Mubadalah.id – Dalam kehidupan rumah tangga, relasi antara suami dan istri sering kali dipahami secara hierarkis. Suami dianggap sebagai pemegang otoritas tertinggi, sementara istri ditempatkan sebagai pihak yang wajib tunduk dan melayani.
Padahal, Islam hadir dengan semangat keadilan, kesalingan, dan kemitraan. Relasi suami istri di dalam rumah tangga bukanlah untuk mendominasi salah satu pihak, melainkan ruang kerja sama untuk mewujudkan kebahagiaan bersama.
Inilah yang ditegaskan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam karyanya Qiraah Mubadalah. Dengan metode mubadalah, teks-teks agama kita baca ulang agar tidak berhenti pada relasi sepihak. Tetapi kita pahami secara resiprokal—saling berbalas, saling menghargai, dan saling melengkapi.
Prinsip Kesalingan dalam Rumah Tangga
Metode mubadalah menekankan bahwa hubungan antara suami dan istri harus keduanya pelihara. Prinsip dasarnya adalah kerja sama, keadilan, dan penghargaan terhadap kebaikan pasangan.
Karena itu, hadits-hadits yang menganjurkan istri berterima kasih pada kebaikan suami juga berlaku sebaliknya: suami pun harus berterima kasih pada kebaikan istrinya. Bahkan, jika ia mengabaikan hal ini, ancaman neraka juga berlaku padanya (pemaknaan mubadalah dari HR. Bukhari, no. 305).
Demikian pula soal kebutuhan biologis. Nabi Muhammad Saw. menekankan pentingnya seorang istri memenuhi kebutuhan suaminya. Namun, dengan kacamata mubadalah, pesan yang sama berlaku juga bagi suami: ia wajib melayani kebutuhan biologis istrinya jika ia memintanya. (pemaknaan mubadalah dari HR. Bukhari, no. 5248).
Hal yang sama berlaku pada isu perceraian. Hadits yang melarang istri meminta cerai tanpa alasan kuat juga berlaku pada suami. Seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya tanpa alasan yang mendasar. Karena perceraian adalah pilihan terakhir yang hanya boleh jika tidak ada jalan lain (pemaknaan mubadalah dari HR. Abu Dawud, no. 2228).
Dengan demikian, inti dari relasi rumah tangga menurut mubadalah adalah kesalingan: apa yang berlaku untuk satu pihak, berlaku pula untuk pihak lain, kecuali dalam hal-hal yang secara prinsip bertentangan dengan nilai dasar keadilan dan kemitraan. []