Mubadalah.id – Sebagai pengguna media sosial aktif, saya acap kali ‘gerah’ dengan banyaknya artikel bodong jurnalisme seksis yang berseliweran di timeline saya. Bukan hanya karena judulnya yang menjebak atau tidak relevan sama sekali dengan konten, tapi juga dalam banyak kesempatan masih kerap memperlihatkan jurnalisme seksis, melanggengkan budaya patriarki dan memarjinalkan perempuan.
Terlebih dengan persaingan media online masa kini, banyak media akhirnya lebih mengutamakan judul-judul artikel clickbait untuk mengejar peringkat Alexa semata. Tak heran, postingan dari akun-akun ‘kejar setoran’ terus menerus membombardir kita dengan gaya tulisan asal jadi, jurnalisme seksis dan tanpa mementingkan materi serta data berkualitas. Seperti apa yang dipublikasikan oleh akun Detikcom mengenai kehidupan istri vokalis Jerinx ‘Superman Is Dead’, Nora Alexandra.
Alih-alih mengupas kisah bisnis atau cerita positifnya sebagai selebgram dan tokoh publik, media online tersebut justru mempertanyakan kehidupan seks perempuan blasteran Swiss-Indonesia itu usai suaminya dijatuhi hukuman penjara. Yang lebih parah, ketika Nora memprotes pemberitaan dirinya, penulis berita dengan entengnya bertanya: kesalahan apa yang ia lakukan? Dan menganggap ia tak melakukan kekeliruan apapun.
Hedeeeh…
Tak hanya Nora yang keberatan, sebagai perempuan yang membaca berita ‘sampah’ jurnalisme seksis ini, saya juga ikut dibuat geregetan. Bagaimana tidak? Penulisan dengan perspektif ‘seks adalah segalanya’ akan memicu lebih banyak postingan bernada sama. Perempuan pun akan semakin terpojokkan dengan stigma sebagai objek seksual yang bisa diperlakukan semena-mena.
Apalagi kehidupan seks sejatinya adalah hal personal dan ‘urusan dapur’ tiap rumah tangga yang tidak perlu diketahui publik. Terlepas apapun statusnya, termasuk sebagai figur terkenal, Nora juga berhak dihormati atas persoalan pribadinya, tanpa campur tangan siapapun. Terlebih, penulisan artikel yang memuat dirinya, dilakukan tanpa ada proses wawancara terlebih dahulu, atau hanya berdasarkan pengamatan akun Instagram semata. Tentu, hal ini jauh dari objektif serta tidak mengedepankan kode etik jurnalisme.
Meski kemudian akun Detikcom akhirnya meminta maaf, itu tak lantas membuat konotasi pemberitaan media massa akan jauh lebih baik. Bahkan bisa dikatakan, perjalanan untuk melawan jurnalisme seksis ini masih panjang. Selain karena banyak wartawan berjibaku dengan traffic media sosial yang amat kompetitif, budaya negatif patriarki yang memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua dan erat kaitannya dengan seks juga turut mendukung derasnya berita berbau misoginis di timeline kita.
Tidak hanya berkaitan dengan hal-hal berbau seks saja, narasi tindakan kekerasan terhadap perempuan di media juga kerap memojokkan korban. Pada kasus perkosaan misalnya, alih-alih membangun simpati kepada korban, framing media justru memaknai kasus perkosaan sebagai persoalan individual korban dan keluarga. Alur penceritaan juga ditulis layaknya kisah sinetron yang semakin melanggengkan rape culture/budaya perkosaan.
Dalam banyak artikel, narasi perkosaan ditulis dengan gaya sensasional dan dramatis. Bumbu lain yang menyedihkan adalah, narasi yang dikonstruksi mengarah pada victim blaming atau korban dideskripsikan sedemikian rupa seolah menjadi penyebab utama tindak kekerasan seksual yang mereka alami. Oleh karenanya, dalam pemberitaan kita akan mudah menemui detail pakaian korban dan lingkungan kejadian yang menggiring opini publik bahwa apa yang dikenakan dan dilakukan perempuan merupakan sumber permasalahan.
Bahkan, sekalipun terjadi kekerasan, perempuan diperspektifkan sebagai pihak yang bertanggungjawab karena dianggap terlalu menggoda sehingga lelaki berhak memperkosanya. Penggunaan alur berkisah dengan metode berulang/repetisi dengan pilihan bahasa sensasional yang cenderung vulgar juga sering dipilih dalam penyajian berita jurnalisme seksis.
Tidak sampai disitu saja, narasi yang buruk oleh media kemudian diperparah dengan penambahan ilustrasi dan foto yang tidak relevan: dari perempuan berbaju terbuka atau terkadang foto artis asal comot, dengan alasan untuk menarik perhatian pembaca.
Di sini terlihat bahwa banyak wartawan yang masih abai terhadap pesan yang dibangun dalam berita. Mereka cenderung mementingkan pasar dengan menulis isu-isu terbatas dan instan, tanpa memperhatikan nilai-nilai etik jurnalisme. Tak heran judul artikel yang ditulis pun lebih banyak bernada sensasional atau sadisme.
Melihat kondisi ini, kita tentu turut prihatin. Namun hal itu tentu saja tak cukup! Melawan jurnalisme seksis membutuhkan usaha bersama. Lalu, bagaimana caranya? Plis, mulai sekarang mari berhenti mengikuti akun-akun media tersebut. Jika kalian menemukan artikel-artikel ‘kurang gizi’ dengan ciri seperti di atas, langsung tinggalkan dan hindari meng-klik atau menyebarkan link beritanya.
Sebab, semakin banyak engagement yang mereka dapat, semakin subur pula artikel dengan gaya penceritaan sama. Dan, jika sudah terlalu parah, kita juga bisa melakukan report akun-akun yang bersangkutan dengan beritanya. Seperti kejadian yang dialami oleh akun Detikcom kemarin, kekuatan netizen yang menyampaikan kritik keras sebagai konsumen tentu akan berpengaruh pada kebijakan redaksi.
Maka dari itu, agar jurnalisme seksis dan misoginis kian meredup, perlu upaya dua arah yang tidak hanya menekan para wartawan untuk menulis dengan perspektif baru, tapi juga sebagai konsumen kita harus semakin jeli dalam memilih berita yang kita baca. Sebab pada akhirnya keduanya berkelindan mempengaruhi satu sama lain. []