Mubadalah.id – Siapa bilang institusi pendidikan keagamaan seperti pesantren adalah ruang aman bagi para santri? Ya… memang tidak dapat dipukul rata untuk menyebut semua pesantren bukan ruang aman bagi para santri. Tentunya masih banyak pesantren yang menjadi ruang aman bagi para santri. Ruang aman di sini konteksnya adalah tidak pernah terjadi tindakan pelecehan atau kekerasan seksual.
Tetapi, baru-baru ini dunia pesantren kembali dikejutkan dengan kabar oknum pengurus pondok pesantren DN di Musi Rawas, Sumatera Selatan dengan inisial IM (48) memerkosa lima santri perempuan. Bahkan menurut pengakuan pelaku, perkosaan terhadap santri putri sudah dilakukan sejak tahun 2017. Selain lima santri perempuan yang menjadi korban perkosaan, masih ada delapan santri putri lain yang juga menjadi korban perkosaan IM.
Sementara ini baru lima korban yang melaporkan perbuatan bejat tersebut ke Polres Musi Rawas yaitu HS (14), DA (14), NA (14), AU (14) dan MA (16). Perbuatan bejat tersebut membuat korban mengalami trauma dan mengalami kecemasan yang terus-menerus. Hal ini dapat terjadi karena para korban masih melihat pelaku berkeliaran di lingkungan pesantren dengan bebas sementara para korban tidak cukup berani melaporkan hal bejat yang dilakukan oleh oknum pengurus pesantren DN. Akhirnya para korban hanya dapat menghubungi pihak keluarganya untuk segera menjemput dari pesantren.
Ditambah lagi, para korban masih berusia anak-anak antara 14 sampai 16 tahun. Pengalaman buruk tersebut tentu akan membekas dan sulit untuk dilupakan bahkan setelah dewasa. Tidak heran jika para korban mengalami trauma dan bahkan berdampak pada kesehatan fisik.
Meskipun pelaku sudah diperiksa dan dijerat dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan anak dan selanjutnya tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara hingga seumur hidup. Tetapi perlu dicatat para korban pasti mengalami trauma dan kecemasan tidak akan hilang begitu saja, sehingga harus ada proses pemulihan bagi para korban.
Atas peristiwa ini Polres Musi Rawas membuka posko pengaduan bagi orang yang pernah menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual di lingkungan pesantren dan masyarakat umum. Kelakuan bejat tersebut tentu menjadi preseden buruk bagi pesantren. Sayangnya, kerap kali ditemukan kasus pelecehan atau kekerasan seksual di pesantren, kasusnya tidak dimuncul ke permukaan. Kalau pun muncul ya… hanya beredar di kalangan dalam dan, duh! berujung damai dengan dalih menjaga citra pesantren.
Sekarang cobalah sesekali mencari pemberitaan soal pelecehan atau kekerasan seksual melalui mesin pencarian Google dengan kata kunci “Pelecehan Seksual di Pesantren,” setelah menunggu beberapa detik dan taraaa… mengejutkan! Dari hasil pencarian tersebut dalam rentang waktu 2019 sampai tahun 2021 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di pesantren sudah banyak terjadi dan dilaporkan.
Yang lebih mengejutkan lagi korbannya bukan hanya santri perempuan, tetapi santri laki-laki turut menjadi sasaran tindakan bejat yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang berstatus sebagai ustad atau pemuka agama yang setiap hari menyampaikan materi-materi keagamaan di hadapan santri atau jama’ahnya.
Harus diakui, bahwa tidak melulu simbol keagamaan seperti sarung, songkok, jubah, seban dan lainnya yang dikenakan oleh ustad dan pemuka agama mencerminkan perilaku yang sesuai dengan penampilan dan kelimuan yang dimilikinya. Memang nampak alim secara penampilan, tetapi tidak ada yang dapat menjamin perilakunya sebaik dan se’alim penampilannya. Buktinya saja, tidak sedikit ustad atau pimpinan pesantren yang notabenenya berlatar belakang pendidikan keagamaan melakukan tindakan bejat terhadap santri-santrinya.
Dari hasil pencarian Google sepanjang tahun 2019 sampai tahun 2021 peristiwa bejat tersebut terjadi di beberapa pesantren di berbagai wilayah Indonesia seperti Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Banten, Jombang, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Tentu, wilayah dan pesantren yang disebutkan di atas hanya yang berhasil dilaporkan dan diekspos oleh media. Pelapornya pun tentunya harus mengumpulkan segenap keberanian dan dukungan dari banyak pihak untuk berani speak up!
Menurut Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti sepanjang tahun 2017 sampai 2019 kasus kekerasan pada anak cukup tinggi meski tidak semua dilaporkan kepada KPAI. dari data ini, mungkin saja terdapat kekerasan yang dialami oleh santri-santri di pesantren yang usianya masih tergolong anak-anak.
Seperti dikutip dari republika.co.id Retno meyampaikan “Kerap kali ketika terjadi kekerasan kepada santri, kiai hanya memanggil orang tua yang marah anaknya mendapatkan kekerasan, kemudian diberikan air putih dengan doa, kemudian masalah selesai, bahkan mereka mencabut laporannya dari kami.”
Artinya kelakuan bejat yang terjadi di pesantren adalah seperti fenomena gunung es, yang dilaporkan hanyalah setitik dari segumpal bongkahan gunung es yang tidak terlihat dan semakin banyak.
Penanganan kasus bejat di pesantren sulit dilakukan akibat tidak ada mekanisme yang jelas mengenai penanganan kasus pelecehan atau kekerasan seksual di pesantren. Sehingga, ya… berakhir begitu saja tanpa ada kejelasan apa lagi tindak lanjut dari pihak pesantren.
Hipotesis awal penulis atas kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang terjadi di pesantren yaitu karena masih sedikit sekali pesantren yang memiliki kesadaran akan bahaya perbuatan pelecehan atau kekerasan seksual di lingkungan pesantren, dan tentu masih banyak sekali yang masih abai dan menutup mata atas perbuatan bejat tersebut. Bahkan, pelaku dilindungi dan tidak mendapat punishment apapun dari kode etik pesantren yang tentu dimiliki masing-masing pesantren.
Mirisnya lagi, ditemukan kasus pelecehan atau kekerasan seksual diselesaikan melalui cara mediasi antara korban dan pelaku yang ditengahi oleh pimpinan pesantren, sehingga kasus ditutup dan berujung damai. Tetapi perlu diingat, trauma korban akan amat membekas dan belum tentu pelaku benar-benar bertaubat atau malah mencari korban lain.
Karenanya, hari ini dapat dinyatakan bahwa pesantren darurat pelecehan atau kekerasan seksual. Karena itu harus ada mekanisme jelas untuk merepon fenomena gunung es ini. Poin terpenting pertama, pimpinan pondok pesantren memahami isu-isu pelecehan atau kekerasan seksual dan membuat peraturan tegas tanpa toleransi bagi pelaku pelecehan atau kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Baik yang dilakukan oleh pimpinan pesantren itu sendiri, dewan pengajar, staf pesantren, atau santri.
Kedua, pesantren harus menyadari dan memberikan pendidikan kesehatan seksual dan materi pengenalan bahaya tindakan pelecehan atau kekerasan seksual kepada seluruh warga pesantren, tdak hanya para santri saja, tetapi juga pemimpin pesantren, para pengajar dan staf pesantren.
Langkah selanjutnya, ketiga pesantren membentuk satgas yang menangani kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual jika kasus tersebut terjadi. Tetapi, jika tidak terjadi setelah dilakukan pendidikan pencegahan pelecehan atau kekerasan seksual, tentu hal tersebut menjadi sebuah prestasi yang patut diapresiasi. Jika memungkinkan Kementerian Agama perlu juga membuat award nominasi pesantren yang nir tindakan pelecehan atau kekerasan seksual.
Dan, ada hal yang tidak kalah penting dari hal yang sudah disebutkan di atas, yaitu perumusan dan penerbitan Peraturan Menteri Agama soal pencegahan, edukasi, penanganan dan pemulihan korban pelecehan atau kekerasan seksual sebagai payung hukum untuk melepas rantai perilaku bejat di pesantren.
Merumuskan dan menerbitkan peraturan Menteri Agama yang menaungi institusi pendidikan pesantren soal pencegahan, edukasi, penanganan, dan pemulihan korban pelecehan atau kekerasan seksual bukanlah hal “latah” karena sebelumnya telah terbit Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Tetapi perumusan dan penerbitan Peraturan Menteri Agama untuk pencegahan, edukasi, penanganan dan pemulihan korban adalah upaya serius pemerintah untuk memutus mata rantai perilaku bejat yang jarang dan sulit diungkap di pesantren akibat relasi kuasa, entah antara ustad dengan santri atau antara pimpinan pesantren dengan santri atau staf pesantren. Kalau bisa sih tidak ada salahnya memerikan shocked terapi bagi pesantren-pesantren yang tidak melaksanakan peraturan Menteri Agama tersebut di lingkungan pesantren.
Shocked terapinya misalnya mencabut izin operasional pesantren atau mengambil alih kepemimpinan pesantren sampai peraturan tersebut benar-benar dilaksanakan. Hal ini semata demi menciptakan ruang aman bagi para santri yang sedang menunut ilmu, ditambah mereka berjauhan dengan orang tuanya. Tentu beban mental menjadi semakin berat akibat perbuatan keji tersebut.
Akhirnya, menjamin dan mewujudkan ruang aman bagi para santri adalah hal mutlak yang harus diupayakan oleh semua pihak. Dan, jangan lupa untuk terus melakukan edukasi soal isu pelecehan dan kekerasan seksual untuk semua warga pesantren, juga langkah-langkah penanganan dan pemulihan korban jika terlanjut terjadi pelecehan atau kekerasan seksual di pesantren.
So, penulis menyarankan sebelum memutuskan untuk mengantarkan anaknya ke pesantren ada baiknya mencari rekam jejak pesantren tersebut. Apakah ada riwayat kasus pelecehan atau kekerasan seksual atau tidak, apakah satgas penanganan dan edukasi pelecehan atau kekerasan seksual sudah dibentuk untuk menangani dan mendampingi pemulihan korban atau belum.
Dan yang terpenting apakah seluruh warga pesantren sudah mendapatkan dan memahami materi pencegahan pelecehan atau kekerasan seksual, dan bahaya dan dampak trauma pada fisik dan psikis akibat pelecehan dan kekerasan seksual. []