezaliman kepada keluarga. Khususnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya.

Secara praktis kewenangan untuk menentukan kezaliman seorang wali dapat kita berikan kepada peradilan agama melalui permohonan penetapan wali. Atau dengan mengajukan dokumen-dokumen tertentu kepada Kantor Urusan Agama saat mendaftarkan kehendak perkawinan.

Seperti dokumen putusan pengadilan yang telah memvonis wali sebagai terpidana dalam tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Atau tindak pidana lain yang memberikan dampak kepada anak yang berada di bawah perwaliannya. Jika wali memang terbukti sebagai wali yang zalim, maka kewenangan perwalian berpindah kepada wali dalam urutan selanjutnya yang memenuhi kriteria sebagai wali.

Mazhab Hanafi

Solusi yang kedua ialah dengan meniadakan wali dalam rukun perkawinan. Yakni dengan memberikan kewenangan untuk menikah sepenuhnya kepada mempelai perempuan. Dalam madzhab Hanafi seorang perempuan merdeka, gadis ataupun janda yang berakal dan baligh dapat menikahkan diri sendiri tanpa perlu kehadiran seorang wali.

Menurut pendapat ini, kehadiran seorang wali dalam perkawinan tidaklah bersifat wajib melainkan berupa anjuran semata. Sehingga, negara dapat menetapkan bahwa keterlibatan wali dalam suatu perkawinan merupakan hal yang baik namun tidak menjadi kewajiban. Jika wali ternyata tergolong sebagai wali yang zalim, maka perkawinan tetap dapat kita langsungkan tanpa memerlukan kehadiran wali.

Pendapat sahnya perkawinan tanpa adanya wali merupakan suatu pendapat yang terakui dalam khazanah fikih Islam. Pendapat ini kian relevan kiranya untuk kita adopsi, dan kita terapkan di masa kini. Demi memberikan rasa keadilan kepada para anak perempuan yang telantar atau dizalimi oleh walinya.

Saat ini perempuan telah memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki. Perempuan juga memiliki pengalaman hidup sebanyak laki-laki pada umumnya. Tidak sedikit perempuan-perempuan yang telah membuktikan kapasitasnya dalam memberikan penilaian dan pengambilan keputusan pada berbagai bidang.

Oleh karenanya tidak salah jika kita katakan saat ini perempuan telah memiliki kualitas penilaian yang sama dengan laki-laki. Sehingga Ia berkapasitas untuk menentukan sendiri pasangan terbaik bagi diri sendiri. []

Tags: hukum keluarga IslamkeluargaMencabut Perwalian Ayahorang tuaQira'ah Mubadalah
Akmal Adicahya

Akmal Adicahya

Alumni Fakultas Syariah UIN Malang, Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang

Terkait Posts

Media Sosial Anak
Keluarga

Perlukah Indonesia Batasi Usia Media Sosial Anak?

10 Desember 2025
Pendidikan Karakter
Publik

Pendidikan Karakter, dari Keluarga hingga Perguruan Tinggi

3 Desember 2025
Privasi Anak
Keluarga

Berhenti Sejenak Sebelum Mengunggah: Privasi Anak di Era Digital

1 Desember 2025
Ayat-ayat Perceraian
Keluarga

Laki-laki dalam Asbab Nuzul Ayat-ayat Perceraian

1 Desember 2025
Ayah dan Anak
Keluarga

Ibu, Ayah dan Anak pada Zaman yang Terus Berubah

29 November 2025
Kekerasan Terhadap Perempuan masih
Publik

Dari Keluarga hingga Negara: Kekerasan terhadap Perempuan Masih PR Bersama

27 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ekologi

    Mereka yang Menjaga Alam, Namun Menjadi Korban: Potret Perempuan di Tengah Krisis Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Al-Qur’an dan Peringatan Bencana Alam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berbagi dalam Spiritualitas Keheningan dan Kasih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Badriyah: KUPI Menegakkan Otoritas Keagamaan Berbasis Data dan Pengalaman Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Halaqah Kubra 2025 Jadi Titik Konsolidasi Baru Gerakan Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Prof. Euis: Kajian Keulamaan Perempuan Tak Cukup Berhenti pada Glorifikasi
  • Bencana Alam, Panggung Sandiwara, dan Kesadaran Masyarakat Modern
  • Ahmad Nuril Huda: Nilai Komunitas Digital KUPI Belum Menyaingi Kelompok Konservatif
  • Hak Bekerja: Mewujudkan Dunia Kerja yang Inklusif bagi Disabilitas
  • Nissa Wargadipura Tekankan Pemulihan Ekologi Berbasis Aksi Nyata

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID