Mubadalah.id – Ada banyak perempuan inspiratif di luar sana. Perempuan sukses yang memiliki kontribusi besar bagi lingkungannya. Perempuan yang berhasil menyelesaikan studi doktoral, yang berhasil meniti karir gemilang, ataupun single mother yang berjuang banting tulang demi keluarga. Namun, hanya segelintir yang diberikan akses untuk menyuarakan serta menebar motivasi dan inspirasi.
Kebanyakan, kita disuguhi dengan pemateri dan narasumber yang didominasi laki-laki, seolah perspektif perempuan dianggap tidak penting dalam menyuarakan pengetahuan. Bahkan, untuk topik keperempuanan seperti nyeri haid atau fikih darah haid, hanya menyertakan dokter atau ahli fikih laki-laki. Kondisi seperti ini dikenal dengan fenomena All-Male Panels, atau yang disingkat “manel”
Kehadiran Narasumber perempuan di pondok pesantren
Merujuk pada website Indonesia.un.org, fenomena All-Male panels kita artikan sebagai panelis yang semuanya laki-laki, yang sering menjadi praktik dalam diskusi dan seminar, terutama yang dilakukan secara publik. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh lini, bahwa perempuan jarang diikutsertakan dalam acara seminar, diskusi, motivasi. Bahkan meski topik yang terbahas bersinggungan langsung dengan perempuan.
Menyadari hal ini, Ma’had Aly Situbondo menghadirkan salah satu narasumber perempuan dalam acara sharing informasi dan peluang beasiswa kemarin (24/7). Kehadiran Kak Fina Lailaul Masruroh sebagai salah satu narasumber memiliki dampak signifikan bagi para audien yang tidak hanya laki-laki.
Ustadzah yang biasa kita kenal dengan Kak Fina ini merupakan awardee LPDP 2024 Program doktoral PKU-MI Jakarta, sekaligus alumni Ma’had Aly Situbondo. Dengan semangat dan sifat pantang menyerahnya, dia berhasil lolos dalam seleksi beasiswa LPDP tersebut. Maka, informasi dan motivasi yang lahir dari perspektifnya sebagai perempuan tentang meraih beasiswa menjadi nilai tersendiri bagi para santri.
Menghadirkan pembicara perempuan jelas memberikan banyak keuntungan. Di antaranya adalah dapat menghadirkan perspektif yang beragam dan inklusif, sehingga diskusi lebih kaya, berkualitas, dan kredibel. Diskusi yang non manel ini juga memberikan role model bagi para perempuan lainnya untuk maju dan mengambil peran penting dalam kehidupan.
Para perempuan inspiratif dalam panggung Islam
Kita tentu mengenal Sayyidatuna Aisyah, istri Nabi Muhammad saw. Sepeninggal Nabi saw. Siti Aisyah menggantikan peran beliau dalam menerangkan segala persoalan umat. Sejarah membuktikan, bahwa sebagian besar sahabat dan tabi’in pernah menimba ilmu kepada beliau. Beliau juga tercatat sebagai periwayat hadis tebanyak keempat dengan total 2210 hadis yang telah ia riwayatkan.
Kita juga mengenal nama Ummu al-Darda’, cendikiawan muslim perempuan dari generasi kedua setelah nabi. Beliau adalah seorang perawi hadis, guru, dan ahli hukum yang penting. Di masjid Agung yang berada di Damaskus, beliau mengajar ratusan siswa, laki-laki maupun perempuan. Dari tangan dingin beliau ini lah banyak ulama terhormat yang lahir, di antaranya bahkan ada yang menjadi khalifah seperti ‘Abd al-Malik bin Marwan.
Di Indonesia kita juga mengenal nama-nama seperti Nyai Khoiriyah Hasyim, Siti Ahmad Dahlan, dan ulama’ perempuan Indonesia lainnya. Di panggung media, kita juga mengenal nama Najwa Shihab, presenter kelahiran Sulawesi yang berhasil memotivasi banyak orang. Dan ada juga perempuan yang berkarir di bidang akademis seperti DR. Amany Lubis, mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan banyak lainnya para perempuan hebat yang layak medapatkan panggung kehormatan.
Menolak All-Man Panels
Banyak lembaga Internasional yang memiliki kesepakatan untuk menghindari manel dalam acara mereka. Menurut Tunggal pawestri, manajer pengembangan program di LSM Belanda, Hivos, Asia Tenggara, menuturkan, “Di PBB, mereka merasa bahwa ini ada sesuatu yang salah, sehingga mereka membuat kesepakatan untuk tidak memiliki all male panels dalam kegiatan mereka, ketika ada diskusi publik yang besar.” [voaindonesia.com]
Jika kita telisik lebih dalam, ada banyak kerugian yang disebabkan fenomena all-male panels ini. Di antaranya dapat menciptakan blind spot dalam diskusi. Sebagai contoh, dalam diskusi mengenai cara memperoleh beasiswa seperti yang saya singgung di atas, absennya narasumber perempuan berarti melewatkan perspektif bahwa perempuan memikul beban intelektual yang lebih besar sebagai madrasah pertama bagi anak.
Hal itu belum menghitung adanya perbedaan psikologis yang laki-laki dan perempuan alami. Narasumber laki-laki tentu tidak pernah merasakan kebimbangan seorang ibu antara melewatkan cita-cita luhurnya atau merawat anak tercinta. Apalagi jika sang anak masih berusia balita, masih berada di usia yang sangat membutuhkan kehadiran ibunya.
Maka, dengan menghadirkan lebih banyak narasumber dan pembicara perempuan di berbagai diskusi dapat mengantisipasi blind spot semacam ini. Perempuan pun bisa lebih berperan aktif di lingkungan publik dan menyuarakan perspektifnya supaya tidak ada lagi kebijakan yang bias gender. []