Mubadalah.id – Di banyak kajian pra nikah, pemandangan yang muncul hampir selalu sama, ruangan penuh dengan perempuan. Laki-laki, kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Fenomena ini tidak hanya terjadi di perkotaan, namun juga di desa-desa.
Padahal, ilmu pra nikah terutama yang akan membangun kehidupan rumah tangga merupakan bekal laki-laki dan perempuan. Untuk membantu pasangan membangun hubungan yang sehat dan harmonis dalam pernikahan, serta mencegah perceraian di masa depan. Persiapan yang matang menuju pernikahan adalah kunci untuk menggapai pernikahan yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Tahun 2023 lalu, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal pernah membagikan sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Dalam sebuah kelas nikah gratis, 600 peserta perempuan yang tercatat, hanya 5 orang laki-laki yang hadir.
Fenomena ini ternyata memang sudah umum. Seorang penyelenggara kelas pra nikah bercerita, selama sekitar sepuluh tahun mengadakan pelatihan, jumlah peserta laki-laki tidak pernah lebih dari 30%. Bahkan di beberapa angkatan, jumlahnya turun jauh di bawah itu. Pola ini nyaris tidak berubah dari tahun ke tahun, seolah menjadi sesuatu yang wajar di mata masyarakat.
Hal ini menunjukkan ketimpangan yang sangat jauh dalam semangat belajar ilmu pernikahan. Selain itu, bagi sebagian laki-laki Muslim, kajian pra nikah dianggap hanya cocok dihadiri laki-laki pengangguran yang punya banyak waktu luang. Sementara mereka yang bekerja merasa tidak perlu hadir. Kesibukan mencari nafkah menjadi alasan untuk absen menuntut ilmu.
Padahal, ini cara pandang yang salah. Seorang Muslim bisa bekerja sekaligus memprioritaskan ilmu. Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa kewajiban menuntut ilmu tidak hanya kepada perempuan, namun juga laki-laki. Serta tidak membatasi kewajiban belajar hanya pada mereka yang punya banyak waktu.
Budaya Patriarki Menempatkan Laki-Laki Hanya Pemberi Nafkah
Selain menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk tidak hadir, budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai pengelola emosi, pendidik anak, dan pengatur rumah tangga.
Dalam banyak keluarga, laki-laki sejak kecil dibesarkan dengan keyakinan bahwa peran utama mereka hanyalah mencari nafkah. Sehingga pada akhirnya laki-laki mengira, satu-satunya hal yang wajib ia berikan kepada istri hanyalah gaji dan tempat tinggal. Komunikasi, manajemen konflik, atau mengelola perasaan, dan tanggung jawab emosional dianggap sifat feminin yang tidak perlu dipelajari.
Patriarki juga membentuk standar maskulinitas yang sempit. Duduk di kelas yang membahas komunikasi, kepekaan emosi, dan tanggung jawab pengasuhan, sering dianggap tidak maskulin. Tidak sedikit pula yang merasa sudah tahu semuanya, menganggap pengalaman hidup dan nasihat orang tua cukup menjadi modal.
Dan yang paling mendasar, banyak yang tidak melihat urgensinya. Mereka belum menyadari bahwa pernikahan adalah amanah besar yang menuntut kesiapan hati, kepala, dan keterampilan, bukan hanya isi dompet.
Akibatnya, banyak laki-laki tidak merasa perlu duduk di kelas pra nikah atau parenting. Mereka mengira pengetahuan rumah tangga otomatis datang bersama usia atau pengalaman kerja. Padahal, rumah tangga yang sehat membutuhkan suami yang juga hadir dengan penuh kesiapan. Tanpa itu, beban psikis istri menjadi berlipat, dan generasi berikutnya berpotensi mewarisi pola yang sama.
Rasulullah Sebagai Teladan
Rasulullah SAW menikah pertama kali dengan Khadijah ra. di usia 25 tahun. Meski dikenal sebagai Al-Amin dan sudah matang secara ekonomi, beliau membangun pernikahan dengan pondasi akhlak, komunikasi, dan kasih sayang.
Selama berumah tangga dengan Khadijah, beliau banyak belajar tentang kesetiaan, dukungan emosional, dan kerja sama dalam menghadapi ujian hidup, mulai dari tekanan sosial, cobaan dari orang-orang Quraisy, hingga kehilangan anaknyaa. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan menikah bukan hanya soal kemapanan finansial, namun juga kematangan emosional.
Setelah Khadijah wafat dan Rasulullah menikah lagi dengan Aisyah ra., beliau menunjukkan betapa pentingnya humor, kelembutan, dan komunikasi yang hangat dalam rumah tangga. Beliau mendengarkan pendapat istrinya, bahkan tidak segan menerima saran, seperti yang terjadi saat Perjanjian Hudaibiyah ketika Aisyah memberi masukan strategis yang sangat berpengaruh.
Bahkan dalam urusan ilmu pra nikah dan parenting, Rasulullah SAW memberikan teladan kepada keluarga dan sahabatnya. Beliau mengajarkan para sahabat tentang hak-hak istri, adab bersama keluarga, dan cara mendidik anak dengan kasih sayang.
Banyak sahabat laki-laki bertanya langsung kepada beliau, misalnya tentang bagaimana membahagiakan pasangan, atau adab di dalam rumah. Hal ini membuktikan bahwa laki-laki pada masa itu justru aktif mencari ilmu rumah tangga dan bukan menganggapnya sebagai urusan perempuan saja.
Mengapa Ini Bermasalah?
Ketika hanya perempuan yang belajar, rumah tangga berjalan pincang. Istri sudah memiliki bekal ilmu komunikasi, manajemen konflik, dan bagaimana mendidik anak. Sementara suami sering kali berjalan dengan peta kosong.
Akibatnya, saat masalah muncul, beban mental dan emosional sering kali jatuh pada istri, yang juga harus mendidik pasangannya di tengah perjalanan rumah tangga. Padahal, Rasulullah SAW sendiri menjadi teladan dalam mengelola rumah tangga, ikut membantu pekerjaan domestik, dan hadir penuh secara emosional bagi keluarga.
Masalah ini bukan hanya soal teknis sehari-hari. Jika hanya satu pihak yang belajar, prinsip yang terpakai untuk mengatur rumah tangga jadi berbeda jalur. Istri berbicara dengan bekal pengetahuan, sementara suami merespons dengan kebiasaan atau sekadar naluri. Harapan untuk menemukan solusi bersama sering berbelok menjadi debat yang melelahkan. Akhirnya, masalah yang sama terus berulang, tanpa pernah benar-benar selesai.
Selain itu, pekerjaan emosional seperti menenangkan anak, membaca suasana hati pasangan, menjaga hubungan keluarga besar, semuanya kerap dipikul perempuan sendirian. Jika sejak awal suami tidak dibekali pemahaman yang sama, beban ini semakin berat.
Kehadiran Laki-laki dalam Kelas Pra Nikah Sangat Penting
Dan yang lebih mengkhawatirkan, pola seperti ini akan terwariskan ke anak-anak. Anak-anak akan tumbuh dengan gambaran ayah yang hanya memberi nafkah, tanpa hadir dalam pengasuhan. Anak perempuan terbiasa melihat ibu memikul beban sendirian, lalu menganggap itu wajar.
Padahal dalam Islam, suami yang dianggap sebagai qawwam atau pemimpin keluarga, bukan hanya pencari nafkah, namun juga hadir secara emosional, memberikan kasih sayang, dan melindungi keluarganya.
Karena jika pengertian qawwam hanya kita pahami sebagai urusan ekonomi, pernikahan akan kehilangan unsur kasih sayang, tanggung jawab moral, dan semangat belajar. Rumah tangga yang seharusnya menjadi ladang ibadah justru berubah menjadi sumber lelah dan luka.
Inilah mengapa kehadiran laki-laki di kelas pra nikah sangat penting. Bukan hanya untuk mendampingi calon pasangan, namun juga mempersiapkan diri menjadi mitra yang setara untuk bersama-sama mematangkan diri dalam menjaga amanah yang telah Allah titipkan. Karena rumah tangga adalah perjalanan panjang, dan peta itu sebaiknya kita siapkan bersama, bukan hanya diserahkan pada satu tangan. []