• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mengenal Feminisme Marxisme

Para pengikut Marxisme percaya bahwa perempuan memiliki tujuan yang sama dengan para buruh

Fadlan Fadlan
22/07/2024
in Publik
0
Feminisme Marxisme

Feminisme Marxisme

906
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam ‘Communist Manifesto’ (1848), filsuf Jerman dan ahli teori politik Karl Marx dan Friedrich Engels menyatakan bahwa kapitalisme adalah sumber penindasan terhadap perempuan. Kapitalisme memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua yang lebih rendah daripada laki-laki. Baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Feminisme Marxisme mengadaptasi teori tersebut untuk memperjuangkan emansipasi perempuan. Yakni melalui gerakan yang bertujuan untuk meruntuhkan sistem kapitalis. Singkatnya feminisme Marxis adalah varian feminisme yang menggabungkan dan memperluas teori Marxis.

Tulisan-tulisan Marx selanjutnya berfokus pada kesenjangan ekonomi dan sosial antar kelas. Selain itu tidak terlalu memperhatikan isu dominasi laki-laki. Namun begitu, Marx kembali membahas masalah penindasan perempuan menjelang kematiannya, sehingga dia menghasilkan banyak catatan tentang isu perempuan.

Engels lalu memanfaatkan beberapa catatan Marx tersebut dan mengawinkannya dengan pemikiran Lewis Henry Morgan, untuk menyusun ‘The Origin of the Family’-nya pada 1884, yang di dalamnya dia mengkaji permulaan pelembagaan hak-hak perempuan.

Engels menegaskan bahwa kekerasan dan penindasan yang perempuan alami berakar dari keluarga. Dia menggambarkan keluarga sering kali menjadi tempat di mana perempuan adalah budak dari suaminya dan hanya sekadar alat produksi untuk menghasilkan anak.

Baca Juga:

Wajah Perempuan Bukan Aurat, Tapi Keadilan yang Tak Disuarakan

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

Empat Cara Laki-laki Membuktikan Cinta pada Kartini

Bagaimana Gerakan Kesalingan Membebaskan Laki-laki Juga?

Penindasan berbasis gender direproduksi secara kultural dan dipertahankan melalui ketimpangan yang dilembagakan. Dengan mengutamakan laki-laki dengan mengorbankan perempuan dan menolak mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai sesuatu yang sama berharganya. Laki-laki kelas pekerja disosialisasikan ke dalam struktur yang menindas yang mengesampingkan perempuan kelas pekerja.

Tulisan-tulisan Marxis klasik berpendapat bahwa—meskipun pembagian kerja berbasis gender akan selalu ada—pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan sama-sama penting. Namun sejak kebangkitan kapitalisme—yang memunculkan produk surplus dan akumulasi properti—umat manusia menjadi begitu tertarik pada konsep warisan.

Engels berpendapat bahwa hak waris berdasarkan pada bias moral dan pemisahan antara ranah privat dan publik, yang kemudian mengarah pada kontrol atas perempuan.

Perjuangan Kelas

Menurut Marxisme klasik, emansipasi perempuan memerlukan keterlibatan perempuan itu sendiri. Oleh karena itu perjuangan atau pergerakan perempuan menjadi bagian utama dari perjuangan kelas.

Para pengikut Marxisme percaya bahwa perempuan memiliki tujuan yang sama dengan para buruh.

Ketidaksetaraan gender baru akan hilang apabila kepemilikan pribadi, terhapuskan. Karena kepemilikan pribadilah yang selama ini merantai tangan dan kaki perempuan. Dengan penghapusan kepemilikan pribadi, maka tidak ada lagi alasan untuk melakukan eksploitasi.

Feminis Marxis percaya bahwa dalam masyarakat kapitalis, perempuan adalah “buruh cadangan.” Mereka dipanggil ketika diperlukan, seperti pada saat perang, dan terkucilkan ketika kebutuhan tersebut hilang.

Hak Pilih Perempuan

Dengan argumen bahwa patriarki dan dominasi laki-laki telah ada jauh sebelum munculnya kepemilikan pribadi dan pembagian kelas, para feminis Marxis mengidentifikasi kapitalisme dan patriarki sebagai sistem ganda yang mendasari penindasan terhadap perempuan.

Di antara waktu kematian Marx (1883) dan Engels (1895) dan Perang Dunia I (1914–1918), para ahli teori sosialis dan komunis dari kaum perempuan menguraikan lebih jauh isu-isu pemberdayaan perempuan dan hak pilih universal. Rosa Luxemburg, Clara Zetkin, dan Alexandra Kollontai, misalnya. Mereka menolak gagasan bahwa karena gender mereka, perempuan tidak dapat masuk di dalam kepemimpinan sosialis.

Pemikiran Luxemburg dan Zetkin

Meskipun pemberdayaan perempuan bukanlah fokus utama tulisan Rosa Luxemburg, dia percaya bahwa revolusi adalah kunci emansipasi perempuan, dan bahwa perempuan memiliki hak untuk bekerja di luar institusi keluarga.

Menyoroti kemunafikan khotbah tentang kesetaraan gender oleh agamawan dan para akademisi dari kelas borjuis, dia menyatakan masyarakat kapitalis tidak memiliki konsep kesetaraan untuk perempuan. Maka dari itu hanya dengan revolusi proletar (kelas pekerja) barulah perempuan dapat terbebaskan dari perbudakan. Terutama perbudakan rumah tangga.

Dalam pidatonya pada tahun 1912 yang berjudul Women’s Suffrage and Class Struggle, Rosa menyatakan bahwa “sosialisme telah membawa kelahiran kembali secara spiritual dari banyak perempuan proletar.” Dia menambahkan dengan masam, “dan dalam proses ini tidak diragukan lagi telah menjadikan perempuan-perempuan kompeten sebagai pekerja produktif untuk mendapatkan modal.” 

Luxemburg mengkritik gerakan perempuan borjuis. Dia menggambarkan istri-istri borjuis yang berhaluan feminisme liberal sebagai “parasit bagi masyarakat” dan “beban bagi keluarga.” Dia berpendapat bahwa hanya dengan perjuangan kelaslah “perempuan dapat menjadi manusia.” 

Lalu dia menyatakan bahwa perempuan borjuis tidak memiliki minat yang nyata dalam memperjuangkan hak-hak politik. Karena mereka tidak menjalankan fungsi ekonomi apa pun dalam masyarakat. Melainkan hanya menikmati “hasil nyata dari dominasi kelas” yang mereka lakukan (untuk lebih jelasnya silakan baca tulisan saya berjudul ‘Kritik Atas Feminisme Liberal: Abai terhadap Pengalaman Perempuan yang Beragam’).

Bagi Luxemburg, perjuangan untuk hak pilih perempuan bukan sekadar misi bagi perempuan, namun merupakan tujuan bersama. Dia juga melihat hak pilih perempuan sebagai langkah penting dalam mendidik kaum proletar dan memimpin mereka maju dalam perjuangan melawan kapitalisme.

Bersama dengan perempuan sosialis lainnya, khususnya teman dan orang kepercayaannya, Clara Zetkin—yang juga menolak feminisme liberal/feminisme borjuis—Luxemburg terlibat dalam berbagai kampanye yang memperkuat solidaritas perempuan. Misalnya selama Perang Dunia I, Luxemburg dan Zetkin berpartisipasi dalam kampanye anti perang di surat kabar Die Gleichheit. Mereka mendesak para pembacanya untuk menentang militerisme.

Pemikiran Alexandra Kollontai

Gerakan revolusioner di Rusia pada awal tahun 1900an mendorong perkembangan feminisme Marxis. Alexandra Kollontai, seorang revolusioner komunis, menempatkan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender sebagai tujuan utama sosialisme.

Sejak tahun 1905, dia aktif mempromosikan gagasan-gagasan Marxis di kalangan buruh perempuan Rusia. Kollontai menuntut pemutusan hubungan keluarga tradisional. Dia juga menegaskan bahwa, ketika seorang perempuan bergantung secara ekonomi pada laki-laki dan tidak berpartisipasi langsung dalam urusan publik dan industri, dia tidak bisa bebas.

Artikel Kollontai tahun 1918 berjudul ‘The New Woman’ menyatakan bahwa perempuan harus keluar dari peran patuh yang dipaksakan oleh patriarki. Selain itu menumbuhkan kualitas yang, secara tradisional, dikaitkan dengan laki-laki. Dengan begitu, perempuan baru akan menaklukkan emosinya dan mengembangkan disiplin diri yang kuat.

Lantas, perempuan juga tidak perlu lagi meminta dukungan materi dari laki-laki. Minat perempuan tidak lagi terbatas pada rumah, keluarga, dan cinta, dan dia tidak akan menyembunyikan kecenderungan seksualitasnya.

Dalam ‘Society and Motherhood’ (1916), Kollontai menganalisis pekerjaan di pabrik dan menyatakan bahwa kerja paksa mengubah peran sebagai ibu menjadi sebuah beban. Di mana hal itu menyebabkan masalah kesehatan dan sosial bagi perempuan dan anak-anak.

Dia menganjurkan perbaikan kondisi kerja dan pengakuan negara terhadap peran seorang ibu melalui asuransi. Di mana dia juga menyatakan bahwa kesehatan perempuan pekerja dan anaknya, serta pengasuhan anak selama ibu bekerja, harus menjadi tanggung jawab utama negara. []

Tags: Feminisme MarxismeFeminisme PergerakanFilsuf Perempuangerakan perempuanKesetaraanPemikiran Filsuf
Fadlan

Fadlan

Penulis lepas dan tutor Bahasa Inggris-Bahasa Spanyol

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version