Mubadalah.id – Perjalanan kesebelasan Timnas Indonesia U-23 kita terhenti pada Kamis, 9 mei 2024, setelah Guinea jegal dengan perolehan skor akhir 1-0 di Stade Pierre Pibarot, Clairefontaine-en-Yvelines, Prancis. Kekalahan itu secara otomatis membuat kesebelasan yang Shin Tae-Yong asuh tersebut tidak lolos menuju perhelatan olimpiade 2024 yang akan dilaksanakan di Prancis.
Tentu, kekalahan tersebut tidak hanya memupus harapan Timnas Indonesia U-23 untuk merebutkan satu tiket ke Olimpiade Paris 2024. Terlebih setelah beberapa tahun lamanya Timnas kita sudah tidak menginjakkan di rumput yang bergengsi tersebut –momen terakhir dan satu-satunya Merah Putih berpartisipasi di ajang itu terjadi di Melbourne pada 1956- tetapi juga membuat suporter merasa sedih dan kecewa.
Rasa kecewa tentu menjadi sesuatu yang biasa dan dapat kita maklumi melihat tim sepak bola kesayangan mereka mengalami kekalahan. Tetapi tidak bisa kita tolerir jika melihat suporter kita melakukan ujaran kebencian terhadap objek yang kita anggap merugikan Timnas. Bahkan sampai tindakan rasisme terhadap pemain-pemain Guinea.
Tradisi dan teror Bullying di masyarakat kita harus segera dihapuskan
Selama ini, kita banyak mengamati tindakan tidak sportif yang oknum suporter kita lakukan terhadap seseorang yang kita anggap telah merugikan timnas sepak bola kita. Beberapa misalnya kita ambil contoh selama perhelatan AFC U-23, yaitu teror komentar negatif terhadap wasit VAR Thailand dan Shen Yinhao.
Lalu yang terbaru berupa lontaran kebencian terhadap wasit Letexier Francois asal Prancis atas kinerja mereka selama memimpin pertandingan yang kita anggap tidak adil. Terutama ketika bertugas memimpin pertandingan play-off melawan Guinea.
Menyikapi ketidakadilan yang mungkin terjadi, tindakan sembrono yang selama ini kita normalisasi dengan bertingkah main hakim sendiri seperti meneror atau melontarkan komentar negatif di akun media sosial objek bukanlah solusi yang tepat.
Seharusnya, kita memberikan kasus tersebut kepada pihak berwenang untuk mereka tindaklanjuti dengan adil. Yang lebih ironis adalah bagaimana pemain Timnas kita sendiri menjadi sasaran hujatan. Seperti yang Marselino alami, di mana menyebabkan dia mengeluarkan instastory dengan cuitan “negara lucu”.
Atas tindakan tersebut tentu sangat kita sayangkan. Alih-alih mengundang dukungan yang membangun dan memunculkan semangat terhadap pemain, justru malah membuat mental down dan dapat berdampak buruk bagi performa pemain timnas sepakbola kita. Maka dari itu tindakan tersebut harus segera kita hapuskan sebersih mungkin dengan menciptakan sepak bola inklusif.
Memerangi Tindakan Rasisme
Tidak hanya itu saja, tindakan rasisme dalam realitas kehidupan kita acap kali terjadi. Bahkan yang terbaru, yaitu banyak dari suporter dari Timnas Indonesia U-23 melakukan rasisme terhadap pemain Guinea setelah timnas Indonesia U-23 mengalami kekalahan, yang secara otomatis tidak bisa melaju ke perhelatan Olimpiade Paris 2024.
Tindakan rasisme yang terkenal dengan tindakan diskriminatif yang tertuju pada satu ras, dalam konteks ini mengarah pada orientasi menjelekkan atas dasar warna kulit, yaitu para pemain Guinea.
Tindakan rasisme yang terjadi dalam sepak bola kita tentu dapat mencoreng nilai-nilai kesopanan yang kita banggakan sebagai bangsa selama ini. Ini juga dapat membahayakan integritas bangsa Indonesia secara keseluruhan dan perkembangan sepak bola kita.
Tindakan ini tentu juga tidak sejalan dengan moto atau semboyan negara kita, “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang merepresentasikan bahwa negara kita adalah negara dengan keberagamannya yang mencintai dan menghormati keberagaman. Bukan malah justru dengan adanya perbedaan kita jadikan sebagai bahan olok-olokan.
Adanya tindakan rasisme yang suporter bola kita lakukan tentunya menjadi hal yang ironi. Hal ini dapat membahayakan bagi keutuhan bangsa Indonesia secara umum, dan perkembangan sepak bola kita secara khusus. Pasalnya, tindakan tersebut mampu mengandung kebencian terhadap kelompok (ras) lain, di mana yang paling kita takutkan menjurus pada kekerasan fisik.
Rasisme Tercela dan Terlarang
Bagi suporter Indonesia yang terlahir dari lingkungan yang beragam dan beragama yang baik seharusnya paham betul bahwa hal tersebut tidak untuk kita lakukan. Jika bisa kita hindari sejauh-jauhnya. Terlebih apabila kita menengok pada penjelasan dalam Al-Quran (Al-Hujurat ayat 13), bahwa:
”Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Ataupun dalam peraturan FIFA, melansir dari media BBC bahwa FIFA menindaklanjuti atas perbuatan rasisme dengan sanksi bagi tim sepak bola termasuk mereka keluarkan dari liga bila terlibat dalam insiden serius.
Tentu, terkait dengan penjelasan di atas mengenai larangan berbuat rasisme, sepatutnya sebagai supporter sejati tidak berani untuk berbuat rasisme karena hal itu tercela dan tentu terlarang.
Menciptakan Lingkungan Sepak Bola Kita yang Inklusif
Sebagai supporter sejati, kita tidak boleh melakukan tindakan rasisme karena itu tidak hanya tercela tetapi juga merugikan tim kesayangan. Kita harus menjadi contoh dalam menciptakan lingkungan sepak bola yang inklusif, di mana semua orang merasa diterima dan dihormati tanpa memandang ras, etnis, atau agama.
Kita sebagai masyarakat yang beragam harus menjadi contoh dalam menghormati dan menghargai perbedaan. Bukan malah menciptakan permusuhan dengan melakukan tindakan rasisme. Sebagai negara yang kaya akan keragaman, kita harus mampu melestarikan nilai-nilai tersebut dengan tidak melakukan tindakan rasisme.
Mari bersama-sama menciptakan lingkungan sepak bola inklusif, di mana semua orang merasa dihargai dan mendukung satu sama lain tanpa terkecuali. Rasisme bukanlah pilihan yang bijak, tetapi menghormati perbedaan adalah langkah menuju peradaban yang lebih baik.
Coba pikirkan kembali, apakah tidak malu sebagai negara yang mempunyai banyak keragaman justru malah tidak dapat melestarikan keragaman itu sendiri, yaitu berbuat rasisme? []