Mubadalah.id – Di bulan November ini, terdapat beberapa hari penting yang diperingati, salah satunya adalah International Day for Tolerance atau yang biasa disebut dengan hari toleransi internasional.
Hari toleransi internasional merupakan hari yang diperingati sebagai momen untuk merayakan keragaman dan toleransi di seluruh dunia yang diperingati pada tanggal 16 November setiap tahunnya.
Membahas tentang toleransi, jadi teringan dengan Nurcholish Madjid atau Cak Nur yang begitu hangat dan terbuka pada siapapun, yang mempunyai jiwa toleran sangat tinggi. Hingga terlintas di benak saya untuk menjadikan toleransi Cak Nur ini penting untuk saya tuliskan.
Membicarakan toleransi, Indonesia adalah negara yang di kenal sebagai bangsa pluralisme karena memiliki keberagaman di dalamnya. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang menyebar dari Sabang sampai Merauke.
Di setiap pulau terdapat keragaman perbedaan. Keberagaman perbedaan tersebut di antaranya adalah keberagaman adat istiadat, budaya, suku, agama, dan kepercayaan
Merawat Toleransi
Mempertentangkan nasionalisme dan Islam justru akan membuat Islam tidak bisa survive. Hal itu terbukti dengan penolakan Cak Nur terhadap gagasan Masyumi pada era 1960-an tentang penyatuan Islam-politik serta Islam-negara.
Pola pikir seperti ini sebenarnya berawal dari latar belakang keluarga dan pendidikan. Cak Nur berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama (NU) yang berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi.
Cak Nur berpendapat, kondisi bangsa semakin keruh jika masalah duniawi yang tidak sakral disatukan dengan Islam. Maka gagasan “Islam Yes, Partai Islam No” menjadi bukti “sekularisme” Cak Nur di Indonesia. Sekularisme di sini bukan seperti yang dipahami kebanyakan orang.
Menurut Cak Nur, masyarakat tidak perlu menyakralkan sesuatu yang tidak penting dan tidak ilahiyah. Adanya politik Islam dan negara Islam bukan tujuan utama dalam beragama, karena hakikatnya politik dan negara tidak sakral. Di situlah substansi sekularisme gagasan Cak Nur.
Keadilan di sini mewajibkan orang beragama harus terbuka, modern, moderat, merdeka, mandiri dan toleran. Di era milenial ini, toleransi di Indonesia memang menjadi barang mahal. Sebab, interaksi dengan pemeluk agama lain selalu dicurigai, toleran dianggap berafiliasi.
Pentingnya Toleransi dan Hidup Berdampingan
Di sisi lain, terdapat sebuah riwayat sebagaimana mengutip dalam Tafsir Ibnu Katsir (6/91) dan Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (2/428) bahwa Rasulullah pernah menerima tamu delegasi tokoh lintas agama di wilayah Masjid Nabawi. Tamu tersebut berjumlah 60 orang.
Di antaranya ada 14 orang yang merupakan pemimpin Kristen Najran. Mereka adalah Abdul Masih, Ayham, Abu Haritsah ibn Alqama, Aws, al-Harits, Zaid, Qays, Yazid, Nabih, Khuwaylid, `Amr, Khalid, Abdullah, dan Yuhannas. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama.
Bahkan Rasulullah juga memberikan izin dan mempersilakan rombongan tamu lintas agama tersebut untuk menggunakan bagian samping masjid sebagai tempat kebaktian dan ibadah mereka. Sebab ketika itu ternyata bersesuaian dengan waktu kebaktian mereka, di mana saat itu di sekeliling Madinah tidak ada Gereja.
Berdasarkan riwayat itu pula, di bagian sisi masjid yang lain Rasulullah bersama para sahabat juga menunaikan salat Ashar berjamaah.
Dengan berusaha untuk saling memahami dan menghormati, individu dan masyarakat dapat membina masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tradisi kepercayaan lainnya.
Pesan Islam
Apa yang Nabi teladankan di atas, membuat saya kembali teringat dengan perkataan yang sering diucapkan oleh KH. Husein Muhammad. Menurut Buya Husein sapaan akrabnya, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Islam itu hadir untuk memberikan kedamaian, menebarkan cinta kasih.
Bahkan Islam hadir untuk membebaskan semua umat manusia dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, dan segala bentuk diskriminasi.
Perintah untuk memberikan kedamaian, menebarkan cinta kasih dan untuk pembebasan itu sesuai dengan firman Allah SWT, dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. al Hujarat ayat 13)
Dengan perintah untuk saling kenal mengenal, seharusnya membuat kita sebagai umat manusia dapat mengerti bahwa tugas kita di muka bumi itu, ya untuk saling menyayangi, mengasihi, dan memberikan kedamaian kepada siapapun, baik kepada teman-teman yang beragama Kristen, Hindu, Budha maupun lainya. []