Mubadalah.id – Maraknya penolakan dan pelaporan terhadap gerakan Aisha Wedding Organizer yang mempromosikan dan mengkampanyekan nikah bawah tangan (nikah sirri), nikah anak, dan poligami tidak cukup hanya diusut dalam ranah hukum saja, tetapi juga harus dibarengi dengan penguatan secara kultural dalam hal pemahaman keagamaan tentang tiga hal tersebut.
Selain ketiga pembahasan tersebut, pembahasan tentang nikah mut’ah (kawin kontrak) juga perlu disampaikan kepada khalayak umum. Pasalnya di beberapa tempat, praktik kawin kontrak masih terjadi dengan berbagai motif dalam pelaksanaannya.
Padahal salah satu syarat dalam pernikahan adalah mengekalkan shigat akad. Dalam hal ini, jika pernikahan diberi batasan waktu, maka pernikahan tersebut batal. Seperti jika pernikahan tersebut dilakukan dengan shigat tamattu’ bersenang-senang. Misalnya, ‘Aku bersenang-senang denganmu sampai bulan sekian’ lantas si perempuan berkata, ‘Aku terima’ atau juga dengan memberikan tenggang waktu yang telah diketahui maupun tidak.
Keempat madzhab dan mayoritas para sahabat telah bersepakat bahwa nikah mut’ah dan sejenisnya merupakan pernikahan yang haram dan batil. Namun demikian, ulama madzhab berbeda pendapat tentang penentuan waktu yang dianggap mut’ah. Begitu pun ada beberapa pendapat minoritas yang mengecualikan.
Lantas apa yang disebut dengan nikah mut’ah? Bagaimana pandangan madzhab tentang nikah mut’ah? Apa konsekuensi hukum bagi pelakunya? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa disaksikan dalam pengajian malam sabtu bersama KH Husein Muhammad dalam kajian kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam link kanal youtube Mubadalah TV berikut ini: