Mubadalah.id – Satu pekan kemarin, beberapa hari jelang Ramadan saya menerima wawancara dari tim redaksi Konde.co dan Magdalene. Secara kebetulan mereka sedang mengikuti kegiatan Sarasehan Jurnalis bersama Tim Media Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Yogyakarta.
Dua media yang konsen pada pembelaan terhadap hak-hak perempuan dan masyarakat sipil ini mengajukan tanya yang sama. Bagaimana tanggapanku terhadap vokalis Band Sukatani Novi Citra Indriyati yang diberhentikan secara sepihak oleh pihak sekolah? Di mana selama ini Novi mengabdikan diri sebagai guru.
Alasan pemecatan karena persoalan tubuh perempuan dan pakaian yang ia kenakan saat tampil bersama Band Sukatani dianggap melanggar aturan yayasan dan tidak sesuai syariat Islam. Lalu saya mengajukan pertanyaan balik pada dua orang yang mewawancarai, mengapa tubuh perempuan yang diatur? Mengapa bukan cara pandang kita terhadap tubuh dan eksistensi perempuan yang perlu kita ubah?
Tahun sudah menginjak 2025, perdebatan soal pakaian dan tubuh perempuan masih saja mengemuka, seakan dengan cara begitu bisa mengontrol kebebasan berekspresi dan pemikiran kritis perempuan.
Dalam momentum Hari Perempuan Internasional yang kita peringati setiap 8 Maret, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana dengan tubuh perempuan yang saya miliki ini pun pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
Pakaian dan Tubuh Perempuan
Masih jelas dalam ingatan ketika saya melakukan liputan kegiatan salah satu ormas keagamaan di Indramayu, saya ditegur oleh seorang tokoh agama. Dia mengatakan jika masuk ke gedung NU harus mengenakan rok atau gamis. Kebetulan saya sedang bertugas sebagai jurnalis media lokal dengan baju saat bekerja di lapangan. Celana jeans, kemeja, jilbab segi empat dan tas selempang untuk menyimpan kamera digital, pena serta notes kecil.
“Mbak tolong ya perempuan kalau masuk ke gedung NU harus berpakaian yang sopan, pakai rok atau gamis”
Saya hanya terdiam, karena tugas liputan ke acara di gedung itu memang mendadak. Kedua, outfit di atas lumrah saya kenakan sehari-hari saat itu, karena biar bebas bergerak ketika harus liputan naik turun motor ke tempat-tempat yang jauh dan terpencil. Ketiga, saya memang agak trauma mengenakan rok saat mengendarai motor sebab pernah punya pengalaman yang kurang menyenangkan.
Di tahun 2000, ketika masih menuntut ilmu di Jombang, saya pernah jatuh dari motor saat membonceng kakakku. Rok hitam yang saya kenakan masuk dalam ruas jari-jari ban motor, membuat saya terjatuh dan motor seketika mogok tak bisa jalan. Warga di sekitar berdatangan membantu kami yang masih telentang di jalan raya.
Rok hitam yang terlilit di roda itu digunting oleh seorang laki-laki, praktis tubuh saya di bagian bawah terlihat bahkan hingga paha bagian atas. Seorang perempuan paruh baya lantas meminjamkan sarung untuk menutupi tubuh saya. Tentu saja saya menangis terlihat oleh banyak orang dengan tatapan yang menghunjam dan menghakimi.
Hingga bertahun kemudian, ketika ada yang menyoal pakaian dan tubuh perempuan ada perasaan kesal yang tak mampu saya bahasakan. Tak ada standar tunggal bagi perempuan untuk menentukan dengan cara apa harus berpakaian, selama merasa aman dan nyaman dengan pakaian yang ia kenakan.
Aurat Secara Sosial
Dr Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan secara lugas dalam buku “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” bahwa seharusnya kita memahami teks hadis perempuan adalah aurat yang kita baca secara mubadalah. Yakni dengan menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subjek setara di hadapan makna yang dimunculkan.
Dalam teks hadis memahami maknanya bukan sekadar aurat badaniah, melainkan lebih utuh secara sosial. Sehingga perempuan kita anggap sebagai aurat ketika mereka lemah, bodoh, mudah terperdaya, mudah dijadikan alat individu atau pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum.
Sebaliknya ketika perempuan menjadi kuat, pintar, mandiri, bijak dan paham situasi agar tidak mudah terperdaya, maka kehadiran para perempuan itu bukan lagi aurat.
Ketika perempuan lemah dan dianggap aurat yang perlu penguatan, maka laki-laki lemah adalah aurat yang perlu pemberdayaan. Tidak semua laki-laki kuat dan mampu melindungi sebagaimana tidak semua perempuan itu lemah dan perlu perlindungan.
Siapa pun bisa, baik laki-laki maupun perempuan dengan kapasitasnya masing-masing bisa menjadi pelindung, dan penolong mereka yang lemah. Maka melalui momentum Hari Perempuan Internasional 2025 ini menjadi langkah yang tepat bagi kita untuk saling menguatkan dan memberdayakan.
Sejarah Hari Perempuan Internasional
Melansir dari Times of India, peringatan Hari Perempuan Internasional bermula dari perjuangan melawan penindasan terhadap kaum perempuan yang terjadi hingga awal abad ke-20. Pada tahun 1908, perempuan semakin aktif menyuarakan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang mereka alami melalui berbagai kampanye.
Gerakan ini semakin mendapat perhatian ketika sekitar 15.000 perempuan di New York, Amerika Serikat, melakukan aksi demonstrasi menuntut hak-hak mereka. Termasuk upah yang lebih baik, jam kerja yang lebih manusiawi, dan hak untuk memilih dalam pemilu.
Setahun kemudian, pada 1909, perayaan Hari Perempuan Internasional pertama kali di seluruh Amerika Serikat. Pada tahun-tahun berikutnya, Kopenhagen, Denmark, menjadi tuan rumah konferensi internasional bagi pekerja perempuan.
Dalam konferensi tersebut, Clara Zetkin, pemimpin Women’s Office dari Partai Sosial Demokrat di Jerman, mengusulkan ide untuk menetapkan Hari Perempuan Internasional.
Pada tahun 1911, peringatan ini pertama kali dihormati di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss pada 19 Maret. Sementara itu, antara tahun 1913 dan 1914, perempuan di Rusia merayakan Hari Perempuan pertama mereka pada 23 Februari.
Hingga akhirnya PBB secara resmi menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional yang diterima secara global pada tahun 1975.
Tema Hari Perempuan Internasional 2025
Melansir UN Women, peringatan Hari Perempuan Internasional 2025 kita rayakan dengan mengusung tema “For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment.” Atau “Untuk SEMUA perempuan dan anak perempuan: Hak. Kesetaraan. Pemberdayaan.” Mengajak semua pihak untuk ikut merayakan peringatan dengan tema tersebut pada 8 Maret 2025.
Tema tahun ini menyerukan tindakan yang dapat membuka persamaan hak, kekuasaan, dan peluang bagi semua orang dan masa depan feminis, di mana tidak ada yang tertinggal. Inti dari visi ini adalah memberdayakan generasi penerus. Khususnya perempuan muda dan remaja putri sebagai katalisator perubahan yang langgeng.
Di bawah tema kampanye global UN Women untuk menandai ulang tahun ke-30 Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing, “For ALL women and girls.” Hari Perempuan Internasional tahun 2025 merupakan seruan untuk mengambil tindakan di tiga bidang utama:
Pertama, memajukan hak-hak perempuan dan anak perempuan: Berjuang tanpa henti untuk hak asasi perempuan dan anak perempuan secara penuh, menentang segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.
Kedua, mempromosikan kesetaraan gender: Mengatasi hambatan sistemik, membongkar patriarki, mengubah ketidaksetaraan yang sudah mengakar, dan mengangkat suara perempuan dan anak perempuan yang terpinggirkan. Termasuk anak muda, yakni untuk memastikan inklusivitas dan pemberdayaan.
Ketiga, mendorong pemberdayaan: Mendefinisikan ulang struktur kekuasaan dengan memastikan akses inklusif ke pendidikan, pekerjaan, kepemimpinan, dan ruang pengambilan keputusan. Memprioritaskan kesempatan bagi perempuan dan anak perempuan untuk memimpin dan berinovasi.
Mendorong Kemajuan Perempuan
Hari Perempuan Internasional tidak tertuju untuk satu negara, satu kelompok komunitas, atau satu organisasi tertentu. Hari ini merupakan hari aktivisme dan perayaan global kolektif yang diperuntukkan bagi semua pihak yang berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Melansir dari laman IWD, Gloria Steinem, seorang feminis, jurnalis, dan aktivis ternama di dunia, pernah menjelaskan : “Kisah perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan bukan milik satu feminis atau satu organisasi saja. Melainkan milik usaha kolektif semua orang yang peduli terhadap hak asasi manusia.”
Setiap komunitas dapat memilih untuk menandai IWD dengan cara apa pun yang mereka anggap paling relevan, menarik, dan berdampak untuk konteks, tujuan, dan audiens spesifik mereka.
Hari Perempuan Internasional adalah tentang kesetaraan gender dalam segala bentuknya. Bagi sebagian orang, Hari Perempuan Internasional adalah tentang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Sedangkan bagi yang lain, Hari Perempuan Internasional adalah tentang memperkuat komitmen-komitmen utama. Sementara bagi sebagian orang, Hari Perempuan Internasional adalah tentang merayakan keberhasilan. Apapun pilihan yang kita buat, semua pilihan penting dan semua pilihan valid.
Semua aktivitas yang kita lakukan dapat membantu memberikan kontribusi. Selain itu, menjadi bagian dari gerakan global yang berkembang pesat dan fokus pada kemajuan perempuan. Seperti yang kini saya lakukan, menyuarakannya melalui tulisan. Selamat Hari Perempuan Internasional, mari kita terus bergerak bersama! []