Mubadalah.id – Mengapa kekerasan terhadap difabel terus berulang? Jawabannya mungkin tersembunyi dalam cara kita mengingat dan mewariskan nilai-nilai sebagai masyarakat yang berkemanusiaan.
Saya baru mengenal konsep akal kultural akhir pekan lalu, dan saya rasa amat menarik untuk memahami kekerasan terhadap difabel. karena kekerasan pada difabel kian beragam, bahkan hingga memakan korban jiwa. Salah satu penyebabnya adalah normalisasi diskriminasi yang berkelanjutan tanpa pencegahan efektif.
Jujur saja, makin hari makin beragam kekerasan yang muncul kepada difabel, bahkan hingga menelan nyawa, seperti kasus penganiayaan akhir-akhir ini. Besar kemungkinan salah satu penyebab akutnya adalah menormalisasi diskriminasi kepada penyandang disabilitas secara kontinyu dengan tanpa hadirnya pencegahan yang efektif.
Kekerasan ini persisten karena berakar pada ingatan kolektif masyarakat bukan sekadar soal pelaku atau lemahnya kebijakan, tetapi cara masyarakat memandang tubuh, normalitas, dan kemanusiaan.
Selama pemaknaan ini terwariskan lintas generasi tanpa perlawanan, kekerasan akan terus muncul dalam bentuk berbeda namun berinti sama. Untuk memutusnya, kita perlu mengubah cara mengingat, mendidik, dan menanamkan nilai tentang keberagaman manusia.
Akal Kultural, Apa itu?
Istilah akal kultural ini saya dapatkan ketika berdialog dengan literatur seputar antropologi, psikologi, sastra, sejarah dan studi keagamaan.
Akal kultural merupakan sebuah konsep yang diprakarsai oleh Jan Assmann seorang kritikus sastra modern asal Jerman. Ia menegaskan bahwa Akal Kultural atau cultural memory merujuk pada sistem ingatan kolektif yang membentuk identitas kelompok melalui transmisi makna dan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
Konsep ini menjelaskan bagaimana masyarakat membayangkan dirinya secara turun-temurun, membentuk identitas kultural. Assman memandang ingatan kolektif atas kebiasaan masa lalu sebagai inti identitas suatu masyarakat.
Apa tujuan konsep ini? Tentunya untuk menjelaskan bagaimana masyarakat tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi secara aktif merekonstruksi dan memaknainya untuk membentuk identitas kolektif lebih segar dan relatif baru.
Berbeda dengan ingatan personal yang bersifat individual dan sementara, akal kultural adalah ingatan kolektif yang terabadikan dalam bentuk-bentuk konkret: cerita rakyat, ritual, teks keagamaan, pepatah, simbol-simbol, bahkan arsitektur.
Ingatan ini kemudian bersemayam melalui institusi sosial seperti keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, dan media. Ketika kekerasan terhadap difabel terus muncul dalam bentuk penganiayaan, diskriminasi, cemoohan, dan pandangan peyoratif, pola itu perlahan mengendap menjadi kebiasaan sosial dalam anggapan yang wajar.
Pada akhirnya, praktik-praktik ini membentuk identitas dan kebudayaan yang mengakar antar generasi, sehingga kekerasan tidak lagi terpandang sebagai penyimpangan, tetapi sebagai bagian dari cara masyarakat memahami perbedaan dan kemanusiaan. Bahaya bukan?
Menuju Ingatan Kolektif yang Adil
Kekerasan terhadap difabel berakar dari akal kultural yang lama mengonstruksi mereka sebagai “yang lain”, “tidak sempurna”, atau “beban”. Karena itu, mengakhirinya bukan sekadar menghukum pelaku atau memberi bantuan, tetapi menuntut transformasi mendasar dalam cara masyarakat memandang, mengingat, dan mewariskan nilai tentang tubuh, normalitas, dan kemanusiaan.
Saya rasa, ini adalah perjalanan panjang. Akal kultural tidak berubah dalam semalam, ia terbentuk dan terwariskan kepada lintas generasi. Tetapi sejarah juga mengajarkan bahwasannya transformasi itu memungkinkan. Ingatan kolektif tentang perbudakan, apartheid, diskriminasi gender, difabel, perempuan semua telah berubah, meskipun perjuangannya tetap berlanjut.
Setiap langkah kecil yang telah terjadi hari ini, setiap naratif yang kita ciptakan, institusi yang kita transformasi, ruang publik yang bertransisi lebih aksesibel, setiap praktik diskriminatif yang kita hentikan merupakan bagian dari proses membangun keadilan dan akal kultural lebih berkeadilan.
Sebuah ingatan kolektif, semua manusia, terlepas dari kondisi tubuhnya, diingat dan diwariskan sebagai manusia yang bermartabat, berharga, dan layak untuk hidup tanpa kekerasan, khususnya pada difabel.
Masa depan inklusif berawal dengan cara manusia mengingat hari ini. Dan ingatan yang terbangun hari ini akan membentuk dunia yang terwariskan kepada generasi esok. Kekerasan terhadap difabel hendaknya terminimalisir dengan akal kultural yang baru dan berkeadilan, serta sebagai upaya rehumanisasi sosial.
Akhirnya sudah saatnya kita memilih untuk mengingat dengan cara yang lebih adil, demi merekonstruksi akal kultural yang menghormati keragaman, dan untuk mengakhiri warisan kekerasan yang telah berlalu lama menjamur. []












































