• Login
  • Register
Rabu, 4 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menyoal Pakaian, Bencana, dan Isu Gender

Pakaian dan kebencanaan sering diabaikan, bahkan isu gender dianggap tidak memiliki kepentingan di sana. Tentu saja ketiganya bersifat holistik, dan sebaiknya jangan coba-coba menceraikannya.

Miftahul Huda Miftahul Huda
10/02/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Pakaian

Pakaian

133
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perdebatan pakaian telah santer mencuat ke publik belakangan ini. Adalah perdebatan soal wajib dan tidaknya pelajar di sekolah negeri mengenakan atribut keagamaan. Dan akhirnya, melalui SKB Tiga Menteri (2/2021) sekolah negeri diberi waktu tigapuluh hari untuk mencabut kebijakan yang mewajibkan siswa/i-nya mengenakan atribut keagamaan.

Lalu apakah sekarang kita sudah bisa bernafas lega? Bernafas sejenak, iya. Bernafas lega, belum.

Saya rasa perdebatan terlena pada atribut keagamaan, yaitu jilbab—saya lebih suka menyebutnya kerudung— sehingga melupakan adanya “kontrol” di balik kerudung. Dengan demikian jika kontrol itu hadir, ia tidak hanya setengah-setengah menguasai objeknya, melainkan menguasainya secara penuh.

Jadi soal pakaian ini saya tidak mau terkungkung pada kerudung, melainkan juga seluruh pakaian yang membalut perempuan; baik atasan, bawahan, tingkat ketebalan, lapisan luar-dalam, dan lebar pakaiannya. Tidak asing lagi bagi kita, semua itu bertujuan untuk memberi (mengontrol) standar moral perempuan.

Perempuan sebenarnya mampu menolak itu. Hanya saja ia dibuat “menyalahkan diri sendiri” jika tidak memenuhi standar yang sudah ditentukan. Sehingga perempuan memilih, meminjam istilah Judith Butler, berkonformitas (bukan “imitasi”) agar bisa diterima di dunia sosial mereka.

Baca Juga:

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Jika lingkungan menjamin ruang aman (dari pelecehan, kekerasan, dll) bagi perempuan setelah memenuhi “kriteria” tersebut, saya rasa “agak” bisa diterima. Tapi sayangnya, pembuat standar moral (baca: patriarki) sering tidak peduli terhadap aspek keamanan perempuan, dan cenderung mengejar ambisi “keamanannya” sendiri, yaitu agar nafsunya tidak goyah—pengecut, fragile masculinity.

Soal Pakaian, Bencana, dan Gender Saling Mengikat

Ditetapkannya SKB Tiga Menteri berbarengan pula dengan bencana yang merundung Indonesia. Hujan lebat, cuaca ekstrem, dan banjir di sepanjang pantura. Laju ekonomi tersendat karena akses terhambat? Saya tidak tertarik ke sana, karena laju ekonomi menjadi salah satu penyebab bencana ekologis. Namun yang ingin saya tekankan di sini adalah, adanya keterkaitan antara pakaian, gender, dan zona rawan bencana di suatu daerah. Sehingga setiap kebijakan dan buah pikiran yang diciptakan harus melibatkan semua itu.

Karena soal pakaian dalam tulisan ini berkaitan erat dengan bencana dan dunia pendidikan, saya akan memberi contoh di salah satu kampus di pantura Semarang—yang merupakan tempat saya kuliah selama empat tahun; dan bertepatan pula seluruh akses menuju ke kampus tersebut tertutup oleh banjir dan rob ketika hujan cukup lebat (bahkan hanya gerimis). Tentu ini tidak akan melibatkan aturan SKB Tiga Menteri, karena kampus tersebut termasuk swasta dan bukan sekolahan. Maka saya akan menyisir aspek sosio-geografis-nya.

Persoalan pertama, kampus tersebut memberi aturan ketat terhadap cara berpakaian mahasiswi karena adanya sistem BudAI (Budaya Akademik Islami). Oleh karenanya, mahasiswi dituntut untuk mengenakan kerudung (saya memaklumi ini, karena termasuk kampus Islam), harus memakai rok, dan baju yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh (ketat). Aturan ini berlaku ketat di fakultas berbasis agama, sedangkan di fakultas yang lain cenderung ada beberapa mahasiswi yang “melanggar”. Maka aspek “kontrol moral” di sini sudah bisa dilihat secara jernih.

Kemudian persoalan kedua, lingkungan kampus tersebut dikelilingi oleh sejumlah pesantren dan tidak sedikit yang mahasiswi sekaligus nyantri. Ini bertalian erat dengan persoalan pertama, tentang standar moral pakaian pesantren yang tidak jauh berbeda dengan kampus, bahkan lebih ketat. Maka bagi mahasiswi yang sekaligus nyantri, mereka menerima “kontrol moral” berlapis dan level konformitas yang lebih tinggi.

Lalu persoalan ketiga, adalah kebijakan dan pikiran yang gender-blind dan abai terhadap kawasan rawan bencana, baik kampus atau pun pesantren. Bagi mahasiswi yang sekaligus nyantri, mereka harus mengenakan rok dari pesantren ke kampus dan sebaliknya, ketika banjir melanda. Padahal beberapa studi telah menyebutkan, bahwa banyaknya perempuan menjadi korban tsunami di Aceh disebabkan kesempatan mereka menyelamatkan diri rendah karena mengenakan pakaian berlapis-lapis (termasuk rok dan gamis)—kurang taktis.

Di sisi lain ada konsekuensi jika tetap mengenakan rok, baik yang berjalan kaki atau pun yang mengendarai motor, yaitu menyingkap roknya ke atas, bahkan bisa sampai ke atas lutut agar tidak basah. Tentu ini menjadi sasaran pelecehan. Jelas saya tidak menyalahkan perempuan—karena itu adalah self-rescue—melainkan “kontrol moral” yang lahir dari pikiran patriarki ini tidak terbukti memberi garansi keamanan bagi perempuan di kala bencana. Entah aman dari pelecehan atau taktis dalam menyelamatkan diri di tengah bencana.

Saya coba mencantumkan contoh. Dalam perkumpulan laki-laki yang saya temui, atau saya kebetulan berada di lingkarannya, mereka tidak jarang membicarakan rencana untuk “memantau” para mahasiswi yang menyingkap roknya. Atau—saya malah tertarik lagi dengan laju ekonomi yang tersendat di pantura—mahasiswi tadi mendapat pandangan seksis dan cat-calling dari sopir yang bertengger di balik kemudi truk/angkutan umum (bukan bermaksud berstigma kepada mereka) yang macet karena banjir, tidak lain karena roknya disingkap.

Lalu apakah mengenakan celana bisa menghindarkan perempuan dari kerugian-kerugian tersebut?

Jika seperti itu pertanyaannya, saya akan memberi contoh teman saya yang sering membawa pakaian ganda: celana dan rok. Beberapa teman saya, baik yang santri atau bukan, mereka biasanya mengenakan celana ketika berangkat dan pulang, dan rok dipakai ketika berada di kelas. Tapi sebagian santri tetap memilih hanya membawa satu pakaian: rok. Sebab, mereka repot harus berkali-kali ganti pakaian: dari dalam pesantren (rok), perjalanan ke kampus (celana), di kampus (rok), begitu pula ketika balik ke pesantren.

Dengan demikian saya berasumsi, mengenakan celana bisa meminimalisir akumulasi kerugian yang akan dialami perempuan akibat pikiran seksis dan patriarkis. Meskipun begitu, semua kembali kepada pemilik tubuh, bagaimana mereka merasa aman dan nyaman selama beraktivitas di dunia sosialnya. Namun kita tidak bisa membiarkan “kontrol moral” itu menjadi prioritas dan mengabaikan potensi kerugian yang dialami perempuan di tengah bencana.

Pada akhirnya, kesadaran terhadap daerah rawan bencana dan sensitifitas gender tidak boleh diceraikan. Keduanya harus tetap holistik untuk menciptakan sebuah kebijakan dan melahirkan pikiran yang adil gender. Dan kontrol moral sudah semestinya usang. Beralih pada pengakuan kebebasan pemilik tubuh untuk memilih apa yang aman dan nyaman bagi tubuhnya di segala kondisi sosial yang mereka hadapi.

Khusus untuk kondisi pesantren di daerah rawan bencana, atribut “Islami” saya rasa tidak menjadi masalah. Namun responsif terhadap kebencanaan dan mainstreaming gender tetap harus diutamakan.[]

Tags: Bencana AlamHijabJilbabperempuanSKB 3 Menteri
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haji Pengabdi Setan

    Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal
  • Ragam Pendapat Ahli Fiqh tentang Aurat Perempuan
  • Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina
  • Resident Playbook dan Pentingnya Perspektif Empati dalam Dunia Obgyn
  • Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID