Mubadalah.id – Media sosial hari ini telah menjadi teman yang akrab bagi manusia untuk menceritakan apa saja. Dari kabar pribadi, gosip selebritas, hingga isu-isu sosial, semua mendapat ruang dan perhatian. Salah satu tema yang kerap mencuri perhatian warganet atau netizen adalah kisah tentang penyandang disabilitas.
Kita sering melihat video tentang seorang difabel yang tetap berjualan di jalan meski keterbatasan fisiknya, atau seorang anak dengan kursi roda yang tetap bersemangat bersekolah. Konten semacam ini hampir selalu viral, mengundang ribuan komentar haru, dan penuh dengan pujian untuk sang pembuat konten yang dianggap berhati mulia karena menolong.
Namun, di banyaknya likes dan share itu, ada pertanyaan yang jarang diajukan, seperti apakah benar konten ini memberdayakan difabel, atau justru sekadar menjadikan mereka bahan tontonan penuh rasa kasihan? Pertanyaan ini kemudian saya refleksikan ketika berdiskusi dengan Ainun Chomsun dalam Webinar Konsolidasi Online yang dilakukan Jum’at (20/9).
Difabel sebagai Objek Belas Kasihan
Banyak konten difabel yang lahir dari paradigma charity base. Dalam hal ini, difabel kita pandang terutama sebagai pihak yang kekurangan dan membutuhkan bantuan. Maka, kamera terarahkan pada tubuh mereka, pada kesulitan yang mereka hadapi, pada adegan memilukan yang bisa menimbulkan empati instan warganet.
Lalu, di akhir video, muncul adegan seseorang memberi uang, kursi roda, atau makanan. Penonton pun merasa puas, karena telah ikut “beramal” hanya dengan menyaksikan atau menyebarkan video itu.
Paradigma charity base ini memiliki beberapa masalah serius. Pertama, ia membangun relasi yang timpang, karena ada pihak pemberi yang terposisikan sebagai pahlawan, dan ada pihak penerima yang tergambarkan tidak berdaya.
Hubungan semacam ini menciptakan hierarki, yang satu mulia karena menolong, yang lain hina karena harus kita tolong. Kedua, charity base tidak menyentuh akar persoalan. Konten yang dibuat mungkin membantu secara sesaat, tetapi tidak mendorong perubahan struktural yang lebih luas. Kemudian, difabel tetap kita pandang sebagai beban sosial, bukan bagian persoalan dari masyarakat.
Lebih jauh lagi, paradigma ini kerap mengeksploitasi kerentanan. Difabel sering kali tidak terlibat dalam proses pembuatan konten. Mereka tidak punya kuasa untuk menentukan bagaimana kisah mereka terpotret, diedit, dan tersebarkan.
Dan lebih parahnya lagi, mengenai konsen, atau persetujuan seseorang untuk difoto atau divideo. Akibatnya, narasi yang muncul di ruang publik tidak selalu sesuai dengan kenyataan atau keinginan mereka, melainkan hanya sesuai dengan selera pembuat konten dan kebutuhan pasar emosi audiens di sosial media.
Difabel sebagai Subjek Setara
Sebaliknya, paradigma humanity base menawarkan cara pandang yang lebih setara dan membebaskan. Humanity base menekankan bahwa difabel, pertama-tama, adalah manusia dengan martabat, potensi, dan hak yang sama dengan siapa pun. Mereka bukan objek belas kasihan, melainkan subjek penuh yang layak kita hargai, kita dengar, dan kita libatkan.
Dalam pendekatan humanity base, konten tentang difabel tidak kita buat untuk menimbulkan rasa iba, melainkan untuk menegaskan nilai kemanusiaan. Alih-alih mengangkat kisah seorang difabel yang “tetap berjuang meski cacat,” media bisa menyorot kreativitasnya dalam berwirausaha, gagasannya tentang kemandirian ekonomi, atau perannya dalam komunitas. Fokusnya bukan pada keterbatasan, melainkan pada kapasitas. Dengan begitu, narasi yang terbangun tidak merendahkan, melainkan menguatkan.
Perubahan paradigma ini juga menuntut praktik etis dalam produksi konten. Difabel harus kita libatkan dalam setiap tahap, mulai dari menentukan cerita, menyetujui penggunaan gambar, hingga memastikan pesan yang tersampaikan tidak mendiskreditkan mereka. Dengan kata lain, difabel tidak lagi kita perlakukan sebagai objek yang kita ceritakan, melainkan sebagai narrator atau pembuat dari kisahnya sendiri.
