Senin, 24 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    25 Tahun Fahmina

    Fahmina Akan Gelar Peringatan 25 Tahun, Ini Rangkaian Acaranya

    P2GP

    P2GP Harus Diakhiri: KUPI Minta Negara Serius Libatkan Ulama Perempuan dalam Setiap Kebijakan

    P2GP

    Istiqamah di Tengah Penolakan: Perjuangan Panjang KUPI Menghentikan P2GP

    Sunat Perempuan

    Membumikan Ijtihad: Langkah KUPI Menghapus Sunat Perempuan dari Ruang Keluarga hingga Negara

    Sunat Perempuan

    Perjuangan KUPI Menghentikan Sunat Perempuan: Dari Musyawarah, Penolakan, hingga Penerimaan Publik

    P2GP

    Prof. Alim: sebagai Bentuk Penolakan terhadap P2GP, Pengalaman Perempuan Harus Ditulis

    Fatwa KUPI P2GP

    Fatwa KUPI Jadi Motor Advokasi: UNFPA Puji Tiga Tahun Kerja Ulama Perempuan Menghapus P2GP

    P2GP

    P2GP Harus Dihentikan Total: KemenPPPA Akui Fatwa KUPI sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

    Buku Anak yang Dinanti Jangan Disakiti

    Luncurkan Buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti, Alimat Tegaskan Hentikan Praktik P2GP

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Kekerasan terhadap Difabel

    Menyoal Kekerasan terhadap Difabel Dengan Paradigma Akal Kultural

    Warkah al-Basyar

    Warkah al-Basyar: Dari Tulisan Menjadi Gerakan Sosial Fahmina

    Fahmina

    Dari Kitab Kuning hingga Warkah al-Basyar: Cerita Panjang Gerakan Fahmina

    Akad Nikah

    Tadarus Subuh ke 170: Menuju Akad Nikah yang Efektif

    Fahmina yang

    Lahirnya Fahmina dan Jalan Panjang Transformasi Sosial

    Merasa Tertinggal

    Merasa Tertinggal, Benarkah Kita Gagal?

    Fahmina

    Fahmina: Dari Pergumulan Intelektual Pesantren Menuju Gerakan Sosial yang Membela Kaum Tertindas

    Perempuan Iran

    Dari Jilbab Paksa Hingga Persepolis: Kisah Perempuan Iran yang Tak Pernah Usai

    An-Nisa ayat 34

    Meluruskan Pemahaman QS. An-Nisa Ayat 34: Kekerasan Tidak Pernah Diajarkan Islam

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    25 Tahun Fahmina

    Fahmina Akan Gelar Peringatan 25 Tahun, Ini Rangkaian Acaranya

    P2GP

    P2GP Harus Diakhiri: KUPI Minta Negara Serius Libatkan Ulama Perempuan dalam Setiap Kebijakan

    P2GP

    Istiqamah di Tengah Penolakan: Perjuangan Panjang KUPI Menghentikan P2GP

    Sunat Perempuan

    Membumikan Ijtihad: Langkah KUPI Menghapus Sunat Perempuan dari Ruang Keluarga hingga Negara

    Sunat Perempuan

    Perjuangan KUPI Menghentikan Sunat Perempuan: Dari Musyawarah, Penolakan, hingga Penerimaan Publik

    P2GP

    Prof. Alim: sebagai Bentuk Penolakan terhadap P2GP, Pengalaman Perempuan Harus Ditulis

    Fatwa KUPI P2GP

    Fatwa KUPI Jadi Motor Advokasi: UNFPA Puji Tiga Tahun Kerja Ulama Perempuan Menghapus P2GP

    P2GP

    P2GP Harus Dihentikan Total: KemenPPPA Akui Fatwa KUPI sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

    Buku Anak yang Dinanti Jangan Disakiti

    Luncurkan Buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti, Alimat Tegaskan Hentikan Praktik P2GP

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Kekerasan terhadap Difabel

    Menyoal Kekerasan terhadap Difabel Dengan Paradigma Akal Kultural

    Warkah al-Basyar

    Warkah al-Basyar: Dari Tulisan Menjadi Gerakan Sosial Fahmina

    Fahmina

    Dari Kitab Kuning hingga Warkah al-Basyar: Cerita Panjang Gerakan Fahmina

    Akad Nikah

    Tadarus Subuh ke 170: Menuju Akad Nikah yang Efektif

    Fahmina yang

    Lahirnya Fahmina dan Jalan Panjang Transformasi Sosial

    Merasa Tertinggal

    Merasa Tertinggal, Benarkah Kita Gagal?

    Fahmina

    Fahmina: Dari Pergumulan Intelektual Pesantren Menuju Gerakan Sosial yang Membela Kaum Tertindas

    Perempuan Iran

    Dari Jilbab Paksa Hingga Persepolis: Kisah Perempuan Iran yang Tak Pernah Usai

    An-Nisa ayat 34

    Meluruskan Pemahaman QS. An-Nisa Ayat 34: Kekerasan Tidak Pernah Diajarkan Islam

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menyoal Pakaian, Bencana, dan Isu Gender

Pakaian dan kebencanaan sering diabaikan, bahkan isu gender dianggap tidak memiliki kepentingan di sana. Tentu saja ketiganya bersifat holistik, dan sebaiknya jangan coba-coba menceraikannya.

Miftahul Huda Miftahul Huda
10 Februari 2021
in Personal, Rekomendasi
0
Pakaian

Pakaian

136
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perdebatan pakaian telah santer mencuat ke publik belakangan ini. Adalah perdebatan soal wajib dan tidaknya pelajar di sekolah negeri mengenakan atribut keagamaan. Dan akhirnya, melalui SKB Tiga Menteri (2/2021) sekolah negeri diberi waktu tigapuluh hari untuk mencabut kebijakan yang mewajibkan siswa/i-nya mengenakan atribut keagamaan.

Lalu apakah sekarang kita sudah bisa bernafas lega? Bernafas sejenak, iya. Bernafas lega, belum.

Saya rasa perdebatan terlena pada atribut keagamaan, yaitu jilbab—saya lebih suka menyebutnya kerudung— sehingga melupakan adanya “kontrol” di balik kerudung. Dengan demikian jika kontrol itu hadir, ia tidak hanya setengah-setengah menguasai objeknya, melainkan menguasainya secara penuh.

Jadi soal pakaian ini saya tidak mau terkungkung pada kerudung, melainkan juga seluruh pakaian yang membalut perempuan; baik atasan, bawahan, tingkat ketebalan, lapisan luar-dalam, dan lebar pakaiannya. Tidak asing lagi bagi kita, semua itu bertujuan untuk memberi (mengontrol) standar moral perempuan.

Perempuan sebenarnya mampu menolak itu. Hanya saja ia dibuat “menyalahkan diri sendiri” jika tidak memenuhi standar yang sudah ditentukan. Sehingga perempuan memilih, meminjam istilah Judith Butler, berkonformitas (bukan “imitasi”) agar bisa diterima di dunia sosial mereka.

Jika lingkungan menjamin ruang aman (dari pelecehan, kekerasan, dll) bagi perempuan setelah memenuhi “kriteria” tersebut, saya rasa “agak” bisa diterima. Tapi sayangnya, pembuat standar moral (baca: patriarki) sering tidak peduli terhadap aspek keamanan perempuan, dan cenderung mengejar ambisi “keamanannya” sendiri, yaitu agar nafsunya tidak goyah—pengecut, fragile masculinity.

Soal Pakaian, Bencana, dan Gender Saling Mengikat

Ditetapkannya SKB Tiga Menteri berbarengan pula dengan bencana yang merundung Indonesia. Hujan lebat, cuaca ekstrem, dan banjir di sepanjang pantura. Laju ekonomi tersendat karena akses terhambat? Saya tidak tertarik ke sana, karena laju ekonomi menjadi salah satu penyebab bencana ekologis. Namun yang ingin saya tekankan di sini adalah, adanya keterkaitan antara pakaian, gender, dan zona rawan bencana di suatu daerah. Sehingga setiap kebijakan dan buah pikiran yang diciptakan harus melibatkan semua itu.

