Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya menonton sebuah video singkat di platform X (dulunya Twitter). Di antara sekian banyak konten lewat di timeline, video dengan tema difabel ini sukses membuat saya diam sejenak dan merenung cukup lama. Caption-nya sederhana, tapi nampol: “Kamu adalah seorang disabilitas ketika dunia tidak didesain untukmu.”
Dalam video tersebut, ada seorang perempuan non-disabilitas hidup di dunia yang seluruhnya tercipta untuk kebutuhan penyandang disabilitas. Mulai dari bahasa sehari-hari yang memakai bahasa isyarat, semua buku di perpustakaan menggunakan huruf Braille, dan tangga-tangga juga hanya cocok dengan pengguna kursi roda.
Alhasil, ia menjadi “minoritas”, dan semua terasa sulit. Di akhir video, tertulis kalimat penutup yang cukup manis,“Dunia terasa lebih susah kalau ia tak didesain untukmu.” Jleb banget, bukan?
Video itu membuat saya teringat pada webinar yang saya ikuti, bertajuk “Inklusi Disabilitas dalam Dunia Kerja”, bersama Dr. Bahrul Fuad, MA—atau akrab dengan sapaan Cak Fu. Dalam pemaparannya, Cak Fu menyentil realita yang sering kita abaikan: kita sering menganggap teman-teman difabel sebagai objek belas kasihan. Kita ingin “membantu”, ingin “menyantuni”, tapi lupa memberi ruang yang adil dan setara.
Padahal, disabilitas bukan hanya soal kondisi fisik. Ini soal konstruksi sosial, sebagaimana juga isu gender. Disabilitas itu konsep yang dinamis. Bahkan mata minus seperti saya juga, kalau mau jujur, masuk kategori difabel. Tapi karena lingkungan sudah “disesuaikan”, saya tidak mengalami hambatan berarti.
Masalahnya bukan pada tubuh mereka, tapi pada sikap kita dan lingkungan yang tidak ramah. Pendekatan yang keliru selama ini fokus ke rehabilitasi fisik, padahal yang perlu intervensi adalah cara pandang masyarakat. Edukasi, empati, dan aksesibilitas. Itu kuncinya.
Kegagalan Dunia Kerja Memahami Difabilitas
Dalam dunia kerja, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih kencang. Seperti kata Cak Fu, “Zaman rekoso, sing gak difabel wae susah golek kerjo, opo meneh sing difabel.” Artinya, ketika orang non-disabilitas saja kesulitan mendapatkan pekerjaan, maka teman-teman difabel akan lebih susah lagi.
Penyebabnya beragam. Misalnya, kita masih membatasi mereka dengan standar yang tidak inklusif, seperti syarat harus S1, padahal akses pendidikan tinggi untuk difabel sendiri masih sangat terbatas. Belum lagi akses ke toilet, gedung, dan transportasi umum yang sering kali belum ramah.
Aksesibilitas bukan hanya soal kuota pekerjaan, tapi juga kemudahan untuk sampai ke tempat kerja, fasilitas yang memadai, dan yang paling penting: penerimaan dari lingkungan sosial. Di sinilah pentingnya mengubah pola pikir dari “kewajiban membantu” menjadi “kewajiban mengakomodasi”.
Dalam perspektif Islam, keadilan bukan berarti memberi sama rata, melainkan memberi sesuai kebutuhan. Seperti dalam hukum zakat, yang kaya memberi kepada yang membutuhkan, bukan sebagai bentuk belas kasihan, tapi sebagai sistem keadilan sosial. Maka, dalam konteks difabel, aksesibilitas adalah bagian dari tanggung jawab sosial, bukan sekadar kebaikan hati.
Islam, dan Akses yang Martabat untuk disabilitas
Dalam webinar tersebut, Cak Fu menjelaskan, Ada lima paradigma dalam memandang disabilitas:
- Model Moral/Religius: Masyarakat menganggap disabilitas ujian atau hukuman.
- Model Amal: Pandangan tentang difabel sebagai penerima kebaikan.
- Model Medis: fokus pada “memperbaiki” fisik.
- Model Sosial: lingkungan dan sikap masyarakat adalah sumber hambatan.
- Model Berbasis Hak: disabilitas adalah bagian dari keberagaman manusia, dan setiap orang berhak atas perlakuan setara.
Nah, yang terakhir inilah yang seharusnya kita perjuangkan—rights-based model. Karena Islam pun mengajarkan hal serupa. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman bahwa yang paling mulia bukanlah yang paling “sempurna” fisiknya, tapi yang paling bertakwa. Setara di hadapan Tuhan, seharusnya juga setara di hadapan manusia.
Jadi, ketika bicara soal dunia kerja, pendidikan, transportasi, atau ruang publik lainnya—pastikan kita sedang bicara tentang dunia yang semua orang bisa mengakses dan menghuninya, termasuk teman-teman disabilitas.
Karena pada akhirnya, seperti kata Shakespeare, “tidak ada kecacatan kecuali kejahatan.” Dan salah satu bentuk kejahatan yang paling halus tapi menyakitkan adalah ketika kita menciptakan dunia yang tidak ramah bagi sebagian orang hanya karena mereka berbeda.
Semoga saja kita bisa memandang difabel dengan kacamata keadilan, serta dapat mewujudkan dunia kerja yang adil bagi difabel, sebab yang mereka butuhkan bukan kasihan, tapi kesempatan. []