Mubadalah.id – Meski kabarnya kasus di SMAN 1 Cimarga ini sudah mereda dan terjadi proses Islah antara kedua belah pihak. Tapi sebagai sebuah fenomena sosial dalam dunia Pendidikan, kiranya peristiwa ini patut kita jadikan cermin sekaligus refleksi dalam sebuah relasi yang masih timpang.
Insiden kontroversial bermula ketika seorang guru sekaligus Kepala Sekolah menegur dan menampar seorang murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Tindakan tersebut memicu gelombang protes ratusan siswa sebagai bentuk solidaritas terhadap temannya. Orangtua murid memprotes keras dengan melaporkan kejadian itu ke pihak berwajib.
Akibatnya, sang guru sempat terjatuhi sanksi berupa pemecatan dari profesinya oleh Gubernur Banten. Ada empat subyek yang berperan dalam sirkulasi peristiwa ini; Guru, Murid, orangtua dan Kepala daerah. Pusaran konflik ini menyisakan pertanyaan besar; di mana letak etika dan adab dalam relasi pendidikan kita?
Kasus ini menunjukkan alarm lampu merah akhlak budi pekerti para anak didik. Kemulyaan seorang guru yang kita akronimkan sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru semakin terdegradasi. Alih alih ditiru, digugu (patuh pada perintah guru) saja tidak.
Zaman dulu boro boro orangtua melaporkan guru anaknya, yang ada si anak mendapatkan treatment tambahan. Melihat fenomena ini, kita diingatkan pentingnya menilik ulang posisi masing masing pihak supaya tercipta relasi saling mendukung (ta‘awun) dan menghargai (ihtiram) dalam proses pendidikan. Bukan saling apatis, apalagi saling menyalahkan.
Guru: Antara Otoritas dan Keteladanan
Guru adalah figur otoritatif dalam pendidikan, namun otoritas itu harus terbingkai keteladanan dan kasih sayang. Menegur murid merokok adalah bagian tanggung jawab moral, tetapi menampar jelas melanggar prinsip adab dalam Islam. Rasulullah tidak pernah mendidik dengan kekerasan, melainkan dengan kelembutan dan hikmah.
Dalam perspektif mubadalah, guru tidak hanya berhak kita hormati, tetapi juga wajib menghormati murid sebagai manusia yang sedang bertumbuh. Kesalingan dalam pendidikan ini menuntut guru untuk menjadi pendidik yang sabar, pengajar yang tulus, bukan penghukum yang impulsif.
Demonstrasi ratusan siswa sebagai bentuk solidaritas menunjukkan adanya ketimpangan komunikasi dan ketidakpercayaan terhadap sistem. Mubadalah mengajarkan murid tidak hanya kita ajarkan taat kepada guru, tetapi juga berhak mendapatkan perlakuan yang adil bermartabat. Mereka bukan objek pasif semata, melainkan juga subjek aktif. Kesalingan antara murid dan guru harus terbangun melalui dialog persuasif bukan peraturan dominatif.
Rasulullah bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Hadis ini tidak hanya menegaskan penghormatan terhadap guru, namun juga sumber kasih sayang terhadap murid. Ketika penghormatan dan kasih sayang hilang; baik dari pihak guru, murid maupun orangtua, maka pendidikan kita pastikan kehilangan ruhnya.
Murid: Antara Ketaatan dan Kesadaran
Perbuatan merokok jelas melanggar aturan dan norma sekolah. Jika dilakukan, murid pastinya sudah faham konsekuensinya. Teguran verbal seharusnya bisa membuatnya menyudahi kesalahan. Namun mbalelo-nya itulah yang memantik emosi sang guru. Sebagai manusia biasa, emosi karena merasa tak diindahkan wajar dimiliki siapapun; termasuk guru.
Familiar ungkapan yang bersumber dari Sayyidina Ali, “Saya Adalah hamba sahaya dari orang yang telah mengajariku meskipun satu huruf”. Jika menjadi budak saja adalah hak bagi guru, apalagi mentaati ucapannya. Murid sepenuhnya harus faham, bahwa ketaatan pada guru bukan sekedar kewajiban, tapi juga servis atas kemanfaatan ilmu, keberhasilan dalam meraih cita cita.
Begitu pula ratusan siswa yang melakukan protes, hendaknya menghayati hal yang sama serta tidak semata memberi dukungan membabi buta. Tetapi belajar bersikap mengedepankan musyawarah sembari tidak menghilangkan adab dan kepercayaan pada institusi guru dan sekolah.
Orangtua: Antara Perlindungan dan Kolaborasi
Islam memandang bahwa mendidik bukanlah tanggung jawab tunggal, melainkan amanah kolektif antara orangtua, guru, dan masyarakat. Al-Qur’an menegaskan pesan, “wahai orang orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim [66]: 6).
Ayat ini sering terpahami hanya dalam konteks rumah tangga, padahal secara luas mencakup kesalingan dalam pendidikan dan kehidupan sosial. Ketika anak memasuki lingkungan sekolah, maka tanggung jawab itu terbagi, bukan serta merta dipindahkan kepada guru. Guru bertugas melanjutkan amanah pendidikan yang telah dimulai sejak dari rumah, sementara orangtua tetap dan akan terus berkewajiban memperkuatnya di luar sekolah.
Boleh saja orangtua melaporkan guru sebagai bentuk perlindungan terhadap anaknya. Namun seharusnya tetap menjalin komunikasi dengan guru dan sekolah. Kesalingan antara rumah dan sekolah adalah fondasi pendidikan yang sehat. Perlindungan harus kita barengi dengan pembinaan akhlak dan tanggung jawab sosial.
Al-Ghazali menegaskan dalam Ihya’ Ulumuddin, “Anak adalah amanah bagi kedua orangtuanya; hatinya suci bagaikan mutiara yang bersih. Jika ia dibiasakan pada kebaikan, maka akan tumbuh dalam kebaikan.” Artinya, guru dan orangtua memiliki maqam berbeda tapi sejajar. Guru menanamkan ilmu, orangtua menumbuhkan kebiasaan. Ketika dua fungsi ini bekerja dalam harmoni, maka pendidikan berjalan utuh bukan hanya melahirkan anak cerdas, tapi juga berakhlak.
Ulil Amri: Antara Keadilan dan Kebijaksanaan
Sebagai pemegang otoritas, kepala daerah memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi. Namun, keputusan pemecatan guru adalah langkah ceroboh. Ulil amri dituntut berlaku adil tidak hanya dalam hukum, tetapi juga dalam menjaga harmoni sosial. Keputusannya harus hadir tanpa tekanan siapapun dan tendensi apapun.
Mubadalah menuntut kepala daerah untuk menjadi penengah yang bijak bukan sekadar eksekutor. Kesalingan antara pemimpin dan rakyat adalah jalan menuju keadilan yang beradab. Dalam relasi Pendidikan, pemerintah harus berposisi sebagai penjamin atas kelangsungan proses belajar yang adil dan selaras di antara semua pihak.
Menata Ulang Relasi Pendidikan
Relasi mubadalah dalam Pendidikan antara guru, murid, orangtua dan pemerintah bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan nyata di tengah krisis moral sosial anak didik hari ini. Jika guru “selalu” kita tuntut tanpa diberi ruang perlindungan dan kepercayaan, murid “hanya” sekedar berangkat – pulang sekolah semata mencari ijazah, orangtua merasa “cukup” menyerahkan anak ke sekolah tanpa tanggung jawab lanjutan.
Begitu pula Masyarakat dan Pemerintah yang “abai” dan tidak adil dalam melihat peristiwa dalam proses Pendidikan, maka dipastikan pendidikan hanya sebuah rutinitas administratif, bukan proses pembentukan pribadi dan jati diri manusia.
Dalam kerangka mubadalah, setiap tindakan harus bertujuan menghadirkan Rahmah; kasih sayang yang aktif. Orangtua perlu memahami keterbatasan guru, guru memahami dinamika murid ketika di rumah. Keduanya harus bersinergi, bukan berkompetisi. Membangun Pendidikan berbasis kesalingan: saling menghormati, saling mendidik, dan saling memperbaiki.
Merawat akhlak bukan tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab kolektif. Menyemai kesalingan dalam pendidikan adalah jalan panjang menuju pendidikan yang adil, manusiawi, dan bermartabat. Sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan rahmat-Nya kepada suatu kaum yang di antara mereka tidak ada kasih sayang.”(HR. Bukhari). []











