Karena soal pakaian dalam tulisan ini berkaitan erat dengan bencana dan dunia pendidikan, saya akan memberi contoh di salah satu kampus di pantura Semarang—yang merupakan tempat saya kuliah selama empat tahun; dan bertepatan pula seluruh akses menuju ke kampus tersebut tertutup oleh banjir dan rob ketika hujan cukup lebat (bahkan hanya gerimis). Tentu ini tidak akan melibatkan aturan SKB Tiga Menteri, karena kampus tersebut termasuk swasta dan bukan sekolahan. Maka saya akan menyisir aspek sosio-geografis-nya.

Persoalan pertama, kampus tersebut memberi aturan ketat terhadap cara berpakaian mahasiswi karena adanya sistem BudAI (Budaya Akademik Islami). Oleh karenanya, mahasiswi dituntut untuk mengenakan kerudung (saya memaklumi ini, karena termasuk kampus Islam), harus memakai rok, dan baju yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh (ketat). Aturan ini berlaku ketat di fakultas berbasis agama, sedangkan di fakultas yang lain cenderung ada beberapa mahasiswi yang “melanggar”. Maka aspek “kontrol moral” di sini sudah bisa dilihat secara jernih.

Kemudian persoalan kedua, lingkungan kampus tersebut dikelilingi oleh sejumlah pesantren dan tidak sedikit yang mahasiswi sekaligus nyantri. Ini bertalian erat dengan persoalan pertama, tentang standar moral pakaian pesantren yang tidak jauh berbeda dengan kampus, bahkan lebih ketat. Maka bagi mahasiswi yang sekaligus nyantri, mereka menerima “kontrol moral” berlapis dan level konformitas yang lebih tinggi.

Lalu persoalan ketiga, adalah kebijakan dan pikiran yang gender-blind dan abai terhadap kawasan rawan bencana, baik kampus atau pun pesantren. Bagi mahasiswi yang sekaligus nyantri, mereka harus mengenakan rok dari pesantren ke kampus dan sebaliknya, ketika banjir melanda. Padahal beberapa studi telah menyebutkan, bahwa banyaknya perempuan menjadi korban tsunami di Aceh disebabkan kesempatan mereka menyelamatkan diri rendah karena mengenakan pakaian berlapis-lapis (termasuk rok dan gamis)—kurang taktis.

Di sisi lain ada konsekuensi jika tetap mengenakan rok, baik yang berjalan kaki atau pun yang mengendarai motor, yaitu menyingkap roknya ke atas, bahkan bisa sampai ke atas lutut agar tidak basah. Tentu ini menjadi sasaran pelecehan. Jelas saya tidak menyalahkan perempuan—karena itu adalah self-rescue—melainkan “kontrol moral” yang lahir dari pikiran patriarki ini tidak terbukti memberi garansi keamanan bagi perempuan di kala bencana. Entah aman dari pelecehan atau taktis dalam menyelamatkan diri di tengah bencana.

Saya coba mencantumkan contoh. Dalam perkumpulan laki-laki yang saya temui, atau saya kebetulan berada di lingkarannya, mereka tidak jarang membicarakan rencana untuk “memantau” para mahasiswi yang menyingkap roknya. Atau—saya malah tertarik lagi dengan laju ekonomi yang tersendat di pantura—mahasiswi tadi mendapat pandangan seksis dan cat-calling dari sopir yang bertengger di balik kemudi truk/angkutan umum (bukan bermaksud berstigma kepada mereka) yang macet karena banjir, tidak lain karena roknya disingkap.

Lalu apakah mengenakan celana bisa menghindarkan perempuan dari kerugian-kerugian tersebut?

Jika seperti itu pertanyaannya, saya akan memberi contoh teman saya yang sering membawa pakaian ganda: celana dan rok. Beberapa teman saya, baik yang santri atau bukan, mereka biasanya mengenakan celana ketika berangkat dan pulang, dan rok dipakai ketika berada di kelas. Tapi sebagian santri tetap memilih hanya membawa satu pakaian: rok. Sebab, mereka repot harus berkali-kali ganti pakaian: dari dalam pesantren (rok), perjalanan ke kampus (celana), di kampus (rok), begitu pula ketika balik ke pesantren.

Dengan demikian saya berasumsi, mengenakan celana bisa meminimalisir akumulasi kerugian yang akan dialami perempuan akibat pikiran seksis dan patriarkis. Meskipun begitu, semua kembali kepada pemilik tubuh, bagaimana mereka merasa aman dan nyaman selama beraktivitas di dunia sosialnya. Namun kita tidak bisa membiarkan “kontrol moral” itu menjadi prioritas dan mengabaikan potensi kerugian yang dialami perempuan di tengah bencana.

Pada akhirnya, kesadaran terhadap daerah rawan bencana dan sensitifitas gender tidak boleh diceraikan. Keduanya harus tetap holistik untuk menciptakan sebuah kebijakan dan melahirkan pikiran yang adil gender. Dan kontrol moral sudah semestinya usang. Beralih pada pengakuan kebebasan pemilik tubuh untuk memilih apa yang aman dan nyaman bagi tubuhnya di segala kondisi sosial yang mereka hadapi.

Khusus untuk kondisi pesantren di daerah rawan bencana, atribut “Islami” saya rasa tidak menjadi masalah. Namun responsif terhadap kebencanaan dan mainstreaming gender tetap harus diutamakan.[]

Tags: Bencana AlamHijabJilbabperempuanSKB 3 Menteri
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Perempuan Iran
Publik

Dari Jilbab Paksa Hingga Persepolis: Kisah Perempuan Iran yang Tak Pernah Usai

23 November 2025
Kekerasan Terhadap Perempuan yang
Keluarga

Sampai Kapan Dalih Agama Dibiarkan Membenarkan Kekerasan terhadap Perempuan?

21 November 2025
Industri ekstraktif
Publik

Perjuangan Perempuan Adat Melawan Industri Ekstraktif

21 November 2025
P2GP
Aktual

Prof. Alim: sebagai Bentuk Penolakan terhadap P2GP, Pengalaman Perempuan Harus Ditulis

20 November 2025
Al-Ummu Madrasatul Ula
Keluarga

Menafsir Al-Ummu Madrasatul Ula: Keluarga Sebagai Sekolah Pertama

17 November 2025
Pendidikan Perempuan Rahmah el-Yunusiyah
Publik

Strategi Rahmah El-Yunusiyah Memajukan Pendidikan Perempuan

15 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Iran

    Dari Jilbab Paksa Hingga Persepolis: Kisah Perempuan Iran yang Tak Pernah Usai

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Eksotisasi Kemiskinan: Mengurai Visualisasi Perempuan Slum dalam Film Pangku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fahmina Akan Gelar Peringatan 25 Tahun, Ini Rangkaian Acaranya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merasa Tertinggal, Benarkah Kita Gagal?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fahmina: Dari Pergumulan Intelektual Pesantren Menuju Gerakan Sosial yang Membela Kaum Tertindas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyoal Kekerasan terhadap Difabel Dengan Paradigma Akal Kultural
  • Warkah al-Basyar: Dari Tulisan Menjadi Gerakan Sosial Fahmina
  • Jika Ibu Tiada, Apa yang Terjadi? Membaca Beban Ganda Ibu dalam Novel Please Look After Mom
  • Dari Kitab Kuning hingga Warkah al-Basyar: Cerita Panjang Gerakan Fahmina
  • Tadarus Subuh ke 170: Menuju Akad Nikah yang Efektif

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID