• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menikah di Usia Anak dan Trauma Melahirkan; Sebuah Refleksi

Di Indonesia sendiri, pernikahan anak termasuk salah satu isu yang masih menjadi pembicaraan banyak kalangan.

Nuraini Chaniago Nuraini Chaniago
13/01/2025
in Personal
0
Menikah di Usia Anak

Menikah di Usia Anak

596
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Saya merasakan betul bagaimana beratnya menikah di usia anak, melahirkan dalam kondisi pendarahan hebat, hingga membuat saya trauma untuk memiliki anak kembali saat ini. Kejadian tersebut benar-benar menghantui saya sampai sekarang. Satu sisi, hal demikian menjadi penyesalan bagi saya, namun di sisi lain, saya sadar, saya hanya bisa menerima semua itu, toh, udah terjadi jugakan? Satu hal yang pasti, ini akan saya jadikan pelajaran untuk ikut mengedukasi para anak-anak perempuan di luar sana, bahwa dampak dari pernikahan anak sungguh tidak sebercanda itu.”

Mubadalah.id – Ujaran di atas merupakan milik salah seorang teman perempuan saya di sela-sela diskusi santai kami via media sosial beberapa waktu lalu. Ia membagikan sedikit pengalamannya sebagai seorang perempuan yang menjadi korban pernikahan anak dari lingkungan keluarganya sendiri. Orang tua memaksanya untuk menikah di usianya yang masih delapan belas tahun. Usia yang tentunya sangat rentan dalam sebuah pernikahan.

Ia hanya bisa manut dengan semua keputusan keluarga tanpa ia sendiri mengerti dampak dari semua itu. Ketika itu, ia sendiri mengaku belum memiliki pengetahuan dan literasi tentang dampak pernikahan anak pada spikologis perempuan. Hingga ia sendiri mengalami pendarahan hebat ketika melahirkan yang berujung pada rasa trauma yang ia bawa sampai titik ini.

Tak jauh berbeda dengan kasus di atas, sepupu teman saya juga mengalami hal yang serupa. Ia memilih menikah di usia anak, karena kondisi perekonomian keluarga yang tidak memadai. Sehingga menikah di usia anak adalah pilihan terbaik menurut ia dan keluarganya. Alasannya adalah untuk meringankan beban keluarga, terutama orang tua.

Bahkan, kasus tersebut juga terjadi di keluarga saya sendiri, dua orang sepupu perempuan saya memilih menikah di usia anak. Bahkan satu di antaranya belum menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya. Walaupun keduanya memilih menikah atas dasar kemauan mereka sendiri.

Mereka mengatakan tak sanggup untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena sudah lelah belajar ketika di sekolah selama ini, meskipun secara ekonomi keluarganya mampu untuk membiayai pendidikan mereka lebih lanjut.

Baca Juga:

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

Melihat Lebih Dekat Dampak dari Pernikahan Anak

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

Laki-laki Harus Bertanggung Jawab terhadap Anak Biologis yang Lahir di Luar Nikah: Perspektif Maqasid Syari’ah

Fenomena Gunung Es

Ini hanya beberapa kasus yang saya temui, dari banyaknya kasus-kasus pernikahan anak yang terjadi di negeri ini. Sungguh bagai fenomena gunung es yang membuat kita prihatin. Di mana usia anak adalah usia yang mestinya mereka habiskan untuk belajar banyak hal, meningkatkan kualitas diri, dan mencari pengalaman yang lebih luas. Bukan menikah di usia anak yang akan memiliki anak tanpa sadar bagaimana dampaknya untuk kesehatan reproduksi perempuan itu sendiri.

Di Indonesia sendiri, pernikahan anak termasuk salah satu isu yang masih menjadi pembicaraan banyak kalangan. Apalagi belakangan ini, viral sebuah pernikahan anak yang dilakukan oleh keluarga public figure. Di mana pernikahan anak mereka normalisasi menjadi suatu pemandangan yang seolah mengisyaratkan untuk dicontoh generasi muda agar tidak terjebak kepada zina. Indonesia menepati posisi kesepuluh sebagai negara dengan jumlah pengantin anak terbanyak di dunia.

Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki aturan batas minimal seorang anak perempuan diperbolehkan untuk menikah, yaitu umur sembilan belas tahun. Langkah pemerintah ini perlu kita apresiasi. Jangan sampai kita seperti negara India, yang kasus pernikahan anaknya menempati posisi pertama di dunia, sehingga mengakibatkan anak perempuan kehilangan hak mereka untuk memiliki pendidikan, dan lain sebagainya.

Namun, adanya aturan tentang batas usia anak untuk menikah, nyatanya belum mampu mencegah masyarakat Indonesia untuk tidak melakukannya. Tetapi, untuk membiarkan hal tersebut tidak terjadi dengan begitu saja, juga merupakan solusi yang baik. Maka, keterlibatan kita semua, baik secara individu maupun kolektif sangatlah kita perlukan, agar jumlah pengantin anak tidak semakin meningkat, apalagi dengan legitimasi menghindari zina.

Menghindari Zina dan Pengantin Anak

Lestarinya anggapan masyarakat tentang sebuah pernikahan anak lebih baik dari pada berbuat zina adalah salah satu faktor yang juga mempengaruhi tingginya tingkat pengantin anak di negeri ini. Seolah-olah dengan menikahkan anak di usia anak adalah jalan penyelamatan orang tua serta anak dari nerakaNya.

Faktanya, hal tersebut bukanlah solusi tepat untuk menghindari zina. Terlebih tanpa melihat dampak lain terhadap kondisi mental anak, terutama perempuan, karena anak perempuan lebih rentan terhadap adanya pernikahan anak tersebut.

Anggapan bahwa anak perempuan yang sudah mampu melakukan pekerjaan domestik, berarti ia sudah siap untuk menjadi ibu rumah tangga. Sehingga para anak perempuan dua kali lebih rentan terhadap resiko kematian. Biasanya, pernikahan anak ini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan dengan berbagai faktornya.

Terlebih jika kita bandingkan dengan anak-anak di perkotaaan yang sudah memiliki akses untuk mengetahui perihal edukasi dan sebagainya, daripada daerah pedesaan yang masih minim akses untuk mengetahui itu semua.

Untuk itu, dukungan kita bersama sangatlah kita perlukan untuk mencegah agar pernikahan anak tidak terus terjadi. Lalu, apa yang bisa kita lakukan. Pertama, pemerintah dan keluarga harus mendorong anak-anak dengan memberikan batas usia minimal pernikahan serta pendidikan formal yang wajib anak selesaikan sebelum pada akhirnya nanti mereka menikah.

Kedua, mensosialisasikan serta memberikan edukasi tentang pendidikan seks kepada anak-anak sejak dini, hingga anak-anak memiliki pemahaman tentang kondisi perkembangan tubuh mereka, serta resiko dari apa yang mereka lakukan.

Ketiga, Tidak menormalisasi dispensasi anak untuk melakukan pernikahan anak, meskipun umurnya belum memenuhi ketentuan hukum. Keempat, berhenti melegitimasi ajaran agama untuk melanggengkan pernikahan anak, dengan dalih lebih baik nikah dari pada berzina, karena itu menambah masalah baru bukan sebaliknya.

Terakhir, menerapkan kesetaraan gender pada anak, bahwa anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, adalah sama-sama manusia utuh yang harus kita berikan hak dan aksesnya untuk dimanusiakan, baik di ranah publik maupun domestik. []

           

 

           

           

 

 

Tags: Dispensasi PerkawinanMenikah di Usia Anakperkawinan anakpernikahan anakzina
Nuraini Chaniago

Nuraini Chaniago

Writer/Duta Damai Sumatera Barat

Terkait Posts

Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Difabel di Dunia Kerja

Menjemput Rezeki Tanpa Diskriminasi: Cara Islam Memandang Difabel di Dunia Kerja

30 Mei 2025
Memahami AI

Memahami Dasar Logika AI: Bagaimana Cara AI Menjawab Permintaan Kita?

30 Mei 2025
Kehendak Ilahi

Kehendak Ilahi Terdengar Saat Jiwa Menjadi Hening: Merefleksikan Noble Silence dalam Perspektif Katolik

29 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • IUD

    Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID