• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Mengenal Lebih Dekat dengan Profesor Istibsyaroh

Hak perempuan, dalam pandangan Profesor Istibsyaroh terbagi menjadi dua, yaitu hak pribadi perempuan dan hak sosial politik

Hotimah Novitasari Hotimah Novitasari
03/05/2024
in Figur, Rekomendasi
0
Profesor Istibsyaroh

Profesor Istibsyaroh

2.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Lahir dan besar di kota santri Jombang, Jawa Timur, Profesor Istibsyaroh tumbuh dan hidup menjadi perempuan yang tidak lepas dari pendidikan pesantren. Pendidikan ia mulai dari Madrasah Ibtida’iyah Bulurejo pada tahun 1965. Tsanawiyah dan Aliyah pada 1966-19671 di Pondok pesantren Putri Walisongo Cukir, Jombang.

Tak berhenti di sana, ia juga merupakan lulusan dari Universitas Hasyim Asy’ari Jombang pada tahun 1971 hingga 1975. Rasa haus menempuh pendidikan di perguruan tinggi, kemudian ia lanjutkan menjadi mahasiswa pascsarjana dan sekaligus dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2000. Hingga, pada tahun 2004, Istibsyaroh meraih gelar Doktor Tafsir Qur’an dengan predikat lulusan terbaik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 

Perjalanan yang cukup panjang tersebut kemudian menjadi tumpuan karir Istibsyaroh. Karir yang ia tempuh, tidak serta merta ia mulai dari akademisi di universitas, melainkan menjadi seorang guru di MI Seblak, Jombang pada tahun 1975. Perjalanan tersebut kemudian berlanjut, ia menjadi guru di MTs Bulurejo dari tahun 1979 hingga 1991. Pada tahun 1992, ia terpilih menjadi Anggota Dewan DPRD Kabupaten Kediri Anggota Komisi E dari tahun 1992 hingga 1997 dan ia lanjutkan dari tahun 1997-1999.

Usai menjalankan perhelatan menjadi seorang politikus, ia memilih melanjutkan karirnya sebagai seorang akademisi. Melanjutkan ke pascasarjana dan menjadi dosen di Fakultas Syariah dan Hukum, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beberapa karir yang pernah ia geluti yaitu menjadi kepala Pusat Studi Gender IAIN Sunan Ampel Surabaya (2006). Ketua Forum Muballighah Peduli Perempuan dan Anak (FMP2A) Provinsi Jawa Timur pada (2008).

Karier di Dalam dan Luar Kampus

Pada tahun yang sama, menjadi wakil anggota Pusat Studi Gender PTAI-PTAIS Se-Jawa Timur. Pengurus Dharma Wanita Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan menjadi Wakil Ketua Ikatan Alumni Sunan Ampel Surabaya (2009). Mengetuai Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IAIN Sunan Ampel Surabaya (2010). 

Baca Juga:

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

#JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

Pesan Nyai Alissa Wahid di Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Di luar Instansi, Istibsyaroh juga aktif menjadi pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an (LPTQ) Provinsi Jawa Timur. Aktif sebagai anggota Pengurus Himpunan Da’iyah Muslimat Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Timur. Tahun 2009, Istibsyaroh menjadi koordinator Bidang Litbang Muslimat NU Wilayah Jawa Timur.

Selama tahun 2006 hingga 2010 Istibsyaroh menjadi ketua Forum Komunikasi Perempuan Lintas Agama (FKPLA) Tingkat Jawa Timur dan ketua STIT al-Urwatul Wutsqo, Bulurejo, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Pada tahun 2017, Istibsyaroh menjadi anggota perwakilan dalam acara Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon, Jawa Barat. 

Dukungan Keluarga

Semua perjalanan di atas bisa Istibsyaroh lalui karena adanya dukungan keluarga dan suaminya–KH. Za’imuddin Badrus Sholeh, pengasuh dari Pondok Pesantren Al Hikmah, Kediri. Mereka berdua dipertemukan karena perjodohan dari orang tua. Tak menolak perjodohan itu, Istibsyaroh mengajukan syarat pada calon suaminya jika ia ingin tetap dapat melanjutkan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi pasca perkawinan.

Syarat itu ditepati suaminya, Kiai Za’imuddin tak hanya mendukung istrinya, ia juga turut menjadi sandaran dan fasilitator atas karir Istibsyaroh. Pun dengan dukungan keluarga bagi Istibsyaroh adalah hal paling penting yang berpengaruh dalam perjalanan karirnya. Keluarganya memiliki prinsip rantai ke bawah, yaitu kakak membantu adiknya, dan adiknya membantu adiknya hingga seterusnya.

Penerapan prinsip ini sudah ia dan saudara-saudaranya lakukan sejak sang ayah masih hidup. Ia juga masih ingat betul, bahwa dari dulu ibunya tak pernah berhenti untuk terus meminta anak-anaknya agar selalu rajin belajar dan melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Berhentinya dari kegiatan politik dan akademik, tidak menyurutkan semangat Istibsyaroh dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Karir di masa tua yang masih ia jalani hingga saat ini adalah menjadi ketua di STIT al-Urwathul Wutsqa, Bulurejo, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Ia turut menemani sang kakak, Kiai Muhammadu Yaqub untuk mengasuh pondok pesantren Al Urwathul Wustqa, Jombang.

Kegiatan rutinitas Istibsyaroh yaitu mengisi ceramah dan majelis ta’lim. Perannya di masyarakat masih begitu masif ia lakukan meski kini usianya sudah tidak muda lagi. Meskipun kesehatannya mulai sering berubah bagai cuaca yang sering berganti-ganti. Namun, hal yang barangkali dapat kita tiru darinya adalah menjadi seorang perempuan dengan versi kita sendiri.

Baginya, privilage bukan satu-satunya hal yang menjadi faktor penentu kesuksesan manusia. Bahkan walaupun jika ia tidak lahir dari keturunan Kiai ia akan tetap menempuh pendidikannya sendiri meski dengan terseok-seok. Nikmat yang luar biasa yang ia dapatkan tidak hanya lahir dan besar di lingkungan pesantren yang mendukung perempuan berkarir, namun semangat dalam diri sendirilah yang terus menyala.

Hak Sosial Politik Perempuan

Faktor utama yang banyak mempengaruhi nalar kritisnya sebagai akademisi dan ulama perempuan selain pendidikan formal  adalah pengalamannya. Di mana ia bersinggungan dengan beragam aspek kehidupan. Terutama pengalamannya sebagai perempuan yang hidup di pesantren dan akademisi.

Hal itu bisa kita lihat dari berbagai perenungannya yang tertuang dalam buku Konsep Relasi Gender dalam Tafsir Al-Sya’rawi dan  Hak-Hak Perempuan Relasi Gender. Kedua buku tersebut berbicara tentang perempuan dan kepemimpinan. Menurut Istibsyaroh kepemimpinan perempuan harus kita awali dari bagaimana perempuan mendapatkan hak mereka.

Hak perempuan, dalam pandangan Profesor Istibsyaroh terbagi menjadi dua, yaitu hak pribadi perempuan dan hak sosial politik. Dua konsentrasi hak bagi perempuan ini menjadi modal utama dalam hal kesetaraan dan keadilan perempuan.

Karakter, akhlak, skill, kapasitas yang mumpuni seseorang, baik laki-laki maupun perempuan merupakan modal utama bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan harus memiliki keyakinan kuat, kepercayaan diri penuh, dan integritas tinggi.  

Bagi Istibsyaroh, selain memiliki integritas tinggi seorang perempuan haruslah berdaya. Berdaya untuk diri sendiri merupakan hal yang harus selesai sebelum hal lain dikerjakan. Menurutnya, berdaya adalah ketika seorang perempuan mendapatkan hak pribadi yang dimiliki perempuan sendiri tanpa campur tangan dari pihak-pihak lain atau orang lain tidak ikut menentukannya.

Hak Pribadi Perempuan

Adapun hak pribadi seorang peremuan yaitu; Hak hidup, hak memperoleh pendidikan, hak waris, hak memperoleh  balasan dari perbuatan, hak hijab, dan hak dalam pernikahan. Di antaranya: hak memilih pasangan, hak mendapatkan maskawin (mahar), hak menjadi istri, hak talak, dan hak masa ‘Iddah.

Selain hak pribadi, perempuan juga harus memiliki hak sosial politik. Hak sosial dan politik bagi perempuan menurut Istibsyaroh adalah hak yang berhubungan dengan perilaku di masyarakat. Yaitu pertama hak kemanusiaan.

Laki-laki dan perempuan Allah muliakan karena mereka berasal dari diri yang satu, penciptaan yang sama dan tujuan penciptaan yang sama, yaitu, “Khalifah fil Ard.” Kedua,  hak bekerja di luar rumah, dalam hal ini Istibsyaroh berpandangan bahwa Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua komponen yang saling komplementer (melengkapi).

Dalam hal bekerja, sejak zaman nabi sudah ada contoh perempuan yang bekerja di luar rumah, seperti Ummu Salim dan Khadijah binti Khuwailid. Ketiga, hak sebagai saksi, menurut Istibsyaroh sangatlah tidak benar apabila menyatakan akal perempuan setengah, sehingga persaksiannya harus dua banding satu, saksi dua perempuan sebanding dengan satu laki-laki. 

Keempat, hak berpolitik  bagi perempuan. Seharusnya, perempuan menjadi wajib sebagai pemeran di dunia politik, karena untuk memutuskan kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan untuk perempuan, seharusnya melibatkan perempuan dengan sekian pengalamannya. []

 

Tags: GenderHak PerempuanJaringan KUPIkeadilanKesetaraanKupiProfesor Istibsyarohulama perempuan
Hotimah Novitasari

Hotimah Novitasari

Penulis "Imperfect Muslimah" & aktivis pegiat Studi Gender UIN Sunan Ampel Surabaya

Terkait Posts

Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

30 Mei 2025
Al-Ḥayā’

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

29 Mei 2025
Merariq Kodek

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

28 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jilbab

    Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID