Mubadalah.id – Semuanya dibuat melempem. Luapan demonstrasi di seluruh dunia yang bak tsunami itu tak sanggup menghentikan birahi kekejaman kolonialisme Israel. Termasuk solidaritas boikot produk-produk Barat yang secara langsung atau tidak langsung menyumbang pendanaan atas birahi itu, dan yang paling belakangan bahkan setelah Afrika Selatan menariknya ke meja hijau Mahkamah Internasional.
Kemudian Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusannya 26 Januari lalu. Israel harus menghentikan segala tindakan genosidanya dan tidak boleh menghilangkan bukti sebutir debu pun tentangnya!
Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel, dan sekutu-sekutu Barat mereka tak bergeming. Mereka tetap akan melanjutkan invasi militerisme sampai mencapai “kemenangan mutlak” atas Palestina.
Tepat ketika esai ini saya tulis, tersiar kabar bahwa tank-tank masuk ke jalur selatan Gaza, Khan Youni, dan melepaskan proyektil-proyektilnya tanpa ampun ke hunian sipil hingga jadi tumpukan puing-puing. Mereka seolah-olah sedang menembaki boneka jerami sepuasnya. Tercatat bahwa sejak 7 Oktober sampai serangan gila di Khan Youni, ada 26.257 korban, dan 10.400-nya adalah anak-anak.
Kita bisa melihat tindakan Israel sebagai Zionisme,. Yaitu upaya mendirikan negara Yahudi yang sudah Tuhan janjikan di tanah Palestina ribuan tahun silam, maka mereka berhak merebutnya dengan sejelek-jeleknya cara atas nama Tuhan; atau fasisme.
Yakni suatu sistem politik kebangsaan terlampau nasionalis dan kerap melegalkan kekerasan atas bangsa lain sebagai bentuk swasuperioritas; atau kolonialisme. Yakni hasrat mengusai bangsa lain agar bisa mereka miliki, lalu memanfaatkannya, dan mereka perlakukan semaunya. Semua ideologi ini nyaris mensyaratkan kekerasan. Namun, yang paling tepat di antara ketiganya adalah, hemat saya, kolonialisme.
Artikel ini bertujuan untuk membuktikan bahwa penyerangan, pengusiran, dan segala macam kekerasan yang sedang Israel perbuat kini merupakan kolonialisme-patriarkis. Oleh karena itu, perspektif gender akan kita gunakan di sini untuk menguak sisi ketidakramahan gender dalam kolonialisme Israel. Kemudian saya lanjutkan dengan uraian mengapa perspektif menjadi keharusan.
Israel: Kolonialisme dan Kekerasan Gender
Dalam kolonialisme merupakan sejenis praktis dominasi atas bangsa lain yang melibatkan penjajahan. Sebelum abad modern, kolonialisme mereka lakukan dengan cara mencaplok wilayah-wilayah di sekitar, lalu menempatkan penduduknya di sana.
Ketika ada penemuan navigasi yang mengarahkan pada tempat-tempat terjauh, transportasi laut yang mengangkut banyak orang, dan kontrol politik lintas geografis, kolonialisme Eropa modern mereka mulai. Pada perkembangannya kolonialisme terkenal sebagai “bentuk penjajahan yang mereka harapkan menguntungkan secara ekonomis dan strategis bagi Eropa (Kohn & Reddy, 2023).
Nyaris seluruh dunia pernah Eropa jajah sejak 1914. Hanya Thailand, Korea, dan Jepang yang tidak pernah mereka jajah. Kolonialisme modern Portugal mulai ketika menaklukkan satu wilayah di Afrika Utara pada 1415. Portugal membangun kerajaan yang bertahan hingga di penghujung abad 20.
Ini memotivasi Spanyol untuk juga menjelajah ke luar Eropa. Dua negara ini pun tanpa sengaja memotivasi seluruh Eropa turut bersaing memperluas wilayah sejauh-jauhnya. Termasuk merebut berbagai wilayah jajahan milik Portugal dan Spanyol (Blakemore, 2023).
Menilik Kolonialisme Modern
Kolonialisme modern ini tertandai tiga hal berikut; pertama, anggapan bahwa dirinya (kolonial) sebagai yang superior dan pribumi (objek koloni) sebagai yang inferior. Bisa atas dasar ras, agama, ideologi, atau teknologi. Kedua, penaklukkan lewat kekerasan dan intimidasi, dalam bentuk yang paling ekstrem berupa “pembabatan habis” pribumi. Ketiga, klaim sepihak atas tanah koloni. Sehingga dengan begitu mereka dapat membangun tempat tinggal atau sistem politik yang membuat tanah itu bergantung pada kolonial.
Israel memiliki semua tanda itu. Pertama, swasuperioritas bisa kita lihat dari bagaimana Netanyahu tidak mengacuhkan perhatian internasional. Bahkan secara terbuka menyatakan akan terus melanjutkan invasi militer membabi buta itu.
Tentu sikap ini berpijak di atas dukungan penuh negara-negara gigantik Barat seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan Prancis. Tidak mungkin penaklukkan, invasi, dan semacamnya terjadi, tanpa mensyaratkan diri yang lebih adidaya atas yang lain.
Dengan adanya dukungan Barat, penyematan kolonialisme semakin tepat. Bisa kita katakan penjajahan Israel terhadap Palestina merupakan upaya Barat melanjutkan kolonialisme di abad-abad sebelumnya ke bangsa-bangsa di luar Barat.
Oleh sebab ini kolonialisme, maka dukungan Barat tidak bisa kita artikan sebagai sebentuk “tanggung jawab moral”—yang sesat— tapi meraup keuntungan ekonomi dan strategis. Satunya-satunya negara yang pantas melakukan bentuk tanggung jawab itu adalah Jerman. Paling tidak lantaran Holokaus, pembantaian jutaan Yahudi di tangan Nazi.
Kedua, Israel mengambil varian paling ekstrem dari invasi, yaitu genosida. Mengisolasi Palestina dari luar dan mencakar-cakar mereka tanpa ampun di dalam. Seperti mencacah-cacah buah dalam blender, melarang bantuan dari luar, menutup akses air, listrik, dan pangan, menyerang rumah sakit, hunian, dan siapa saja yang mereka kehendaki.
Ketiga, tanah yang Israel akuisisi kian melebar seiring sengitnya militerisme. Sementara Palestina kian terimpit, tak akan lama barangkali habis. Klaim kepemilikan sepihan dan perluasan Israel telah ada sejak Nakba pada 1948, penghancuran dan pengusiran ratusan ribu penduduk Palestina dari tanah airnya.
Kolonialisme dan Bias Patriarki
Perlu buru-buru saya tambahkan bahwa kolonialisme tidak lepas dari bias patriarki. Sehingga dengan demikian, apa yang terjadi di Palestina sesungguhnya adalah kekerasan gender pula. Diskriminasi dan subordinasi pada perempuan. Patriarki secara ontologis memandang perempuan sebagai liyan atau the other, kata Simone de Beauvoir.
Artinya, keberadaannya tidak ada beda dengan benda-benda. Pada dirinya tidak pernah “memiliki substansi”. Ia adalah objek yang terkonstruksi oleh fantasi laki-laki, sebagai subjek, mengenai feminitas. Artinya “perempuan sejati” ialah hidup berdasarkan alur fantasi laki-laki.
Keberadaan perempuan yang adalah the other melahirkan bentuk kekerasan ideologis dalam kolonialisme. Pertama, bahwa perempuan dianggap mempunya pengalaman “korban” yang tidak perlu kita perhitungkan secara khusus ketimbang laki-laki. Celakanya perempuan tidak bisa mengungkapkan pengalamannya itu secara mandiri. Sebab, di tanah yang dicengkeram oleh kolonialisme, semua corong ekspresi dan tindakan tertutup kecuali melalui fantasi kolonial perihal objek-objek jajahannya. Ini turunan dari analisis de Beauvoir.
UN Women melaporkan bahwa tujuh puluh persen dari angka korban adalah anak-anak dan perempuan; 951.490 anak-anak dan perempuan kehilangan rumah, 10.000 lebih dari anak-anak kehilangan ayah, 3.000 ibu lebih menjadi janda dan mau tidak mau tulang punggung keluarga. Lebih mengerikannya lagi setiap satu jam 2 ibu terbunuh. Dalam laporan lain, ditambah 7 wanita setiap 2 jam, ada 50.000 perempuan hamil dan lima persennya akan melahirkan di bulan Februari ini.
Pengalaman Spesifik Perempuan
Nurani siapa pun dapat membayangkan akan betapa beratnya hamil di tengah akses kebutuhan dasar disendat, rumah sakit dirobohkan, dan begitu banyak tenaga kesehatan yang tewas karena kelelahan. Bayangkan saja bagaimana mereka harus merawat bayi sebelum melahirkan.
Bagaimana mereka melahirkan tanpa berada di fasilitas kesehatan memadai, dan bagaimana mereka terus berada dalam keadaan dilema mematikan apakah akan melanjutkan hidup atau menyerahkannya pada sang anak di hadapan segala keterbatasan sumber daya.
Penjajahan Israel yang tak kenal lelah itu memberikan pengalaman-pengalaman spesifik bagi perempuan yang tidak dapat ditimbang dengan laki-laki atau sampai hendak tidak kita perhitungkan sama sekali. Seperti tercatat ada puluhan ribu ibu hamil, dan ada banyak dari mereka yang melahirkan dengan cara C-Section, namun tanpa anestesia. Unicef mencatat sejak 7 Okterber ada 20.000 ribu bayi lahir, dan mereka lahir dari persalinan yang penuh bahaya dan jauh dari kata higienis.
Para wanita yang menstruasi dengan pilihan yang amat berisiko infeksi dan sindrom syok toksik menggunakan potongan kain tenda dan pakai untuk alternatif tampon. Mereka yang menstruasi memiliki kesulitan akses terhadap air mengalir dan toilet yang merupakan kebutuhan dasar mereka. Satu toilet di sana dipakai empat ratus lebih orang. Menstruasi yang bersih sulit mereka lakukan. Dampaknya, membahayakan keselamatan nyawa mereka. Pengalaman spesifik ini tidak akan pernah Israel pedulikan.
Mengapa Perlu Perspektif Gender?
Seusai menghadirkan pembacaan di atas, kita bisa melihat sekarang bahwa apa yang terjadi pada Palestina adalah sebentuk kolonialisme yang patriarkis. Sarat kekejaman pada para ibu dan wanita, yang membuat mereka, sebagai korban, merasakan kesengsaraan berkali-kali lipat ketimbang laki-laki. Akan tetapi, apa signifikasi pembacaan ini dibandingkan pembacaan lain yang lebih universal, seperti hak hidup, anti-kolonialisme, dan seterusnya?
Pembacaan demikian menjadi penting. Pertama, setidaknya bagi para pengkaji gender itu sendiri, kaum feminis, bahwa jika memang menghendaki dunia yang bebas dari segala jenis ketimpangan berbasis gender, mereka harus memperluas wilayah tuntutan mereka.
Artinya, ada banyak praktik-praktik dominasi yang melibatkan kekerasan gender. Kaum feminis perlu melakukan eksplorasi ke situ. Kajian-kajian kolonialisme dan gender sudah sebenarnya cukup banyak. Namun sayangnya belum jadi perhatian utama gerakan feminisme.
Menurut Nancy Fraser (2023), penyebabnya, setelah kapitalisme merombak diri, yaitu menjadi apa yang kita sebut hari ini dengan kapitalisme neoliberal, feminisme berhadapan dengan dua model masa depan ambivalen.
Emansipasi gender yang mengutamakan demokrasi partisipatif dan solidaritas sosial, atau yang mengutamakan otonomi individu dan kemajuan meritokrasi. Dan feminisme mengakhiri ambivalensi ini dengan memilih yang kedua. Feminisme macam ini bisa kita sebut feminisme liberal, dan menjadi gerakan feminisme arus utama hari-hari ini.
Feminisme Liberal
Najwa Shihab ialah representasi feminilisme liberal paling mudah kita temukan di sekitar kita. Anda bisa menyimak pembicaraannya di YouTube, misalnya “Kenapa Harus Memilih, Perempuan.” “Apakah Harus Lengkap Segalanya?” dan “Dari Perempuan untuk Perempuan” Di semua video itu Najwa hanya membicarakan perempuan sekitar dilema ibu antara rumah dan kerja. Upah minim dan sulitnya promosi di dunia kerja. Sinisme laki-laki pada perempuan, dan sisanya ajakan buat bersolidaritas mengatasi masalah itu.
Feminisme model ini seolah mengerucutkan perempuan hanya pada persoalan identitas dan meritokrasi yang sebenarnya hanya menimpa perempuan kelas menengah seperti Najwa (dengan ‘n’ kecil). Sementara persoalan ketimpangan gender yang sebetulnya beragam dan kompleks tertelan bumi.
Tentu ini sudah bagus, namun tidak cukup untuk mengemansipasi perempuan seutuhnya. Feminisme perlu ikut andil dalam perjuangan anti-kolonialisme. Sebab, seperti saya paparkan sebelumnya, dalam setiap kolonialisme ada ketimpangan gender.
Jika feminisme bersikukuh pada keliberalannya itu, maka ia akan jatuh dalam gerakan sosial yang tertutup dan paradoks. Tertutup berarti terpisah dari solidaritas sosial universal, dan paradoks berarti, meskipun mengampanyekan keadilan sosial di domain tertentu di satu sisi, namun di sisi lain mendukung praktik dominasi sosial di domain.
Hal ini terjadi pada Angela Reyner. Ia mendapat kritik keras di acara penggalangan dana Partai Buruh karena mendukung genosida Palestina, dari seorang perempuan yang duduk di bangku peserta.
Angela Rayner merupakan Wakil Anggota Perlemen Buruh. Berikut kutipan langsung kritik itu:
“Can I just say, Angela Rayner, if you count yourself as a feminist, what kind of a feminist are you? 15.000 women and childern are dead, Agela Rayner, and you tell yourself as a modern-day feminist? I dont think so. Women having to use scraps, tents, four sanitary towels. Wher’s your voice, Angela? Call yoursell as feminist? …. You had to cange to vote on casefire bill. You abstained.”
Kritik ini bisa kita tonton di “Labour MP Callenged Over Gaza Stance” yang Middle East Eye laporkan di akun Instagram-nya.
Pengalaman Khas Perempuan Palestina
Signifikasi kedua dari pembacaan gender ini yaitu menyadari bahwa perempuan Palestina mengalami pengalaman korban berbeda dan lebih berat, dan itu tidak akan terlihat jika menggunakan kaca mata umum (common sense). Kesadaran itu menuntut respons-respons berbeda. Setidaknya dalam dukungan sumber daya, misalnya, untuk Palestina, perlu ditambahkan materi baru selain air, makanan, dan obat-obatan, dan perangkat tidur yaitu tampon dan pembalut.
Mungkin terasa akan agak ganjil kita melihat di media sosial, misalnya, kapal laut membawa ratusan ribu produk tampon dan pembalut sekali pakai ke Palestina. Namun, terlepas dari perasaan ganjil, “sekadar” tampon atau pembalut akan lebih menjamin mereka selamat dari infeksi dan sindrom syok toksik.
Tentu sekadar piranti penyerap menstruasi ini tidak cukup, hal lain yang mereka butuhkan, seperti toilet gampang diakses dan air bersih mengalir. Akan tetapi, jenis bantuan apa pun pada akhirnya akan bertemu jalan buntu. Bisa karena kehabisan sumber daya atau tertutupnya akses penyaluran seperti Israel perbuat hari ini, mengisolasi Palestina dari luar.
Untuk mengakhiri segala penderitaan perempuan Palestina segera, yang harus kita tuntut adalah kemerdekaan Palestina, dan ini juga harus dituntut oleh feminis. Tanpa perjuangan untuk kemerdekaan Palestina secara langsung. Dengan demikian penolakan kolonialisme, semua kebaikan kita buat mereka akan sia-sia.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan seruan yang paling keras dan empatik, namun paling tidak didengar di negeri-negeri yang menyebut diri paling modern, maju, dan cagak kemanusiaan hari ini:
Israel and USA
How many kids did you kill today?
Netanyahu you can’t hide
You committing genocide
From the river to the sea,
Palestine will be free. []
*)Saya berhutang banyak balas budi pada teman sekelas saya, Devananta Rizqi Rafiq, yang telah bersedia memberikan banyak kritik berharga dan bersedia buat dintervensi kesibukannya untuk tulisan ini.