Dari Eksploitasi ke Pemberdayaan
Di Indonesia, kita bisa melihat banyak kasus di mana difabel dijadikan bahan konten. Sebut saja video seorang difabel yang berjualan tisu di lampu merah.
Video ini biasanya menyorot fisik si penjual, menekankan keterbatasannya, lalu berakhir dengan adegan dramatis saat pembuat konten memberinya uang dalam jumlah besar. Video semacam ini memang mengundang simpati, tetapi secara tidak sadar justru memperkuat stigma bahwa difabel hanyalah orang yang harus dikasihani.
Bandingkan dengan konten lain yang lahir dari paradigma humanity base. Misalnya, kisah tentang komunitas difabel yang membangun usaha bersama, atau profil seorang difabel yang menjadi aktivis lingkungan. Alih-alih membuat penonton menangis, konten semacam ini menginspirasi dengan cara yang bermartabat dengan mengajak masyarakat melihat difabel sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar objek belas kasihan.
Contoh baik juga bisa kita temukan pada beberapa film dokumenter yang melibatkan difabel sebagai sutradara atau penulis skenario. Dengan begitu, narasi yang muncul lebih otentik, karena lahir dari suara difabel sendiri. Inilah yang dimaksud dengan humanity base yaitu memberi ruang bagi difabel untuk menentukan bagaimana mereka ingin terlihat.
Dari Kasihan ke Kesadaran
Mengubah orientasi dari charity base ke humanity base bukan hanya soal etika dalam produksi konten, melainkan juga soal dampak sosial yang ditimbulkan. Charity base mungkin bisa memunculkan empati instan, tetapi empati itu mudah hilang dan tidak menghasilkan perubahan nyata. Humanity base, sebaliknya, menumbuhkan kesadaran sosial yang lebih mendalam.
Ketika publik melihat difabel sebagai subjek setara, mereka terdorong untuk menuntut kebijakan yang inklusif, aksesibilitas yang lebih baik, dan kesempatan kerja yang adil. Kesadaran ini jauh lebih berharga daripada sekadar air mata yang menetes setelah menonton video viral. Humanity base menggeser narasi dari “tolonglah mereka” menjadi “mari kita bangun masyarakat yang ramah difabel”.
Tentu, menggeser paradigma ini tidak mudah. Media sosial bekerja dengan logika algoritma yang sering kali mendorong konten dramatis, emosional, dan mudah viral. Konten charity base lebih cepat menyentuh emosi penonton, sehingga lebih mudah menyebar. Sedangkan konten humanity base, yang lebih reflektif dan kritis, mungkin membutuhkan strategi khusus agar tetap menarik tanpa kehilangan substansi.
Namun, bukan berarti hal ini mustahil. Banyak kreator konten mulai sadar akan isu etika terhadap difabel ini. Mereka berusaha menciptakan narasi yang lebih adil dan setara, meski belum banyak mendapat panggung besar. Dukungan dari masyarakat sangat penting untuk memperkuat tren ini. Semakin banyak orang yang menolak konten charity base, semakin besar pula peluang humanity base menjadi arus utama.
Memilih Kacamata Kemanusiaan
Pada akhirnya, isu ini mengajak kita merefleksikan kacamata yang kita gunakan ketika melihat difabel di media sosial. Apakah kita masih terjebak dalam kacamata charity base, yang menjadikan difabel sebagai bahan konten kasihan? Ataukah kita berani bergeser ke kacamata humanity base, yang menghargai mereka sebagai manusia seutuhnya?
Perubahan cara pandang ini mungkin terdengar sederhana, tetapi dampaknya sangat besar. Charity base hanya menghadirkan sensasi emosional sesaat. Sementara humanity base membuka jalan menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Difabel bukan bahan konten, bukan objek belas kasihan. Mereka adalah manusia sama seperti kita, dengan hak, mimpi, dan martabat yang harus kita junjung tinggi.
Jadi, kembali pada pertanyaan awal, menjadikan difabel bahan konten, bolehkah? Jawabannya bergantung pada cara kita memandang dan memperlakukan mereka. Jika sekadar mengeksploitasi rasa kasihan, jelas tidak boleh. Namun, jika kita lakukan dengan paradigma humanity base, dengan melibatkan difabel sebagai subjek setara, konten justru bisa menjadi sarana pemberdayaan difabel.
Sekali lagi, difabel bukan tontonan. Mereka bukan objek belas kasihan. Mereka adalah manusia seutuhnya, dan sudah seharusnya media sosial mencerminkan penghormatan pada martabat kemanusiaan. []