Mubadalah.Id– Mengapa fiqh aborsi sebagai alternatif? Upaya pencegahan terhadap kehamilan tidak dikehendaki (KTD) adalah sangat dianjurkan, jauh lebih baik dari sisi kesehatan reproduksi secara fisik, psikis dan sosial dibanding dengan membiarkan terjadi kehamilan yang tidak direncanakan, apalagi kemudian berakhir dengan aborsi.
Dari sisi hukum, baik hukum Islam (fiqh) maupun hukum positif melarang aborsi tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i atau sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang kesehatan. Namun jika terjadi kondisi yang membahayakan maka dapat dilakukan aborsi untuk menyelamatkan ibunya, baik disebabkan faktor fisik seperti hipertensi dan komplikasi, maupun faktor psikis dan sosial sebagaimana dialami para korban perkosaan.
Banyak korban perkosaan yang tidak tertolong akibat aborsi tak aman hingga membawanya pada kematian ibu, sebagaimana WHO memperkirakan 10-50% dari kasus aborsi tidak aman berakhir dengan kematian ibu. Begitu juga jika kehamilannya dilanjutkan tanpa ada pemulihan psikologis secara tuntas, korban mengalami trauma berkepanjangan bahkan seumur hidupnya.
Apalagi jika lingkungan keluarga dan masyarakatnya tidak mendukung, anak yang dilahirkan akibat perkosaan itu biasanya hidup dalam stigma sebagai ‘anak haram’, dikucilkan dari lingkungan keluarga, mendapat perlakuan diskriminasi dan sebagainya.
Perlakuan tersebut sangat tidak adil bagi korban karena hanya memperburuk beban psikologis dan sosial bagi ibu dan anaknya. Perdebatan antara pro dan kontra mengenai aborsi tidak memberikan solusi apapun dalam mengatasi masalah kematian ibu akibat aborsi tak aman.
Kalaupun akan dilakukan aborsi, pastikan dilakukan secara aman sesuai kaidah yang berlaku yaitu aman dari segi kesehatan, aman dari segi kejiwaan (psikologis dan psikiatris), aman dari aspek sosial, dan aman menurut agama (syara’). Untuk merumuskan aborsi alternatif yang aman baik dari sisi agama, kesehatan maupun psikologi perlu dilakukan tinjauan komprehensif dengan melibatkan para pakar dan praktisi di bidang tersebut.
Dari sisi agama (syara’), batasan yang dianggap membahayakan harus mengacu pada situasi dan kondisi yang dapat mengancam kebinasaan terhadap lima pilar (ad-dlaruuriyyat al-Khamsah) yaitu; menjaga agama (hifdz al diin), menjaga jiwa (hifdz al nafs), menjaga akal (hifdz al ‘aql), menjaga keturunan (hifdz al nasl), dan menjaga harta (hifdz al maal).
Artinya, segala situasi dan kondisi apapun yang dapat mengantarkan atau mengakibatkan pada rusaknya lima pilar tersebut dapat dilakukan meskipun harus bertentangan dengan hal-hal yang dalam situasi normal dilarang, misalnya memakan sesuatu yang diharamkan tetapi kalau untuk pengobatan diperbolehkan.
Oleh karena itu, beberapa aborsi yang dibenarkan secara syar’i di antaranya dilakukan sebagai upaya untuk pencegahan terhadap kematian ibu bisa dikategorikan dalam hifdz al nafs; aborsi karena proses reproduksi yang membahayakan bisa dikategorikan dalam hifdz al nasl; aborsi sebagai upaya mencegah trauma berkepanjangan dan kelainan jiwa termasuk dalam hifdz al ‘aql; bahkan aborsi karena upaya menjaga harkat martabat kemanusiaan (dignity) disebut hifdz al ‘irdl, menurut sebagian ulama kontemporer termasuk menurut Kyai Husein hal ini diperbolehkan.
Argumentasi lain, dari sisi metodologis bisa menggunakan beberapa kaidah fiqh, antara lain: “Memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya bisa dilakukan demi menjaga yang lebih membahayakan (yartakibu akhaff al-dhararaiin li ittiqaa’i asyaddahuma)”.
Ketika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka dapat memilih salah satu kondisi yang tingkat bahayanya paling ringan. Kaidah lain menyebutnya: “Jika dihadapkan pada sebuah dilema yang sama-sama membahayakan, maka ambillah risiko yang paling kecil dengan menghindari risiko yang lebih besar (idzaa t’aaradhat al-mafsadataani ruu’iya a’dzamuhuma dhararan”.
Pertimbangan rasionalnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi ibunya, karena ibu merupakan induk (al-ashl) dari janin sehingga harus dipertahankan dan harus dilindungi. Ibu telah memiliki tanggung jawab kemanusiaan terhadap keluarganya maupun masyarakatnya.
Sementara janin belum memiliki tanggung jawab apapun. Dalam kondisi tertentu bisa saja yang dianggap darurat dan maslahat bagi seseorang belum tentu sama dengan kondisi darurat dan maslahat bagi orang lain.
Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut dengan mempertimbangkan aspek-aspek kebaikan dan kemanfaatan (mashlahat) dan bahaya (madlarat) baik secara fisik maupun psikis dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi KTD, maka aborsi sebelum kehamilan berusia 8 minggu atau janin berusia 6 minggu (42 hari) dapat dibenarkan sebagai alternatif untuk menyelamatkan ibu.
Dari sisi pertumbuhan embriologi, pada kehamilan usia 0-8 minggu embrio dalam proses pertumbuhan sel yang belum sempurna dan diduga kuat peniupan roh belum terjadi. Kondisi embrio pada usia tersebut nyaris sama dengan yang diinformasikan hadis Nabi bahwa Allah mengutus malaikat untuk menyempurnakan proses pembentukan manusia adalah setelah embrio melewati usia 42 hari. Secara lengkap hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila nuthfah telah melewati empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya, kemudian malaikat bertanya:
Wahai Tuhanku, apakah dijadikan laki-laki atau perempuan? Lalu Allah menentukan apa yang dikehendaki, dan malaikat itupun menulisnya.” (HR. Muslim).
Jadi, berdasarkan hadis tersebut didukung dengan kaidah-kaidah fikih dan pertimbangan rasional dengan memperhatikan pertumbuhan embrio, maka aborsi alternatif dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir dalam kondisi darurat setelah upaya lain berupa pencegahan KTD tidak berhasil dilakukan.
Pengertian alternatif di sini adalah sebagai pilihan terakhir bagi perempuan yang situasi dan kondisi fisik, psikis dan sosialnya memang tidak memungkinkan kalau kehamilannya dilanjutkan. Dengan syarat, dilakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) profesi kesehatan serta melalui proses konseling sebelum maupun sesudah tindakan dilakukan (pre abortion and post abortion).
Demikian mengapa fiqh aborsi sebagai alternatif? Semoga penjelasan terkait mengapa fiqh aborsi sebagai alternatif penting ini bermanfaat. Allahu a’lam bi al shawab. (Baca juga: Hukum Aborsi Menurut Para Ulama Ahli Fikih)