Mubadalah.id – KH. Marzuki Wahid dalam tulisannya di Kupipedia.id mengajukan pertanyaan mendasar yang sering luput dari perhatian kita: Apakah menyusui merupakan hak anak, hak ibu, atau justru kewajiban ayah? Siapa yang bertanggung jawab memastikan proses penyusuan berjalan dengan adil, aman, dan penuh kasih?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengajak kita untuk memahami bagaimana hubungan antara ibu, ayah, dan anak dalam kerangka keluarga Islam. Dalam literatur fiqh, sebagaimana dicatat KH. Marzuki Wahid, jawaban atas hal ini sangat beragam.
Ada ulama yang menegaskan bahwa menyusui adalah kewajiban ibu, ada yang melihatnya sebagai hak anak, dan tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai hak ibu. Semua pandangan ini memiliki dalil dan logika masing-masing.
Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, dalam tafsirnya, menyebut bahwa agama memandang menyusui sebagai kewajiban seorang ibu kandung. Ia bahkan menegaskan, seorang ibu akan dimintai pertanggungjawaban (al-mas’ûliyyah) di hadapan Allah atas kehidupan anaknya.
Wahbah al-Zuhaily menambahkan, kewajiban ini berlaku bagi ibu yang masih menjadi istri maupun yang telah ditalak, selama berada dalam masa ‘iddah.
Sementara itu, Ibnu Abi Hatim dan Sa‘id Ibn Zubair, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]:233, menegaskan bahwa ibu kandung tetap lebih berhak untuk menyusui anaknya, meski ia telah berpisah dengan suaminya.
Waliyullah al-Dihlawy melengkapi pandangan tersebut dengan argumen rasional bahwa ibu adalah sosok yang paling memiliki kedekatan emosional, kasih sayang, dan otoritas alami dalam memelihara bayi.
Lalu Kewajiban Siapa?
Namun, sebagaimana dikritisi oleh KH. Marzuki Wahid, semua pandangan itu menimbulkan pertanyaan baru yang jauh lebih penting: apakah kewajiban menyusui ini bersifat legal-normatif atau moral-kemanusiaan?
Jika ia dianggap kewajiban hukum, berarti negara atau hakim dapat memaksa seorang ibu untuk menyusui anaknya. Tapi jika ia adalah kewajiban moral, maka yang lebih ditekankan adalah etos kasih sayang, bukan paksaan.
Di sinilah pentingnya pembacaan baru terhadap fiqh. Dalam pandangan KH. Marzuki Wahid, fiqh tidak boleh berhenti pada logika perintah dan larangan yang kaku. Ia harus kita hidupkan kembali dalam kerangka etika sosial dan kemanusiaan.
Menyusui, misalnya, bukan sekadar perbuatan wajib yang diukur dari sah-tidaknya hukum, melainkan tindakan kasih sayang yang lahir dari kesadaran dan cinta.
Jika seorang ibu tidak mampu menyusui karena alasan kesehatan, trauma, atau keterbatasan ekonomi. Maka tanggung jawab itu tidak bisa membebani satu pihak.
Ayah harus bertanggung jawab untuk memastikan hak anak atas gizi, kasih, dan tumbuh kembang tetap terpenuhi. Inilah makna musyawarah dan keadilan dalam keluarga sebagaimana al-Qur’an ajarkan kepada kita. []












































